Maksudnya, pemerintah dan kaum intelektual nggak usah muluk-muluk
ngomongin kebangkitan bangsa. Yang penting bisa mendengar&memahami
keinginan rakyat. 

dr. Soetomo dkk. bergerak karena prihatin pd keadaan bangsa waktu itu.
mereka ingin mengubah nasib rakyat. idenya sederhana, rakyat bisa
hidup lebih baik dengan pendidikan.

jadi, sesuatu yang besar, bisa jadi awalnya hanya ide sederhana.

[menurut saya sih gitu] masih ruwet..?



--- In ppiindia@yahoogroups.com, Ahmad Badrudduja
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Tulisan Sdr. Budiman ini kok ruwet sekali ya. Apa makna paragraf
berikut ini:
> 
> Pertanyaan reflektif kepada kita adalah sedekat mana jarak kedekatan
komunikasi sehari-hari kita dengan rakyat. Sedekat apa kita bisa
memahami pesan massa rakyat. Jadi, menurut saya, konteks kebangkitan
baru ini hanya perlu disederhanakan saja, sebagai sebuah teks baru,
sedangkan mekanisme prosesual pemberian maknanya hanya perlu
direfleksikan dari pengertian pada proses yang sama pada awal
kebangkitan pertama 1908.
> 
> AB
> 
> heri latief <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                            
Menggali Jejak Kebangkitan
>  
>  Rabu, 21 Mei 2008
>  
>  Bagaimanakah kita harus memaknai seratus tahun kebangkitan
nasional? Rasa-rasanya, bagi kebanyakan orang saat ini, sebuah
perayaan sebagai bentuk parade sukacita bukanlah pilihan. Tentu tak
mungkin menabuh gendang dan menari di kala rakyat masih dibelenggu
oleh ancaman kesulitan hidup yang semakin menyesakkan hari demi hari.
>  
>  Mungkin sebuah perenungan akan lebih tepat. Perenungan untuk
mencari di manakah hilangnya jejak-jejak kebangkitan akan lebih
bermakna justru di tengah semakin sirnanya asa akibat perhelatan
tekanan kehidupan karena tersanderanya republik.
>  
>  Seratus tahun lalu, mahasiswa-mahasiswa sekolah kedokteran STOVIA
menemukan momentum kebangkitan di tengah impitan penindasan
kolonialisme. Kita pun kini mencoba mengikuti jejak mereka mencari
momentum yang sama di tengah pengisapan neoliberalisme. Namun, di
manakah kita harus mulai?
>  
>  Kerja kolektif
>  
>  Marilah kita mulai, seperti mereka dulu, dengan menumbuhkan
kesadaran akan realitas ketertindasan dan ketertinggalan. Inilah saat
ketika pilihan-pilihan tersandera akibat hilangnya peran negara
sebagai badan publik, yang ironisnya dibentuk secara sadar untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Ungkapan "tiada pilihan yang
tersisa selain memotong subsidi" adalah contoh nyata sirnanya tanggung
jawab sosial negara sekaligus pengabaian atas alasan adanya negara.
>  
>  Kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan bukanlah perkara
mudah. Seabad yang lalu, para aktivis pergerakan harus mengunjungi
daerah demi daerah untuk menyadarkan rakyat akan ketertindasan mereka.
Kesadaran itu terkubur di tengah tuntutan pragmatisme hidup dan
janji-janji manis elite kolonial dengan kampanye politik etis. Kini
kesadaran pun mungkin terbenam di antara tekanan untuk bertahan hidup
dan politik tebar pesona yang meninabobokan rakyat.
>  
>  Sejarah kita sendiri kerap menunjukkan bahwa di tengah situasi
fatamorgana itu, mobilisasi gagasan dan mobilisasi sumber daya manusia
menjadi penting. Mobilisasi melalui pengorganisasian politik
massa-rakyat yang dapat membuat tiap individu yang sadar menjadi
pelaku-pelaku perubahan. Mata mereka yang tertindas harus dibuka,
sehingga mereka sadar bahwa perubahan tidak datang dari langit.
Perubahan tidak datang dari seorang satria piningit. Perubahan datang
dari tiap orang biasa yang sadar bahwa mereka harus berubah, melakukan
perubahan, dan menjamin masa depan untuk kehidupan yang lebih baik
untuk semua. Perubahan adalah buah kerja keras panjang yang tanpa
kenal lelah dan tetap bekerja untuk mengakhiri suatu bangunan struktur
yang membuat mereka tertindas/tertinggal.
>  
>  Tidak hanya sampai di situ. Perubahan adalah juga kerja bersama,
seperti seratus tahun lalu, bukan kesadaran dan kerja individu yang
melahirkan kebangkitan nasional. Kolektivitas adalah apa yang
membedakan pergerakan kemerdekaan sebelum dan sesudah 20 Mei 1908.
>  
>  Perasaan ketertindasan/ketertinggalan sebagai satu entitas bangsa
menjadi faktor pembeda dari upaya-upaya perjuangan para pangeran,
raja, dan ulama yang pernah mengangkat senjata melawan kolonialisme.
Kesadaran kolektivitas para mahasiswa STOVIA-lah yang 20 tahun
kemudian melahirkan tonggak sejarah baru dalam kongres pemuda yang
melahirkan Sumpah Pemuda. Melalui sumpah itulah kebangkitan nasional
melahirkan suatu entitas politik-kebangsaan baru, yaitu Indonesia.
>  
>  Jejak kerja bersama itu yang mungkin harus kita cari saat ini di
tengah politik liberalisme (di tengah kurangnya kadar kesadaran
menjadi demokrat) yang membuat semangat kekelompokan berdominasi.
Memang, hampir mustahil menghapuskan kepentingan pribadi dan kelompok
ketika ia memang secara sah diharuskan berkontestasi. Namun, ketika ia
menjadi panglima, tujuan bersama pun menjadi sisa-sisa.
>  
>  Kebangkitan sebagai spirit
>  
>  Kebangkitan itu sebagian besarnya adalah soal spirit. Spirit
letaknya ada dalam imajinasi pikiran dan kegelisahan yang mengusik
hati sanubari massa. Imajinasi yang sedemikian rupa sehingga
menginspirasi orang secara massif. Barulah imajinasi massif itu
mewujud dalam tindakan sosial.
>  
>  Harapan pada suatu zaman kebangkitan yang mampu membebaskan bangsa
dari kolonialisme adalah spirit yang menyebar hingga ke dalam bentuk
gosip-gosip di kalangan masyarakat. Ia menjadi discourse sosial.
Discourse yang meluas ke tingkat massa menyebabkan massa gelisah, bak
api dalam sekam yang mencari jawaban atas hari ini dan hari depannya.
>  
>  Discourse yang bergerak di tingkat masyarakat di era kolonial itu
suatu kali memiliki momentum meletup tanpa terkendali, dikatalisasi
oleh tekanan sosial dan ekonomi yang luar biasa serta berita
kebangkitan negara Timur lainnya. Potensi letupan-letupan kecilnya
dapat kita lihat dalam berbagai bentuk, mulai selebaran-selebaran di
tingkat massa hingga bentrokan-bentrokan fisik dengan aparat kolonial.
Perlawanan diam-diam dan terbuka ke bentuk yang paling konfliktual
secara terbuka sesungguhnya hanyalah wajah permukaan. Ada yang jauh
mengendap di dalam hati massa itu, yaitu kebangkitan kemerdekaan bangsa.
>  
>  Pada masa itu, suasana spirit sosial itu sebenarnya hanya menunggu
suatu keberanian untuk memimpin proses perubahannya. Hanya tinggal
menunggu pemimpin yang punya keberanian memimpin perubahan untuk
berangkat melalui imajinasi sosial rakyat. Dari sana lalu memuarakan
letusan-letusan sosial itu menjadi sebuah tindakan yang, karena massif
diikuti oleh massa rakyat yang gelisah terhadap perubahan menentang
kolonialisme, bermetamorfosis menjadi gerakan sosial politik yang
dahsyat pada masa-masa berikutnya. Itulah riwayat bagaimana bangsa ini
akhirnya meraih kemerdekaan untuk dirinya.
>  
>  Pertanyaannya, refleksi bagi kita kini adalah mampukah kita
menangkap gejala-gejala spirit perubahan di tingkat rakyat itu, kini
dan di sini? Kemudian mampukah kita menangkap imajinasi sosial dan
mengkristalisasikannya? Kristalisasi adalah bentuk olahan terhadap
imajinasi sosial itu. Kemudian menyebarkannya ulang ke dalam suatu
cita-cita yang bisa diterima dan dibenarkan oleh rakyat. Jika kita
bisa menangkap imajinasi sosial rakyat itu, kini tugas kita menjadi
lebih jelas: memimpin cita-cita perubahan rakyat dalam rangka
kebangkitan nasional selanjutnya.
>  
>  Spirit yang mencari pemimpin
>  
>  Proses ini mungkin dapat disebut sebagai suatu discourse sosial.
Suatu proses komunikasi teks tuturan rakyat, dengan segala model
bentuknya, yang ditangkap oleh aktivis gerakan sosial, diolah, dan
dinyatakan kembali kepada massa rakyat. Ini seperti peristiwa
rekontekstualisasi yang kompleks. Melibatkan rakyat beserta teks
sosialnya, diterima oleh aktivis sosial dan diberikan bentuk konteks
baru, kemudian disampaikan dalam bentuk teks progresif yang
menginspirasi khalayak rakyat secara massif. Tak bisa dibantah bahwa
ini merupakan suatu proses discourse yang kompleks.
>  
>  Namun, jika kita mampu dengan tepat memposisikan diri di arena
komunikasi sosial itu, kita mampu bukan hanya menyelami imajinasi
sosial rakyat, melainkan juga maju selangkah lagi dengan memimpin
imajinasi rakyat ke dalam bentuk tindakan perubahan yang luar biasa.
Syaratnya sederhana saja. Sebagaimana pada awal-awal kebangkitan,
hampir semua pemimpin kebangkitan nasional hidup bersama rakyat,
sangat dekat dengan kehidupan keseharian rakyat, sehingga bahasa
rakyat hampir tak berjarak dengannya. Pesan sosial rakyat bisa
diterima dengan sangat baik oleh mereka.
>  
>  Pertanyaan reflektif kepada kita adalah sedekat mana jarak
kedekatan komunikasi sehari-hari kita dengan rakyat. Sedekat apa kita
bisa memahami pesan massa rakyat. Jadi, menurut saya, konteks
kebangkitan baru ini hanya perlu disederhanakan saja, sebagai sebuah
teks baru, sedangkan mekanisme prosesual pemberian maknanya hanya
perlu direfleksikan dari pengertian pada proses yang sama pada awal
kebangkitan pertama 1908.
>  
>  Sejarah kembali mengetuk pintu rumah kita, hanya mereka yang
berjiwa pemimpin akan punya cukup keberanian untuk membukakan
pintunya: bersiap menerima kenyataan sejarah apa pun yang akan datang.
Itulah yang dilakukan oleh dr Soetomo, dr Wahidin Soedirohoesodo, dan
kawan-kawan pada 100 tahun yang lampau.
>  
>  Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum Relawan Perjuangan Demokrasi-PDI
Perjuangan
>  
>  http://tempointeraktif.com/hg/khusus/kolom/
>                  
>   
>  
>  http://progind.net/
>  kolektif info coup d'etat 65: kebenaran untuk keadilan
>  
>  http://herilatief.wordpress.com/
>  
>  http://akarrumputliar.wordpress.com/
>  
>  [Non-text portions of this message have been removed]
>  
>  
>      
>                                        
> 
> 
> Ahmad Badrudduja 
>  
> Inna ikhtilaf al-mukhtalifin fi al-haqq la yujibu ikhtilaf al-haqq
fi nafsihi 
> Kebenaran tak menjadi banyak hanya karena orang-orang berbeda pendapat
> -- Ibn al-Sid al-Batalyawsi (w. Valencia 1127 M)
> 
> 
>        
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Reply via email to