Mencegah Sekularisasi Pancasila Oleh : KH Ma'ruf Amin (Ketua MUI) Maklumat keindonesiaan yang digagas dalam simposium nasional bertema 'Restorasi Pancasila' di Fisip UI pada 30-31 Mei 2006 dan dibacakan Todung Mulya Lubis pada peringatan Hari Lahir Pancasila, menarik dicermati. Maklumat itu menegaskan Pancasila bukanlah agama dan tak satu agama pun berhak memonopoli kehidupan yang dibangun berdasarkan Pancasila. Maklumat juga menegaskan keluhuran sosialisme dan keberhasilan material yang diraih kapitalisme.
Kita tidak tahu ada apa di balik penegasan itu. Di satu sisi dinyatakan tak satu agama pun boleh mendominasi kehidupan yang dibangun berdasarkan Pancasila, sementara sosialisme --yang dibangun berdasarkan ideologi materialisme dan antiagama, dan karenanya bertentangan dengan nilai Pancasila--- justru diagungkan. Demikian juga dengan kapitalisme yang dibangun berdasarkan sekularisme dan 'setengah' antiagama, serta nyata-nyata melahirkan ketidakadilan global --yang bertentangan dengan nilai Pancasila-- malah dipuja-puja. *Vision of state* Pancasila memang bukan agama, karena ia merupakan kumpulan *value* (nilai) dan *vision* (visi) yang hendak diraih dan diwujudkan bangsa Indonesia saat berikhtiar mendirikan sebuah negara. Meski demikian, bukan berarti Pancasila antiagama, atau agama harus disingkirkan dari 'rahim' Pancasila. Karena agama diakui, dilindungi, dan dijamin eksistensinya oleh Pancasila. Masing-masing agama berhak hidup dan pemeluknya bebas menjalankan syariat agamanya. Dengan nilai dan visi ketuhanan, arah Indonesia bukanlah negara sekuler, juga bukan sosialis-komunis maupun kapitalis-liberal. Sangat ganjil dan aneh jika agama --khususnya Islam-- hendak disingkirkan dan dibuang jauh-jauh dari kehidupan, dengan logika tidak boleh ada satu agama (kebenaran) yang mendominasi. Hak umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya selalu saja dibenturkan dengan Pancasila dan UUD 1945. Karena itu, maklumat atau logika-logika sejenisnya hanyalah tafsiran nisbi, bahkan (maaf) sangat *absurd*. Tapi selalu dipaksakan segelintir orang kepada mayoritas rakyat di negeri ini. Aneh, memang, mereka memaksakan tafsirannya atas kebenaran. Bahkan memonopoli tafsiran itu dan dipaksakan kepada orang lain. Ini bentuk inkonsistensi cara berfikir. Tapi, bagi mereka, justru ini merupakan bentuk konsistensi, konsistensi menolak Islam. Karena itulah, hubungan antara agama --khususnya Islam-- dengan negara tak pernah solid karena adanya pihak yang terus-menerus membenturkan agama dan negara. Ketika bangsa yang mayoritas Muslim ini berhasil menyelenggarakan pemilu, mereka berteriak lantang bahwa demokrasi kompatibel dengan Islam. Tapi giliran umat Islam menuntut syariatnya diterapkan, mereka menolak dengan menggunakan tafsir kebenaran sendiri yang (maaf) sudah klise. Cara berpikir seperti ini tentu picik dan tidak jujur. Picik, karena selalu menggunakan Pancasila dan konstitusi sebagai pelarian. Tidak jujur, karena orang-orang itu tidak mau menerima kenyataan, bahwa demokrasi yang mereka agung-agungkan mengajarkan *vox populi, vox dei* (suara rakyat suara tuhan). Jika rakyat yang mayoritas menginginkan kehidupan mereka diatur syariat, mengapa mereka harus menolak? Kalau kepicikan dan ketidakjujuran ini terus dipraktikkan, kalangan Muslim yang masih menerima demokrasi pun pada akhirnya akan muak. Pada akhirnya, umat Islam akan membuktikan sendiri bahwa demokrasi hanyalah jargon kaum kapitalis-sekuler untuk mempertahankan kepentingan mereka. *Sekularisasi Pancasila* Pengamat Politik LIPI, Mochtar Pabottingi, juga mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan vision of state yang mendahului berdirinya Republik Indonesia (*Republika*, 1/6). Visi itu kemudian dituangkan dalam Pasal 29 UUD 1945, yang menyatakan ''negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa''. Artinya, dengan visi itu, para pendiri negara ingin menegaskan bahwa negara yang dibangunnya bukanlah negara sekuler. Karena itu, tidak ada satupun pasal dalam UUD 1945 yang menolak agama dijadikan sebagai sumber hukum. Bahkan, banyak pakar hukum Indonesia yang memberikan penegasan bahwa Islam merupakan salah satu sumber hukum nasional. Maka, penegasan bahwa Pancasila bukanlah agama dan agama tidak boleh memonopoli kebenaran, jelas merupakan upaya untuk menistakan agama, dan memisahkan Pancasila dari agama. Sebagai *open idea* (ide terbuka) atau *open value* (nilai terbuka) --sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden SBY pada 1 Juni 2006-- seharusnya kontribusi agama dalam membimbing visi yang dicita-citakan itu tidak boleh dibendung. Apalagi dengan membenturkannya. Apakah kontribusi agama, tepatnya penerapan syariat Islam akan mengancam keharmonisan warga negara yang memiliki agama dan keyakinan yang plural? Mari jujur melihat fakta. *Pertama*, Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Sedangkan agama-agama lain tidak memiliki syariat yang mengatur urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum, politik luar negeri. Agama-agama itu hanya mengatur urusan-urusan ibadat, cara berpakaian, makan, minum, kawin, dan cerai. *Kedua*, sebagai agama yang menoleransi kemajemukan agama warganegara, Islam memiliki perspektif bahwa pengaturan urusan ibadat, cara berpakaian, makan, minum, kawin, dan cerai pemeluk agama lain diserahkan kepada agama masing-masing. Islam menjamin kebebasan mereka untuk menjalankan syariat agamanya. *Ketiga*, bilamana syariat Islam --dalam posisi sebagai produk hukum sebagaimana hukum yang dihasilkan oleh ideologi kapitalisme atau sosialisme-- diadopsi suatu negara yang memiliki warga negara yang terdiri atas berbagai pemeluk agama, maka penerapan syariat Islam --sebagaimana juga produk hukum lain dari ideologi kapitalis ataupun sosialis-- yang bersifat mengikat dan memaksa semua warga negara, adalah hukum-hukum yang bersifat umum. Seperti urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum, dan politik luar negeri. Dengan demikian, secara normatif tidak akan pernah terjadi benturan atau disharmoni dalam hubungan antara Muslim dan non-Muslim. Secara historis, kondisi itu telah dibuktikan oleh sejarah Islam sepanjang 800 tahun, ketika Spanyol hidup dalam naungan Islam. Tiga agama besar yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi bisa hidup berdampingan. Masing-masing pemeluknya bebas menjalankan syariat agamanya, dijamin oleh negara. Inilah yang diabadikan oleh Mc I Dimon, sejarawan Barat, dalam *Spain in the Three Religion*. Untuk kasus Indonesia, kita tidak mungkin menyingkirkan fakta bahwa: pertama, Islam telah tumbuh dan berkembang di Indonesia lebih dari 500 tahun. Kedua, Islam dianut mayoritas, sekitar 87 persen. Ketiga, hukum Islam hidup di masyarakat Indonesia lebih dari 500 tahun, sehingga hukum Islam sudah menjadi *law life* (hukum yang hidup). Wajar kalau syariah Islam menjadi sumber hukum peraturan perundangan di Indonesia. Aneh kalau ada yang menentangnya. Di samping itu, secara substansi, ajaran Islam adalah ajaran yang universal, *rahmatan lil 'alamin*, bukan hanya *rahmatan lil Muslimin*. Kalimat *rahmatan lil 'alamin* selalu diucapkan oleh semua pihak, termasuk kalangan pejabat, mulai dari presiden hingga kepala desa. Bila semua warga negara tanpa pandang bulu mendapatkan rahmat dari penerapan hukum tersebut, maka harmonisasi pasti tercipta. Adopsi hukum syariah pasti menjamin rahmat bagi semua? Sebab hukum syariah dan ajaran Islam sangat jelas bersumber dari Alquran dan Hadits Nabi SAW yang merupakan wahyu Allah SWT Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang, Dzat Yang Maha luas rahmat-Nya. *Mewujudkan cita-cita* Kalau syariat Islam diterapkan, bukan hanya kesatuan dan persatuan Indonesia, tetapi kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial bagi seluruh rakyat, serta hikmah dan kebijaksanaan dalam permusyaratan atau perwakilan juga diterapkan. Dalam Islam, umat lain mendapatkan perlindungan penuh dari negara. Juga jaminan kebutuhan hidup yang sama, baik sandang, papan, dan pangan, serta kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Nabi SAW pernah mengatakan,''*Man adza dzamiiyan faqad adzani* (Siapa saja yang menganiaya ahli dzimmah, maka sama dengan menganiaya diriku).'' Ketika rumah seorang Yahudi hendak digusur oleh Amr bin al-Ash untuk pembangunan masjid, yang berarti menasionalisasi hak milik pribadi, Umar bin Khatab marah dan meminta gubenurnya mengembalikan hak milik pribadi Yahudi tersebut. Juga kisah Ali bin Abi Thalib, yang bersengketa dengan orang Yahudi soal baju besi. Kasus itu dimenangkan oleh orang Yahudi, yang notabene rakyat jelata. Inilah jaminan yang diberikan Islam, lebih baik dibanding konsep keadilan sosial yang diadopsi dari sosialisme dan kapitalisme. Demikian halnya dengan hikmah dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan. Islam memberikan ruang yang cukup dan proporsional kepada publik untuk menyampaikan pandangannya. Inilah yang dikenal dengan *syura wa akhdz ar-ra'y* (permusyawaratan dan pengambilan pendapat). Ada wilayah di mana pendapat tersebut harus diambil dari syariat, ada yang diambil dari pendapat mayoritas, dan ada juga yang diambil berdasarkan pandangan ahli/pakar, atau yang paling benar. Masing-masing didudukkan secara proporsional. Dengan demikian, kebebasan berpendapat tidak akan keluar dari pakemnya. Islam bukan memberangus kebebasan berpendapat, tapi mengarahkan dan membimbingnya. Dalam Islam, ada *Majelis Ummah* dan ada juga partai politik yang berfungsi mengontrol pemerintah. Bahkan, kalau pemerintah menyimpang dari haluan negara, ada *Mahkamah Madzalim* yang bisa memberhentikannya. Lalu, mengapa kita masih mempersoalkan kontribusi Islam?Apakah kita tidak pernah memahami keagungan ajaran Islam? Ataukah kita memang selalu menutup mata, atau mungkin berniat tidak baik terhadap Islam? *Wallahu a'lam*. *Ikhtisar* - Visi Pancasila dituangkan dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan ''negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa''. Dengan visi ini, pendiri negara ingin menegaskan bahwa negara yang dibangunnya bukanlah negara sekuler. - Dalam UUD 1945 tidak ada satupun pasal yang menolak agama dijadikan sumber hukum. Bahkan, banyak pakar hukum Indonesia yang memberikan penegasan bahwa Islam merupakan salah satu sumber hukum nasional. Sumber : http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=252197&kat_id=16* *<http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=252197&kat_id=16>(Rabu, 14 Juni 2006) -----Original Message----- From: ppiindia@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of radityo djadjoeri Sent: Tuesday, June 20, 2006 12:10 AM To: soe_hok_gie@yahoogroups.com; mediacare@yahoogroups.com; forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] Cc: [EMAIL PROTECTED]; goenawan mohamad; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; Dwi Christianto; [EMAIL PROTECTED] Subject: [ppiindia] Maklumat ke-Indonesia-an Pada hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni yang lalu, di depan Presiden SBY sebuah maklumat dibacakan oleh Todung Mulya Lubis, yang berdiri di panggung disertai sejumlah aktivis dan cendekiawan. Berikut teks lengkapnya: Pernyataan Ke-Indonesia-an Kita bersama-sama di sini, untuk menegaskan kembali Indonesia tempat kita berdiri. Indonesia sebagai sebuah warisan yang berharga, tapi juga sebuah cita-cita. Indonesia yang bukan hanya amanat para pendahulu, tapi juga titipan berjuta anak yang akan lahir kelak.. Kita bersama-sama di sini, untuk menyadari kembali, bahwa Indonesia adalah satu prestasi sejarah namun juga proyek yang tak mudah. Dalam banyak hal, tanah air ini belum rampung. Tetapi sebuah masyarakat, sebuah negeri, memang proses yang tak akan kunjung usai. Seperti dikutip Bung Karno, bagi sebuah bangsa yang berjuang, tak ada akhir perjalanan. Dalam perjalanan itu, kita pernah mengalami rasa bangga tapi juga trauma, tersentuh semangat yang berkobar tapi juga jiwa yang terpuruk. Namun baik atau buruk keadaan kita, kita bagian dari tanahair ini dan tanahair ini bagian dari hidup kita: 'Di sanalah kita berdiri, jadi pandu Ibuku'... Di sanalah kita berdiri: di awal abad ke-21, di sebuah zaman yang mengharuskan kita tabah dan juga berendah hati. Abad yang lalu telah menyaksikan ide-ide besar yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, namun akhirnya gagal membangun sebuah masyarakat yang dicita-citakan. Abad yang penuh harapan, tapi juga penuh korban. Abad sosialisme yang datang dengan agenda yang luhur, tapi kemudian melangkah surut. Abad kapitalisme yang membuat beberapa negara tumbuh cepat, tapi memperburuk ketimpangan sosial dan ketakadilan internasional. Abad Perang Dingin yang tak ada lagi, tapi tapi tak lepas dari konflik dengan darah dan besi. Abad ketika arus informasi terbuka luas, tapi tak selalu membentuk sikap toleran terhadap yang beda. Dengan demikian memang sejarah tak berhenti, bahkan berjalan semakin cepat. Teknologi, pengetahuan tentang manusia dan lingkungannya, kecenderungan budaya dan politik, berubah begitu tangkas, hingga persoalan baru timbul sebelum jawaban buat persoalan lama ditemukan. Kini makin jelas-lah, tak ada doktrin yang mudah dan mutlak untuk memecahkan problem manusia. Tak ada formula yang tunggal dan kekal bagi kini dan nanti. Yang ada, yang dibutuhkan, justru sebuah sikap yang menampik doktrin yang tunggal dan kekal. Kita harus selalu terbuka untuk langkah alternatif. Kita harus selalu bersedia mencoba cara yang berbeda, dengan sumber-sumber kreatif yang beraneka.. Sejarah mencatat, Indonesia selalu mampu untuk demikian - sebab Indonesia sendiri, 17 ribu pulau yang berjajar dari barat sampai ke Timur, adalah sumber kreatif yang tumbuh dalam kebhinekaan. Para ibu dan bapak pendiri republik dengan arif menyadari hal itu. Itulah sebabnya Pancasila digali, dilahirkan, dan disepakati di hari ini, 61 tahun yang lalu.. Tidak, Pancasila bukanlah wahyu dari langit. Ia lahir dari jerih payah dalam sejarah. Ia tumbuh dari benturan kepentingan, sumbang-menyumbang gagasan, saling mendengar dalam bersaing dan berembug. Dengan demikian ia mengakui perbedaan manusia dan ketidak-sempurnaannya. Ia tak menganggap diri doktrin yang maha benar. Tetapi justru itulah sebabnya kita menegakkannya, sebab kita telah belajar untuk tidak jadi manusia yang menganggap diri maha benar. Maka Indonesia tak menganggap Pancasila sebagai agama - sebagaimana Indonesia tidak pernah dan tidak hendak mendasarkan dirinya pada satu agama apapun. Nilai luhur agama-agama menghilhami kita, namun justru karena itu, kita mengakui keterbatasan manusia. Dalam keterbatasan itu, tak ada manusia yang bisa memaksa, berhak memonopoli kebenaran, patut menguasai percakapan. Maka hari ini kita tegaskan kembali Indonesia sebagai cita-cita bersama, cita-cita yang belum selesai. Maka hari ini kita berseru, agar bangun jiwa Indonesia, bangun badannya, dalam berbeda dan bersatu! Jakarta, 1 Juni 2006 __________________________________________________ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Feed a village from your office. Donate at GlobalGiving. http://us.click.yahoo.com/QhDZaC/GPaOAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> ************************************************************************ *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ************************************************************************ *** ________________________________________________________________________ __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Something is new at Yahoo! Groups. Check out the enhanced email design. http://us.click.yahoo.com/R0DZdC/gOaOAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/