http://www.indomedia.com/bpost/062005/13/opini/opini1.htm
Minggu, 12 Juni 2005 20:53



Pilkada Dan Money Oriented Values
Oleh: Rolly Muliazi MH

Pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadal) sebagai sarana untuk 
memberikan tampuk kekuasaan daerah kepada seseorang yang dianggap mampu 
mengayomi dan memperjuangkan kehendak masyarakat, sebentar lagi dimulai. 
Genderang perang kandidat sudah mulai ditabuh, kampanye dari tingkat elit 
sampai warung kopi sudah terasa. Massa mulai terlihat, dari tingkat komunitas 
paling rendah (Rukun Tetangga) sampai komunitas majemuk dari berbagai elemen 
masyarakat.

Undangan untuk makan bersama dengan topeng silaturahmi tersebar di mana-mana. 
LSM mulai memekikkan dukungan kepada calon tertentu yang hanya terfokus pada 
tuntutan materil, bukan mendata apakah calon bersangkutan memang layak 
diperjuangkan sebagai kepala daerah.

Maklar politik mulai bergerilya menawarkan dukungan, lengkap dengan kalkulasi 
massa yang harus dibayar kandidat. Selain itu, jauh-jauh hari investor sudah 
menanamkan modalnya dengan berbagai perjanjian yang harus dipenuhi calon 
bersangkutan apabila terpilih nanti. Sungguh, pilkada dijadikan momen bisnis 
yang menggiurkan.

Dengan kejenuhan pasca-Pemilu 2004, elemen masyarakat terkumpul dalam suatu 
forum tertentu untuk memberikan dukungan dan berjanji memilih kandidat 
bersangkutan. Tetapi visi dan misi yang dilontarkan hanya dianggap kata-kata 
manis menghibur hati, jauh di lubuk hati terbetik pertanyaan kalkulasi nilai 
rupiah. Berapa Anda menghargai saya untuk waktu yang terbuang guna menghadiri 
pertemuan ini?

Tulisan ini memang untuk dikecam, bisa dikatakan tidak berazas, apalagi bukti 
konkrit. Bagaikan pohon yang tidak berakar, tidak berbatang, tiba-tiba ada 
cabang dan daun --itu pun telah digrogoti hama dan rayap. Tetapi apabila kita 
ingin jujur, jauh dari realitas kemunafikan, kita bisa katakan 'Inilah fenomena 
yang terjadi'.

Cenderung Kleptokrat
Entah dengan kosakata apalagi sindiran bagi mereka yang memanfaatkan kekuasaan 
untuk mengeruk keuntungan bagi diri sendiri, ribuan kata singgungan sudah 
terlontar dari yang lembut dengan tata bahasa santun sampai sumpah serapah dan 
makian (four-letter words), ternyata tidak menyurutkan tindak tanduk seseorang 
yang memegang tampuk kekuasaan untuk memperkaya diri tanpa mengindahkan 
penderitaan yang dirasakan masyarakat.

Bermula dari calon gubernur (cagub) dan wakil, walikota/bupati dan wakilnya, 
digaungkan oleh parpol sebagai kader terbaiknya. Di sisi lain, masyarakat hanya 
mendapatkan peran sebagai penggembira. Padahal, calon yang terpilih nanti bukan 
milik parpol atau golongan tertentu saja. Akan tetapi milik seluruh masyarakat 
yang melaksanakan pilkada.

Di sudut lain diusungnya calon yang akan berlaga di ajang pilkada oleh parpol 
tertentu, tidak terlepas dari isu politik uang, Seseorang yang ingin mengajukan 
diri sebagai cagub, cawali atau cabup kepada parpol tertentu, harus melalui 
biokrasi yang panjang. Hal itu menjadi mudah, apabila sang calon mempunyai 
'modal' yang cukup. Segala kekurangan calon yang diusung akan menghilang, dari 
minimnya pendidikan (gelar akademisi tanpa proses belajar) sampai terhapusnya 
noda kejahatan tempo dulu.

Kalau hal ini yang memulai pilkada, maka jangan heran sejarah kembali terulang. 
Kekuasaan adalah tempat berkumpulnya kleptomania untuk dapat mengembalikan 
sedikit kerugian akibat proses pencalonan dan meraup sebanyak-banyaknya 
keuntungan. Kita semua kembali terperosok dalam lubang yang sama di hari yang 
berbeda.

Pendidikan Politik Sesat
Kita menyadari, bangsa ini tengah digrogoti beberapa penyakit akut: krisis 
ekonomi; politik; sosial; kultural; paradigmatis. Tetapi penyakit ini semakin 
parah, manakala dokter yang menangani melakukan malpraktik dengan regimen 
terapi yang salah. Akhirnya pasien hanya bisa terkulai lemas menunggu kematian.

Penyakit bangsa ini akan menjadi majemuk (multimordinitas) manakala otak-otak 
pemikiran anak bangsa hanya terfokus kepada 'keuntungan' (at any cost). 
Penghitungan laba dari setiap tindakan akan menghilangkan nilai dan tujuan awal 
yang mulia yaitu kemakmuran bersama. Tetapi, inilah pendidikan politik yang 
diberikan elit politik kepada masyarakat.

Ternyata, bukan saja aliran religius yang bisa menyesatkan dan keluar dari 
norma dasar. Penyesatan bisa didapatkan, manakala pemikiran masyarakat sudah 
terplot sedemikian rupa dengan hanya berorientasi kepada keberuntungan sesaat. 
Setelah kekuasaan berada di tangan yang salah, penderitaan kembali mereka 
rasakan, karena hukum merupakan perintah dari penguasa terhadap yang dikuasai. 
(John Austin).

Memang kita mempunyai tatanan hukum, tetapi itu akan tidak mempunyai arti pada 
saat hukum tersebut berhadapan dengan kekuasaan. Penyakit komersil ini akan 
semakin terasa pada saat kampanye dilaksanakan, persaingan perebutan simpatik 
dan dukungan tidak lagi secara murni dilaksanakan, akan tetapi laksana perang 
dengan amunisi uang. Sesuai pernyataan Cicero: "Uang adalah syarafnya perang".

Di kesempatan yang lain ada teguran melalui sendi agama yang menjelaskan adanya 
surga dan neraka. Kembali kesadaran tersentak. Sadar, hal itu sudah keluar dari 
rambu moral yang ada. Tetapi itu hanya seutas benang merah penghalang yang akan 
lapuk dan putus ketika hajat manusiawi semakin intens menggrogoti puing moral 
yang mulai membusuk (moral decay). Dengan begitu pertanyaan terjawab: Pilkada 
hanyalah proses dengan hasil (out put) yang sama.

Pada akhirnya, dengan sisa rasa nasionalisme kita hanya bisa mengelus dada dan 
menunggu keajaiban dari langit tentang adanya perubahan menyeluruh. Reformasi 
hanya isapan jempol yang sering dilakukan anak-anak kita menjelang tidur. 
Penguasa tidak mewariskan kepintaran mereka kepada rakyat, sebaliknya 
meninggalkan dan menempelkan kebusukan.

Banyaknya sarjana hukum yang kita miliki dari berbagai strata tidak mampu 
berbuat banyak. Malah akhirnya ikut-ikutan atau sengaja mengikuti dengan alasan 
khilaf, mengulang kembali kesalahan. Penyakit bangsa ini sudah semakin 
menjadi-jadi, masih dengan peran yang sama. Rakyat sebagai tertindas, penguasa 
sebagai penindas, dan mayat hidup yang bernama negara.

Alumnus Magister Ilmu Hukum Unlam, tinggal di Banjarmasin
Copyright © 2003 Banjarmasin Post

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke