Mas anam, saya nggak meng arab kan wayang, coba sampeyan baca naskahnya, bahwa saya pernah mendengar ucapan seperti itu? bukan kemudian saya arabkan, apa hal itu salah menurut sampeyan? jika salah gimana yang benarnya?mas sampeyan juga bilang saya tidak jujur, bagi saya itu terserah sampeyan, tapi kalau bisa berikan dasar sampeyan atas tuduhan sampeyan itu?
Sesuatu itu akan indah ketika kita larut didalamnya, membaca qur'an saja kalau kita bisa larut akan semakin indah, sholat kalau laut akan indah, bersedkah kalau larut akan indah, begitu pula menulis kalau larut akan indah, itu menurut saya. mas saya tidak ingin menjadi wayang yang di mainkan dalang, saya cuma pengen seperti wayang yang dekat dengan dalang, yang akan bergerak dan bisa tampil ditengah medan, bukan hanya menjadi pajangan seperti kebnyakan wayang. mas kalau sampeyan pengen saya menjadi dalang, namun saya takut nanti sampeyan yng jadi wayangnya, biarlah saya dan sampeyan tetap menjadi wayang dan kita bisa dialog, sebab kalau saya jadi dalang tak mungkin sampeyan bisa berdialog dangan saya, dan kalau pun bisa and akan dianggap gila, sebab dalang tak akan keliahatan. --- In ppiindia@yahoogroups.com, "kh anam" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Kukira Anda berbicara hal baru mengenai dunia wayang. Ternyata anda sama > seperti orang-orang. 1)Masih butuh untuk meng-Arab-kan istilah- istilah untuk > sekedar mendapat hikmah atau berefleksi. Anda tidak jujur. 2) Terlalu larut > dalam romantisisme dakwah walisongo dan keenakan sampai > bermimpi-mimpi sehingga lupa bahwa saat ini pentas wayang sudah tiada lagi. > Yang ada adalah semacam pentas sinetron dan infotainment. 3)Kenapa Anda > selalu ingin jadi wayang yang selalu dimain-mainkan oleh dalang. Mbok yoho > sekali-kali anda memerankan diri sebagai dalangnya, atau minimal menjadi > penanggap wayang yang bisa membisikkan "kata-kata slintutan" kepada sang > dalang. Ah... terserah. Yang pasti, cerita wayang yang dulu-dulu itu > membosankan. Kalau memang pentas wayang masih diadakan, menjadilah wayang > yang mampu menuliskan sendiri ceritanya untuk kemudian dimainkan sang > dalang. Sang dalang memang tidak pernah tidur, tapi dia sering kehabisan > cerita sehingga monoton, tidak menarik. Dasar wayang...! > > On 12/24/06, muhammad muallim <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > > Duniaku, Dunia Wayang > > Oleh : Mochammad Moealliem > > > > Petruk, Bagong, Nakulo, Semar dan nama-nama tokoh khayalan yang lain, yang > > tak pernah penulis paham ketika sang dalang menggerak-gerikkan lempengan > > kulit yang dibentuk gambar manusia dari berbagai macam bentuk, sambil > > berbicara sendirian sang dalang terus berdialog dengan dirinya sendiri, > > kadang dia bersuara lembut dan sopan, kadang juga bersuara lantang dan > > kasar, kadang dia juga mengeluarkan kata-kata mutiara, kadang juga membikin > > humor, dan humor inilah hal yang sangat mudah difahami oleh semua orang, > > termasuk saya ikut tertawa ketika "dagelan" sudah dimulai. > > > > Penulis pernah mendengar, ungkapan dalam bahasa arab, "fatruk ma bagho > > nala samirina, " hampir mirip dengan tokoh wayang yang saya sebut diatas, > > petruk, bagong, nakulo, dan semar. Ketika hal itu diterjemahkan menjadi > > "tinggalkan sesuatu yang durhaka maka engkau akan mendapatkan kawan yang > > baik". Secara pasti penulis kurang tahu tentang wayang dan sejarah > > munculnya, namun setidaknya penulis mengenal beberapa tokoh wayang, Petruk > > misalnya, dalam masa awal saya belajar bahasa arab, ada gambar petruk, > > hidungnya panjang tapi tidak terus memanjang seperti hidung pinokio, lencir > > kuru, rambutnya seperti antena radio. Juga semar orangnya gede, wajahnya > > menghadap keatas namun tangannya menunjuk-nunjuk tanah, dan tangan yang > > satunya ditaruh diatas punggung, cara berjalannya agak jongkok seperti > > ibu-ibu jawa yang sedang menyapu halaman rumahnya. > >