http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2009012800555317
Rabu, 28 Januari 2009 Pro-Kontra Fatwa Rokok dan Golput! H. Bambang Eka Wijaya "KAU sinting, ya?" entak Umar. "Sudah pun pilkada lalu golput, kini merokok, sambil menonton video yoga, menimang buku tabungan bank umum yang suku bunganya riba! Sekali gaya, empat kali haram!" "Bukan sinting, melainkan pusing!" sambut Amir. "Lihat nih, SMS; Apa golput akibat tidak kebagian kartu pemilih, atau tidak punya pilihan sebab kata lembaga survei, parpol termasuk lembaga terkorup di Indonesia itu haram, sama dengan makan daging babi?" "Sudahlah, jangan ikut terjebak pro-kontra fatwa haram rokok dan golput itu!" tegas Umar. "Ikut aliran agama masing-masing saja! Buat warga NU, sudah ada penegasan dari Rais Syuriah, Kiai Buntet, Cirebon, hukum rokok tetap makruh--berdosa jika dikerjakan dan tidak berpahala jika ditinggalkan! Juga warga Muhammmadiyah, Ketua Umumnya Din Syamsuddin menyatakan sebaiknya sebagai seruan dakwah fatwa mempertimbangkan faktor-faktor sosial ekonomi dan sosial politik masyarakat! Fatwa tentang rokok dan golput, kata Din, kurang mempertimbangkan hal itu!" "Tekanan untuk mempertimbangkan faktor sosial ekonomi secara tegas justru datang dari ketua MUI Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, di mana penghidupan warga daerahnya banyak bergantung pada industri rokok!" sela Amir. "Jadi ketua MUI itu minta fatwa MUI itu ditinjau kembali! Harapan sama juga bisa datang dari warga 'segitiga emas' Besuki--Probolinggo-Pasuruan-Lumajang--yang mayoritas petani tembakau!" "Dari segi sosial politik penolakan fatwa golput haram malah datang dari Gus Dur, dengan menegaskan fatwa itu cuma menutupi kelemahan KPU dalam sosialisasi dan mobilisasi pemilih!" timpal Umar. "Gus Dur menegaskan dirinya tetap golput!" "Dengan demikian, bagi warga Muhammadiyah dan NU sudah jelas garis penyikapannya terhadap kedua fatwa MUI terakhir itu!" tegas Amir. "Sedang bagi warga di luar kedua ormas, menjadi hak pribadi masing-masing untuk menentukan sesuai dengan paham aliran yang diikutinya!" "Kalau sudah jelas begitu, ikuti saja paham aliran masing-masing, kan enak! Tidak perlu lagi semua orang diajak ngotot mempertahankan kebenaran paham aliran masing-masing, yang setiap aliran sah itu punya tradisi yang dibangun lewat perjalanan sejarah panjang!" sambut Umar. "Sebab itu, jadi enak pula bicara tentang hak warga negara, termasuk hak pilih dalam pemilu, yang diatur dan dijamin secara konstitusional! Kalau hak itu dirampas dari warga negara, lalu dijadikan kewajiban, tentu diperlukan persetujuan seluruh rakyat untuk menyerahkan hak tersebut lewat suatu mekanisme referendum!" "Itu dia!" timpal Umar. "Apalagi inti dari kemerdekaan adalah diberikan dengan sepenuh-penuhnya hak-hak universal bagi setiap warga suatu negara! Jika hak-hak itu dipereteli, lama-lama yang dimiliki cuma kewajiban, realitas warga bangsa itu tinggal sekelas budak--tdiak punya hak apa pun! Pasti para ulama--terutama dari NU dan Muhammadiyah--sama sekali tidak menghendaki hal seperti itu!" [Non-text portions of this message have been removed]