http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=244756
Prostitusi Negara dan Orang Miskin Oleh Abdul Wahid Kamis, 21 Januari 2010 Martin Luther, yang dikenal sebagai salah seorang tokoh dalam sejarah Amerika Serikat, mengatakan, kemiskinan dapat membuat orang susah jadi pemberani, mendorong orang terdesak jadi penyimpang dan kriminal, serta melecut emosi orang tertindas menjadi pelaku-pelaku yang bertentangan dengan nilai-nilai moral. Orang miskin tiba-tiba bisa punya keberanian untuk menumpahkan darah. Sebagai kritik radikal, berbagai bentuk penyakit sosial, pelanggaran moral, penelanjangan norma hukum, pengamputasian nilai-nilai agama, dan pembangkangan etika, merupakan bagian logis yang layak diterima dalam suatu masyarakat yang sedang dilanda akumulasi krisis berkategori berat, seperti krisis ekonomi, krisis moral, krisis kredibilitas, yang berimbas pada banyak rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Tesis Luther ini tampaknya benar-benar terbukti manjur di negeri ini. Pada saat sebagian elemen masyarakat terjebak dalam ketertindasan luar biasa, berbagai bentuk pemberontakan atau pembangkangan bisa dilakukan oleh anak manusia negeri yang sedang terjajah dalam ketidakberdayaan, baik pemberontakan atau perlawanannya berbentuk kontra yuridis, agama, maupun kesusilaan. Ketika keterampilan yang dipunyai sebatas olah tubuh atau mengomoditas kekuatan ragawinya demi mengentas kesulitan ekonomi yang menderanya, maka hal itu layak disebut sebagai bentuk "perlawanan" terhadap ketertindasan atau ketidakadilan ekonomi yang sudah menyiksanya. Mereka menggunakan kekuatan ragawinya untuk menggugat kemapanan ketidak-adilan ekonomi dan hilangnya sensitivitas komitmen kerakyatan. Orang pintar, pejabat, dan pengusaha bisa bermain-main dengan lidahnya untuk memenuhi keserakahan mereka yang oleh Edwin Sutherland disebut sebagai "kejahatan kerah putih". Mereka menggunakan dalil-dalil kebijakan ekonomi dengan menghalalkan segala cara demi keuntungan pribadi dengan mengkriminalisasi hak-hak rakyat dan negara dengan bahasa akalnya. Mereka menempuh koalisi-koalisi untuk memenuhi ambisinya. Mereka menggunakan kemampuan intelektualnya untuk membuka keran-keran kekayaan negara (rakyat) yang bisa dijadikan sebagai objek "prostitusi strukturalnya" atau sindikasi birokrasinya. Sementara itu, orang-orang kecil yang tingkat pendidikannya rendah bergelut untuk keluar dari hegemoni kesulitan dengan cara-cara yang konvensional, seperti bekerja seharian hanya mendapatkan imbalan minim. Mereka ini bahkan tak sedikit yang membarterkan tubuhnya demi "panggilan" perut anak-anaknya yang di rumah sedang dililit kelaparan atau sakit-sakitan. Orang-orang kecil ini terpaksa menjual tubuhnya untuk memenuhi panggilan kepentingan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Praktik kriminalisasi tubuhnya ini juga ada di antaranya yang digunakan untuk menguatkan "rezim bisnis tubu"' yang diaktori kalangan tertentu yang berkoalisi dengan oknum keamanan. Dalam ranah kepentingan itulah kemudian bahasa tubuh kaum akar rumput dapat terbaca jelas. Pragmatisme ekonomi yang lebih sering ditampilkan di depan, meski dengan mempertaruhkan harkat dan martabatnya sebagai manusia, tetaplah dilakukan demi paradigma kebutuhan riil, bukan kebutuhan yang dibahasakan secara mark-up. Dengan bahasa tubuh itulah sebenarnya mereka mencibir, mengumpat, dan mengkritik orang-arang kaya dan elite negara yang sering tampil layaknya pengkhotbah kebenaran, yang realitasnya tidak berbeda dengan jagat kaum prostitusi. Bisnis seksual merupakan penyakit sosial yang di satu sisi dibenci dan dicaci-maki, namun di sisi lain sangat diminati konsumen dalam jumlah besar. Prostitusi seperti magnet sosial yang tetap mengepulkan asap ekonomi yang spektakuler. Nilai ekonominya menjadikan denyut napas dan nafsu kaum petualang seks dianggap sah untuk dilindungi oleh kekuatan (oknum) penegak hukum yang sedang kehilangan panduan etika profesinya. Tragisnya lagi, mereka sepertinya menikmati aroma komoditas biologis dan kapitalisme prostitusi itu dengan cara memberikan kelonggaran, membiarkan, dan menangani suatu kasus dengan setengah hati. Mereka tidak peduli kalau yang dijadikan proyek kapitalisme seksual deviatif ini banyak di antaranya yang masih tergolong anak-anak di bawah umur. Anak-anak Indonesia di samping mendapat kelonggaran menjalankan pekerjaannya, mereka juga dibiarkan terkerangkeng dalam ketidakberdayaan, kemiskinan, dan kebodohan. Mereka ini tidak dijadikan proyek maksimal oleh negara dalam gerakan bebas dari kebodohan secara egaliter oleh negara, sehingga mereka rentan menjadi objek terus-menerus dan berlapis kalangan sindikat. Mereka itu akhirnya tergiring memasuki pasar pelacuran atau perdagangan manusia secara berlanjut. Sebab, pasar patologi sosial ini dianggap menjanjikan kepastian sumber pendapatan atau lebih memanusiakannya dibanding negara. Mereka dididik oleh sindikat sesuai dengan hukum pasar bahwa untuk dapat keuntungan haruslah keluar modal. Dan, mereka dipaksa mengeluarkan modal tubuhnya untuk membenarkan keserakahan hukum pasar yang didesain menjadi rimba yang serbabiadab. Kondisi itu merupakan kesalahan besar negara, khususnya sejak dipaksakannya paradigma pembangunan ekonomi Orde Baru berbasis kapitalistik. Banyak segmen bangsa ini yang di satu sisi bisa menjadi komunitas yang makmur instan, sementara di sisi lain makin bertebaran anak-anak bangsa yang terdesak atau termarginalkan dalam kantong-kantong ketidakberdayaan, sehingga terjerumus dalam jagat abu-abu. Barangkali saat ini, pendekatan bercorak humanistik (berbasis kemanusiaan) dari setiap segmen negara yang berstrata sebagai pemimpin, aparat kekuasaan, dan kelompok ekonomi mapan untuk membuladkan tekad guna memperjuangkan nasib mereka. Pendekatan ini berkarakter memanusiakan manusia, sehingga tatkala pendekatan ini benar-benar digunakan, maka setiap gerak juang mencerminkan jati diri dan responsi kemanusiaan. Kalau ini tak diwujudkan, bukan tak mungkin suatu ketika pebisnis tubuh itulah yang akan menjadi "raja" yang disembah-sembah oleh kekuatan sosial patologis yang berdiri di belakangnya. *** Penulis adalah Dekan Fakultas Hukum Unisma Malang dan dosen Pascasarjana PPS Unisma [Non-text portions of this message have been removed]