Ramadan dalam
Bingkai TV 
 
Oleh Catur Suratnoaji


RAMADAN merupakan
bulan penyucian diri umat muslim dari segala dosa yang pernah diperbuat
dalam kehidupannya. Karena itu, perlu ada dukungan lingkungan sosial
yang kondusif agar tercipta sebuah kekhusyukan ibadah puasa. Penutupan
tempat-tempat hiburan malam seperti kafe, spa,
dan lokalisasi merupakan tindakan untuk menciptakan lingkungan sosial
yang kondusif.



Namun, lebih dari itu, perlu juga diwaspadai
penyebaran pesan media massa televisi, radio,
surat kabar, dan majalah. Media massa, terutama televisi, mempunyai
kontribusi besar dalam menciptakan lingkungan sosial yang buruk,
terutama penyebaran gosip, mistis,
pornografi, serta kekerasan di setiap rumah
tangga. 



Ramadan
merupakan sarana media TV untuk mengeruk iklan sebesar-besarnya. Semua
media TV berlomba memproduksi program siaran semenarik mungkin dengan
tujuan membatu menghibur khalayak dalam menjalankan ibadah puasa.
Namun, hal itu perlu diwaspadai karena tidak semua televisi memberikan
program berkualitas pada bulan puasa. 



Perubahan Konfigurasi




Dalam menyongsong Ramadan ini, media
televisi telah merombak mata acara dan jam siaran dengan harapan bisa
mengeruk pemirsa sebanyak-banyaknya. Beberapa pola perombakan yang
dilakukan media televisi, antara lain, (1) mengubah konfigurasi acara.
Perubahan tersebut dilakukan dengan memunculkan acara-acara baru, menghilangkan
beberapa
 acara seperti infotainment saat siang. 



Juga,
ada penghalusan program acara. Jika pada hari biasa artis menggunakan
busana pendek dan goyangannya vulgar, pada Ramadan ini diperhalus
dengan artis berbusana muslim dan bergoyang santun. Upaya tersebut
merupakan strategi televisi untuk tetap eksis mengeruk iklan
sebesarnya-besarnya tapi tetap menghormati bulan puasa. 



(2)
Mengubah jenis produk yang diiklankan. Produk-produk yang berkaitan
dengan nuansa Lebaran dan puasa lebih banyak diiklankan daripada produk
sehari-hari. Tampilan-tampilan iklan akan disesuaikan dengan konteks
Ramadan seperti artis iklan berbusana muslim. 



(3) Perubahan performance televisi. Artis-artis atau presenter
yang semula berbusana tanpa memperhitungkan aurat beramai-ramai
menggunakan busana muslim ketika membawakan mata acara tertentu, meski
acara itu tidak bersentuhan langsung dengan konteks Ramadan. 



Pelanggaran Televisi




Penayangan program-program Ramadan di televisi tidak hanya
mengundang apresiasi pemirsa, tapi juga mengundang kritik. Misalnya,
program-program acara televisi pada masa Ramadan sebatas upaya mengejar
''rating'' semata. Program Ramadan cenderung miskin
kreativitas dalam mengemas program Ramadan serta tidak ada konsistensi
makna dan filosofi Ramadan yang direpresentasikan dalam teks maupun
visualnya.



Berdasar hasil pemantauan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa
Timur 2009, program-program
televisi yang ditayangkan menjelang buka puasa maupun sahur lebih
didominasi hiburan daripada edukasi religius. Nilai entertainment
tecermin mulai format programnya, pemilihan
aktor/aktris, setting panggung,
sampai formulasi teks dan visualisasinya.



Jika
ada unsur religiusnya, itu pun tetap saja dikemas sebagai formula
hiburan yang penuh canda tawa. Akibatnya, dalam membawakan acara,
presenter masih berperilaku tidak santun, termasuk dalam menata
kata yang cenderung kasar dan vulgar. 



Gosip yang dikemas dalam acara infotainment juga masih
mendominasi pada Ramadan dan tetap disiarkan saat siang. Infotainment
sebagai warta hiburan mengandung perdebatan antara fakta dan sebuah
isu. Hal tersebut dapat mengakibatkan disinformation atau
missinformation khalayak dan akhirnya bisa menghilangkan esensi
makna Ramadan di tengah khalayak.



Wacana Puasa




Kegagalan media televisi menstranfer pesan agama secara serius
dalam program yang berkualitas dan sesuai konteks Ramadan disebabkan
beberapa hal. Di antaranya, (1) media televisi lebih memilih mencari revenue
(keuntungan) sebesar-besarnya daripada memberikan acara yang
berkualitas dan dapat menambah pahala dalam bulan puasa. Media televisi
seharusnya membuat program seperti sinetron Para Pencari Tuhan
(PPT) di SCTV. Program itu sukses mencari revenue dan
sukses memberikan nilai-nilai religiusitas.



(2)
Kurang tegasnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam memberikan
sanksi terhadap media penyiaran televisi yang melanggar standar program
siaran (SPS) dan pedoman perilaku penyiaran (PPP). (3) Lemahnya peran
dai dalam menjalankan peran penjaga gawang (gatekeeper) yang
senantiasa mengingatkan bagaimana hendaknya agama diwacanakan dalam
media televisi.



Menurut riset Santi Indra Astuti (2005), subtansi
ibadah
puasa di media televisi sering diwacanakan sebagai sebuah ritual
yang menahan lapar dan haus. Menahan hawa nafsu diwujudkan dengan
berbusana menutup aurat. Tapi, ketika Ramadan berlalu, busana muslim
ditanggalkan dan para bintang kembali malang-melintang di layar kaca
dengan busana yang biasa mereka kenakan. 



Dalam upaya membatasi
program acara media televisi yang bisa mengurangi esensi makna Ramadan,
dibutuhkan pemantauan intensif oleh regulator (KPI) dan ketegasan dalam
memberikan sanksi pelanggaran dalam bulan Ramadan. Selain itu,
diperlukan masukan-masukan yang kondusif dari para ulama dalam
memformulasikan program siaran saat Ramadan.



Yang terakkhir, diperlukan keihklasan
pemilik media televisi untuk tidak mengejar revenue semata,
tapi juga ikut memikirkan program televisi yang bisa menambah
nilai-nilai Ramadan bagi khalayak. (*)



 *) Dr Catur Suratnoaji MSi  , dosen ilmu
komunikasi UPN Veteran Jatim dan anggota KPID Jatim



http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
http://finance.groups.yahoo.com/group/media-soloku/
http://groups.google.com/group/suara-indonesia/
http://media-klaten.blogspot.com/
http://businessandfinance-bikini.blogspot.com/ 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke