SUARA KARYA

            Polio, Busung Lapar dan Muntaber
            Oleh Ali Utsman 


            Rabu, 29 Juni 2005
            Benar apa kata masyarakat kita, "Indonesia tak putus dirundung 
malang." Setelah mencuat kasus polio, busung lapar dan kekurangan gizi, kini, 
masalah baru muncul, yakni wabah muntaber. Daerah paling menderita adalah 
Kabupaten Tangerang, yang berbatasan langsung dengan Ibukota Jakarta. Ada tiga 
kecamatan yang kondisinya paling parah, yakni Pakuhaji, Sepatan, dan Sukadiri. 
Diperkirakan, kecamatan-kecamatan lain pun juga mengalami kondisi yang sama, 
namun korbannya belum terdata. 

            Dalam "sekejap" (dalam hitungan hari), wabah muntaber di Tangerang 
merenggut tidak kurang dari 18 nyawa. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat 
Alwi Shihab pun menetapkan kasus muntaber di Tangerang, wilayah yang berada di 
serambi Jakarta, sebagai kejadian luar biasa (KLB). (Kompas, 24/6/2005). 

            Puluhan penderita terpaksa dirawat di Puskesmas (pusat kesehatan 
masyarakat). Padahal, Puskemas sebenarnya bukan tempat rawat inap. Namun, warga 
masyarakat yang tak berdaya itu memaksa untuk dirawat di sana karena letak 
rumah sakit jauh dari tempat mereka. Para penderita umumnya datang (dibawa 
orang-tua mereka) dalam kondisi sudah kritis dengan tubuh lemas dan membiru. 

            Sekali lagi, wabah itu telah menghentakkan kita semua. Bagaimana 
tidak, kita belum selesai dengan masalah busung lapar, kini muncul wabah yang 
mematikan itu. Dan, celakanya, penanganannya terlambat seperti saat penanganan 
kasus busung lapar dan kurang gizi. Kita baru mulai bergerak setelah korban 
berjatuhan. Beberapa warga yang dihubungi berpendapat, Pemerintah Kabupaten 
Tangerang lamban dalam menangani muntaber yang menyerang sejumlah kecamatan di 
kabupaten tersebut. 

            Di satu sisi, penetapan status KLB untuk muntaber di Tangerang 
adalah cermin dari reaksi cepat pemerintah agar pencegahan dan penyembuhan 
dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Di lain sisi, KLB muntaber itu 
cermin betapa kita tersandung pada masalah yang itu-itu lagi. 

            Setiap tahun kasus muntaber, termasuk demam berdarah, diterima 
sebagai kejadian yang tidak terelakkan. Padahal kita memiliki segalanya untuk 
mencegah. Kita memiliki aparatur sampai ke desa. Kita memiliki kemampuan dan 
pengetahuan, tetapi mengapa tidak efektif? Tentu ini pertanyaan yang amat 
menggugah kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk belajar dari pengalaman. 
Pemerintah malas belajar, masyarakat juga sama, sehingga dari tahun ke tahun 
masalah yang muncul pun sama sebagaimana yang pernah kita alami. 

            Kalau di Tangerang yang secara geografis berada dalam lingkar 
kehidupan Jakarta bisa muncul muntaber secara tiba-tiba dan menjelma menjadi 
KLB, bagaimana nasib daerah lain yang letaknya jauh dari Ibukota? Padahal 
muntaber tidak seperti gempa bumi atau tsunami yang datang tiba-tiba dan sulit 
diprediksi. 

            Belakangan ini kita mengalami banyak sekali bencana yang muncul dan 
menggegerkan. Padahal bencana-bencana, terutama di bidang kesehatan, itu tidak 
begitu saja mewabah. Sebut saja, penyakit malaria yang melanda sejumlah daerah 
yang dulu dinyatakan aman. Juga penyakit TBC yang mewabah kembali. Busung lapar 
serta penyakit lumpuh layuh yang menakutkan sekaligus memalukan. 

            Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di negeri ini? Setiap tahun 
kita dibelenggu penyakit dan bencana yang itu-itu lagi. Sebagai bangsa, kita 
seperti tidak memiliki kemampuan dan kemauan untuk belajar dari masa lalu. 

            Kebakaran hutan yang menimbulkan asap di berbagai kota di Asia 
Tenggara, kita terima sebagai keniscayaan. Muntaber, demam berdarah, banjir, 
dan longsor, kita anggap sebagai hal yang lumrah. Penyakit aneh yang disebut 
dengan lumpuh layuh pun sekarang diterima sebagai kewajaran. 

            Pengulangan-pengulangan malapetaka dengan tingkat intensitas yang 
membesar menimbulkan pertanyaan, apa saja masalah mendasar di republik ini yang 
telah diselesaikan secara tuntas? Rasanya belum ada. Manajemen negara yang 
dipercaya kepada pemerintah hasil pemilu ke pemilu seperti berputar-putar di 
persoalan konflik intern partai, perebutan kekuasaan, dan lain sebagainya. 

            Bahkan, sekarang, kita tengah mengalami krisis baru yang bernama 
krisis kelangkaan BBM (bahan bakar minyak). Ini adalah krisis yang selama tiga 
dasawarsa tidak pernah terjadi. Padahal sejak jauh-jauh hari para petinggi 
negara sudah mengingatkan mulai tahun 2000-an Indonesia akan menjadi net 
importer minyak. 

            Terlalu banyak contoh tentang kelalaian dan pengabaian terhadap 
kepentingan masyarakat banyak oleh birokrasi. Terlalu banyak contoh yang 
memperlihatkan betapa kita terperosok dalam persoalan yang itu-itu saja 
sehingga tidak mampu beranjak ke persoalan lain. 

            Siapakah yang mengurus rakyat sekarang ini? Bencana boleh datang 
silih berganti, tetapi para elite di Jakarta memiliki agenda yang lain. Mereka 
sibuk bermanuver untuk kepentingan diri dalam Pemilu 2009. 

            Ironisnya lagi, dalam merespons fenomena itu, seorang camat di 
Kabupaten Tangerang dengan enteng mengatakan, tidak mengetahui jika daerahnya 
terserang wabah muntaber dan mengaku kurang paham masalah kesehatan sehingga 
berpikir, wabah yang muncul masih bisa ditanggulangi. Camat itu pun masih 
mencoba mengelak bahwa yang menderita itu tidak hanya berasal dari 
kecamatannya, tetapi juga dari kecamatan lain sehingga tidak menduga sebuah 
kejadian luar biasa telah diberlakukan di kecamatannya. (Suara Pembaruan, 
23/6/2006). 

            Sikap seorang pemimpin seperti itu patut disesalkan. Seharusnya 
mereka mengetahui keadaan rakyatnya termasuk soal penyakit, tanpa perlu harus 
menjadi ahli terlebih dahulu. Korban mungkin tak akan banyak berjatuhan bila 
pemerintah cepat tanggap. Bukankah penyakit ini sudah menyerang sejak 8 Juni 
lalu? Namun, semua baru bergerak setelah menjadi wabah, kejadian luar biasa. 

            Harus dicari akar penyebab wabah muntaber itu. Departemen Kesehatan 
sedang menelitinya. Yang baru diketahui, gejala klinis di antaranya penderita 
muntah-muntah dan mual, disertai buang air besar yang terus menerus. Kematian 
akibat muntaber disebabkan oleh penanganannya yang terlambat sehingga terjadi 
kekurangan cairan (dehidrasi). Bila ditangani secara baik, angka kematian 
akibat muntaber bisa kurang dari satu persen, kecuali terjadi komplikasi. 

            Yang sudah pasti, kondisi sanitasi tempat tinggal para korban wabah 
muntaber di Kabupaten Tangerang memang jauh dari persyaratan sehat. Umumnya 
mereka tidak memiliki sanitasi yang baik karena sebagian adalah warga miskin 
yang mengandalkan penghidupannya sebagai petani dan buruh. Lagi-lagi, 
kemiskinan membuat korban tidak bisa mendapatkan akses untuk mendapatkan hak 
hidup sehat. 

            Karena itu, menurut hemat saya, langkah darurat yang perlu segera 
dilaksanakan sekarang adalah memasok air bersih ke kawasan yang sedang dilanda 
wabah tersebut. Warga sangat membutuhkan air bersih karena sumur mereka telah 
tercemar. Langkah darurat lain adalah melakukan kaporitisasi untuk air konsumsi 
mereka. 

            Belajar dari kejadian luar biasa lain, seperti dalam kasus 
munculnya kembali polio dan busung lapar, kita berharap pemerintah bisa 
melakukan pencegahan di daerah masing-masing agar wabah yang sama tidak 
terjadi. Jangan sampai, wabah muntaber seperti di Kabupaten Tangerang akan 
muncul pula di daerah lain. Bila itu yang terjadi, sungguh memilukan nasib 
kita. *** 

            (Penulis, pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan, kontributor
            pada Center for Aufklarung Studies, Yogyakarta).  
     
     


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke