http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/13/nas02.htm
Analisis ekonomi Privatisasi atau Profitisasi? Didik J Rachbini MENTERI Keuangan baru-baru ini menagih Menneg BUMN untuk menyetorkan dana privatisasi 3,5 trilIun rupiah. Dana tersebut dimaksudkan sebagai penambal defisit di luar pemasukan dari migas dan nonmigas (pajak). Tagihan ini tentu mengagetkan Menneg BUMN yang tidak sama sekali mencantumkan agenda privatisasi sehingga berkelit mencari jalan lain untuk memenuhi tagihan tersebut. Pandangan ini tidak hanya berhenti pada Menneg BUMN. Sehari setelah itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menyampaikan bahwa BUMN tidak akan dijual murah. Aset negara tersebut hanya akan dijual, jika negara dalam keadaan krisis ekonomi. Dengan demikian, gagasan privatisasi seperti dilakukan dua pemerintahan sebelumnya tidak akan dilakukan lagi pada pemerintahan sekarang. Sebagai jalan keluar, muncul gagasan Menneg BUMN Sugiharto untuk mengganti pendapatan dana APBN dari privatisasi BUMN dengan deviden BUMN. Gagasan ini cukup menarik, karena implikasinya adalah perintah Menneg kepada BUMN-BUMN untuk meningkatkan keuntungannya. Sementara itu, kondisi kebanyakan BUMN tidak cukup memadai untuk menyetorkan deviden yang besar dari keuntungannya. Namun setidak-tidaknya hal ini menjadi gagasan yang segar dalam wacana kebijakan publik. Selama ini untuk menambal defisit "bolongnya" APBN, pemerintah hanya mengambil jalan pintas dengan cara menjual harta yang produktif milik negara, yaitu BUMN. Gagasan ini selanjutnya bisa menjadi langkah yang produktif bagi keberlangsungan pembangunan ekonomi dengan cara tidak menjual murah aset negara yang baik. Pada satu sisi BUMN tidak serta merta dijual murah dan beralih menjadi milik swasta (luar negeri). Pada sisi lain pembangunan tetap terus dapat dibiayai dari sumber-sumber keuntungan BUMN itu. Pandangan seperti ini lebih sesuai dengan aspirasi politik yang berkembang sekarang. Implementasi gagasan ini akan mendapatkan dukungan dari masyarakat, karena dilakukan tidak melalui obral aset BUMN, tetapi mengambil deviden dari BUMN yang mempunyai keuntungan. Kebijakan ini berkesan tidak menyakitkan hati masyarakat. *** Secara faktual, APBN yang selalu defisit sangat memerlukan tambahan dana dari penerimaan-penerimaan bukan pajak. Di masa yang lalu, penerimaan dari defisit tersebut ditambal dengan menjual BUMN dengan murah, karena kondisinya di bawah tekanan kebijakan negara. Karena itu, jalan keluar yang dianggap solusi paling tepat waktu itu untuk menutupi defisit itu diambil dari perolehan dana privatisasi. Kaharusan pilihan kebijakan seperti ini menimbulkan luka publik, karena menjual aset negara terasa seperti dalam kondisi bangkrut, yang tertimpa tangga pula dengan keniscayaan mesti menjual aset BUMN-BUMN tersebut. Yang disayangkan pada waktu lalu adalah mengapa harus menjual angsa bertelur emas. Bukankah menjual telurnya saja sudah mendapat penerimaan yang cukup besar? Kebijakan seperti ini yang akan dilaksanakan oleh pemerintah saat ini. Kalangan DPR juga cenderung dengan kebijakan seperti ini, agar tidak terjadi kontroversi dan komplikasi lagi di tengah-tengah masyarakat. Harta benda produktif yang kita miliki adalah BUMN, yang tidak seharusnya dijual murah karena tekanan krisis dan tekanan pihak luar. Sementara itu, kebijakan privatisasi dengan cara menjual BUMN secara politik sudah berhadapan dengan masyarakat dan parlemen sehingga secara politik tidak layak. Karena itu, caranya harus diubah, untuk menambal defisit APBN Menneg dapat mengarahkan BUMN untuk megambil deviden agar bisa disetorkan ke kas negara. Beberapa BUMN mempunyai keuntungan, yang cukup memadai sehingga bisa dijadikan andalan untuk menyetor deviden sebagai pengganti dana privatisasi. Jadi, deviden dapat diambil dari sebagian keuntungan atau bahkan seluruh keuntungan BUMN, yang kemudian diserahkan kepada yang mempunyai saham, dalam hal ini pemerintah. Dengan cara ini, defisit APBN dapat diatasi. Secara politik ini merupakan kebijakan yang lebih bersifat elegan dan cukup baik. Selanjutnya, Menneg BUMN dapat melakukan langkah-langkah agar target-target keuntungan bisa lebih tinggi dari yang sekarang dan sebelumnya. *** Kalangan DPR mempunyai kecenderungan bersepakat dengan cara ini. Sebagai anggota Komisi VI DPR RI, saya telah meminta secara tertulis agar kinerja keuntungan BUMN dapat ditingkatkan, sehingga kebijakan seperti ini lebih mudah direalisasikan. Hal itu juga merupakan bagian dari materi rapat dengan Menneg BUMN, yang mesti menjadi perhatian lebih serius. Bahkan, Komisi VI DPR RI akan terus menagih target-target kuantitatif yang harus dicapai Kementrian BUMN, terutama dalam meningkatkan keuntungannya. Jika cara ini dilakukan, maka langkah-langkah lanjutan adalah meminta Menneg BUMN, yang diawasi oleh DPR, untuk menambah target kuantitatif keuntungan BUMN. Sementara itu, sebagian BUMN yang merugi harus ditekan tingkat kerugiannya agar tidak membebani negara. Tampaknya aspirasi masyarakat yang berkembang bisa selaras dengan pandangan kebijakan seperti ini. Skema privatisasi penjualan BUMN-BUMN di masa lalu, seperti Indosat, telah melukai perasaan publik secara mendalam, bahkan sangat menyakitkan hati. Artinya, ada jalan lain yang bisa dilakukan untuk mengatasi defisit, bukan dari jual murah BUMN. Jumlah dana dari privatisasi yang harus disetorkan hanya 3,5 triliun rupiah. Angka 3,5 triliun rupiah itu bukan angka yang cukup berarti bila dilihat dari keuntungan BUMN yang sudah bisa diperoleh maupun dilihat dari potensi aset yang besar mencapai 1.200 triliun rupiah. Jadi, kewajiban Menneg BUMN cukup layak untuk dilaksanakan sebagai alternatifnya. Kebijakan ini selanjutnya bisa dijadikan penentu untuk memacu BUMN bekerja keras meningkatkan keuntungan dan deviden. Dengan memperbesar deviden yang harus diserahkan oleh BUMN-BUMN, maka target keuntungan kolektif harus ditingkatkan pula. Sasaran kuantitatif wajib dijadikan dokumen resmi yang harus dicapai masing-masing BUMN. Kinerja Menneg BUMN dan masing-masing perusahaan negara tersebut dilihat secara langsung dari keberhasilan mencapai sasaran kuantitatif tadi. Jadi, politik BUMN sekarang bisa dikatakan berubah arah. Politik BUMN di masa yang lalu adalah politik privatisasi dengan gaya bebas atau neoliberal, mainstream, dan gaya fundamentalis. Ini merupakan warna pikiran ekonom, yang tidak mempunyai akar sosial-politik. Karena itu, di masa lalu banyak BUMN strategis dan bagus dijual, seperti kasus Indosat, yang memunculkan kontroversi luar biasa. Hal tersebut menimbulkan kerugian yang besar berupa hilangnya BUMN dan ongkos sosial politik yang mahal.(41t) [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/