saya menyambut baik kerja sama antara ppi leiden, pak mintarjo dan pak asahan. 

supaya jangan ada istilah "tak kenal tak ngerti", maka pertemuan seperti itu 
memang dibutuhkan orang indonesia di jaman sekarang yg masih punya gelar "orang 
yg datang dari negeri biangnya penggelapan sejarah".

dialog tsb bikin percikan pemikiran, jadi ada hal yg positip, dan mestinya 
diulang secara berkala.

semoga kawan2 muda indonesia di tanah rantau (bld) bisa menyebarkan pemikiran 
kritis yg anti orba, kerna racunnya orba maka banyak orang muda yg kena 
"alergi" berkomunikasi dengan kaum yg dihalang pulang.

tapi saya percaya, bahwa perjuangan membongkar sejarah gelap indonesia itu 
bukan perkara gampang seperti "membalik tangan", sebalik hitam sebalik putih.

perjalanan masih panjang, jalan setapak dalam jejak sejarah menuju masa 
pencerahan, itulah namanya perjuangan....

salam, heri latief
amsterdam

ps: buat mbak iba, kapan neh bikin acara antara paris-amsterdam dalam sastra yg 
berlawan?


--- In sastra-pembeba...@yahoogroups.com, "BISAI" <a.al...@...> wrote:

 Asahan Aidit:

                      KESAN-KESAN SUBYEKTIF DARI PERTEMUAN
                      DIALOG BUDAYA DI RUMAH PAK MINTARDJO


Pertemuan dialog budaya telah diadakan pada hari sabtu tgl. 3 Januari 2009 di 
rumah Pak Mintardjo dari pukul 14.00 hingga pukul 18. Saya perkirakan ada 
sekitar 25 orang yang hadir, saya tidak menghitung persis karenanya bila salah 
harap dibetulkan tapi memang rumah Pak Min menjadi penuh sesak. Yang hadir 
antara lain adalah dari teman-teman PPI Leiden, selebihnya teman-teman yang 
saya kenal lainnya yang antara lain tokoh-tokoh cukup penting dari Organisasi 
Persaudaraan. Yang tidak tampak, mungkin dari para pelopor anti Neoliberal (ah, 
itu sih kemauan!).

     Terus terang, sebelum saya membacakan makalah (maaf kalau istilah ini 
terlalu berlebihan)  saya , terus terang saya merasa cukup berdebar. Di 
sekeliling saya cukup banyak orang-orang muda intelektuil yang kritis dan 
cerdas sedangkan isi makalah saya yang suduh saya bagi-bagiakan fotokopinya 
pada setiap orang, cukup bisa menimbulkan atau merangsang perdebatan walaupun 
di luar keinginan saya. Mekipun saya sendiri pernah  juga menjadi mahasiswa dan 
pernah muda seperti mereka-mereka itu, tapi generasi muda saya adalah dari 
generasi muda yang "yesmen"yang tidak mudah untuk mengatakan No, Men!. Tapi 
ketika saya mulai membacakan makalah saya yang 7 halaman itu, saya menerima 
suasana yang begitu tenang, hampir-hampir tidak kedengaran suara apapun hingga 
waktu kira kira 45 menit yang saya gunakan, berahir dangan tanpa intervensi 
suara-suara benda maupun manusia. Alhamdulillah, tugas membaca saya bisa saya 
selesaikan dengan aman tentram. Kegugupan saya
 hilang sirna dan kepercayaan pada diri sendiri otomatis pulih. Terima kasih 
para hadirin yang tertib dan berbudaya.

     Bung Amiq Ahyad sebagai moderator pertemuan itu melakukan tugasnya begitu 
baiknya, netral dan memperhatikan setiap yang ingin bertanya dan tidak 
seorangpun yang terlampaui. Sayapun berusaha menjawab setiap pertanyaan yang 
diajukan. Kalau tidak salah pada pertanyaan kedua, sang penanya menyatakan rasa 
bingungnya karena menurut dia, saya menyalahkan para TKI/TKW korban pelecehan 
dan perkosaan para majikan kejam. Tapi belum sampat saya menjelaskan dan 
menjawab pertanyaan penanya yang merasa bingung itu, seorang dari anggota PPI 
putri yang masih teramat muda telah menjelaskan bahwa sama sekali tidak ada 
kesan bahwa pembuat makalah berpihak pada majikan dan menyalah-nyalahkan buruh 
TKI yang  menjadi korban kekejian para majikan. Tentu sesudah penjelasan yang 
mantap dan kritis  dari hadirin muda yang cerdas itu, sayapun masih menjawab 
dan menjelaskan lebih banyak agar teman yang merasa bingung itu sedikit 
terobati kebingungannya.Ternyata teman itu
 belum membaca makalah yang juga jauh sebelumnya sudah saya sebarkan melalui 
internet di berbagai mailing-list dan juga rupanya dia tidak cukup teliti 
mendengarkan apa yang telah saya bacakan. Tapi bertanya dan memberikan pendapat 
adalah hak setiap orang yang harus dihormati dan memang itu maksud pertemuan 
dialog budaya yang diadakan  sekarang ini.. Tapi terus terang, kalau pertanyaan 
atau pendapat teman yang merasa bingung itu tidak dijelaskan secara baik dan 
tenang, bisa-bisa makalah saya runtuh dan hancur  di tengah  jalan bila kena 
tuduh berpihak pada majikan kejam dan menyalahkan para buruh yang ditindas. 
Namun sangat jauh dari itu, diskusi berjalan sangat lancar dan tidak terasa 
jam  sudah menunjukkan hampir pukul lima sore dan saya hanya punya waktu untuk 
menjawab dua pertanyaan terahir: 5 menit. Dan saya patuhi. Pertemuan resmi 
diahiri tepat pada jam 17.00 dan kemudian kami makan bersama. Selesai makan, 
seorang teman datang menyalami saya
 sambil berkata: "saya puas dengan makalah bung". Tentu itu sebuah kesan dari 
salah seorang hadirin.

     Kesan-kesan lain:
  Dialog langsung dengan orang-orang muda dan mahasiswa atau juga yang  post 
graduate, adalah dialog yang sangat berkesan bagi saya. Saya tidak merasa 
mewakili golongan tua meskipun usia saya sudah tujuh puluh, saya merasa cumalah 
sebagai manusia biasa berhadapan dengan manusia lainnya untuk berdialog bersama 
mengenai masaalah-masaalah praktis yang menyinggung soal budaya . Kebetulan 
yang paling banyak disoroti dari makalah saya itu, adalah mengenai masaalah 
budaya TKI. Dari respon maupun pertanyaan-pertanyaan dari yang hadir, terasa 
masaalah budaya praktis dari budaya migran khususnya banyak menyita perhatian 
dan itu saya rasa sangat positif karena pembicaraan tidak mengambang ke hal-hal 
yang abstrak, intelektualisme, pameran kecerdasan, tapi semua berpijak di bumi, 
semua mengenai manusia dan kemanusiaan dan bukan cakrawala  dengan 
dalil-dalilnya. Sungguh menggembirakan untuk diri saya sendiri bahwa para 
mahasiswa PPI yang di musim ujian di bulan
 Januari ini, di sela-sela kesibukan mereka yang tegang, masih menyempatkan 
waktunya untuk datang ke rumah Pak Min untuk saling bertemu dan berdialog. Dan 
mereka  sangat antusias. Kalau yang ini saya tidak subyektif karena sangat saya 
rasakan. Menjelang perpisahan, secara partikulir dan juga spontan kami berfoto 
bersama. Secara bergiliran, saling foto, saya dikelilingi orang-orang muda yang 
tulus dan spontan itu, membuat kenang-kenangan kecil dengan berpotret bersama 
(tolonglah saya dikirimi liwat komputer, foto-foto yang kalian buat itu dengan 
alamat a.al...@... . Saya akan sangat bahagia menerima kiriman foto-foto kita 
itu. Bung Amiq mendadak menanyai saya:  "Bagaimana bang Asan, apa merasa muda 
kembali?". Saya otomamatis menjawab: "Saya merasa 70 tahun lebih muda".

  Asahan Aidit,
  Hoofddorp 4 Janari 2009.


http://progind.net/
kolektif info coup d'etat 65: kebenaran untuk keadilan
http://herilatief.wordpress.com/
http://akarrumputliar.wordpress.com/





      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke