Saya sangat menghargai pendapat rekan-rekan Manneke dan Loekyh serta rekan-rekan miliser lain, namun sehubungan dengan beberapa tulisan dan pernyataan Sdr. Rushdy Hoesein, saya kurang sependapat. Memang ada perbedaan yang mendasar antara Sdr. Rushdy dan saya, dalam memberikan penilaian terhadap beberapa peristiwa sejarah. Sdr. Rushdy mengemukakan alasannya untuk pensiun adalah: Salah satu sebab mengapa saya pensiun, adalah saya menghindar untuk berdebat. Alasannya, bagaimana kita bisa berdebat kalau tempat berpijak kita tidak sama. Tujuan saya bergabung dalam milis-milis ini adalah untuk menyampaikan informasi yang saya tahu. Sesungguhnya sebagai sejarawan saya tidak tahu semua. Makanya kalau sudah menjurus untuk berdebat saya menghindar, karena topik sejarah amat riskan untuk dipakai sebagai bahan perdebatan. Tapi kalau bahan informasi sudah saya sampaikan, silahkan untuk dipergunakan lebih lanjut. Itu adalah milik anda semua Catatan saya: Mengapa menghindar untuk berdebat tentang hal-hal yang telah dikemukakannya? Apabila saya telah melontarkan sesuatu pendapat, informasi atau tulisan apapun, baik di milis, apalagi dalam suatu acara diskusi, seminar atau konferensi, saya berkewajiban untuk menjawab pertanyaan ataupun tanggapan dan sanggahan serta siap menerima kritik terhadap hal-hal yang saya kemukakan. Kalau saya meninggalkan ruang diskusi/seminar setelah menyampaikan pendapat, informasi atau tulisan, tanpa mau mendengarkan pandangan, tanggapan, kritik atau pertanyaan dari publikum, saya akan meninggalkan kesan seolah-olah lempar batu sembunyi tangan. Juga kalimat: bahan informasi sudah saya sampaikan, silahkan untuk dipergunakan lebih lanjut. Itu adalah milik anda semua , memberikan kesan ada misi untuk memberikan bahan informasi yang akan menjadi milik Anda semua... Seseorang neyebarluaskan sesuatu tulisan, tentu ada maksudnya. Saya sendiri tidak menyembunyikan, bahwa maksud saya menyebarluaskan tulisan saya sehubungan dengan berbagai peristiwa sejarah, adalah a.l. untuk meng-counter atau membantah versi sebelumnya, baik dengan dokumen yang baru dapat dimunculkan, maupun dengan sudut pandang dan penilaian saya. Selain itu harus dikaji terlebih dahulu, apakah bahan informasi tersebut memang sudah benar, dan benar-benar lengkap serta obyektif, untuk dapat menjadi ..milik kita semua Saya sendiri tidak pernah mengklaim, bahwa hal-hal yang saya kemukakan atau tulisan adalah yang paling benar. Saya serahkan kepada pembaca, versi mana yang paling mendekati kebenaran dan masuk akal. Hal ini juga saya kemukakan ketika menyampaikan makalah dengan judul Fakta Baru Mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949 pada Konferensi Nasional Sejarah ke VII di Jakarta, 28 31 Oktober 2001. (Tulisan ini dan tulisan-tulisan sejarah versi lain dapat dilihat di weblog saya: http://batarahutagalung.blogspot.com). Saya sendiri bukan pakar dan peneliti sejarah seperti Sdr. Rushdy. Saya hanya gemar membaca dan menulis. Penulisan sejarah adalah suatu proses yang tak berakhir (never ending process). Apabila ditemukan bukti baru atau suatu dokumen baru terungkap, maka penulisan mengenai sesuatu hal harus direvisi. Selain itu memang benar, tidak ada penulisan sejarah yang 100 % obyektif, karena sangat tergantung dari sudut pandang dan kepentingan penulisnya. Banyak penulisan sejarah yang sangat subyektif dan bahkan sebagaimana kita ketahui, selama Suharto berkuasa, banyak penulisan sejarah diputar-balikkan dan ditulis untuk mengukuhkan kekuasaannya, sehingga history menjadi his story. Banyak sejarawan Indonesia hanya berfungsi sebagai tukang jahit, yaitu menjahit (baca: menulis) sesuai pesanan, atau sesuai pesan sponsor. Misalnya mengenai peristiwa tragedi nasional 1965, ada sekitar 5 atau 6 versi. Sejawaran Belanda Anthony Dake menulis, bahwa Sukarno-lah dalang di balik peristiwa tersebut. Pendapat Dake ini dibantah oleh banyak kalangan, karena dinilai tidak masuk akal, yaitu bagaimana mungkin Sukarno mendalangi kudeta untuk menggulingkan dirinya sendiri? Ada versi yang mengatakan, bahwa dalangnya adalah Suharto. Juga ada yang menyebut, bahwa CIA berada di balik penggulingan Sukarno, dan ada teorti konspirasi dari beberapa elemen, dsb. Juga mengenai penamaan suatu peristiwa sejarah. Untuk suatu peristiwa, tergantung siapa yang berbicara, memberikan nama yang berbeda. Penggunaan atau penyebutan nama suatu peristiwa, dapat menunjukkan identitas atau di pihak mana si penulis berdiri. Peristiwa tahun 1965 disebut oleh kelompok anti-komunis sebagai G30S/PKI (Gerakan 30 September/PKI), Sukarno menyebut sebagai Gestok (Gerakan 1 Oktober) sedangkan dari lawan Suharto menyebut sebagai Kudeta merangkak yang dilakukan Suharto untuk merebut kekuasaan dari Sukarno. Selama Suhartro berkuasa, di Indonesia tidak ada versi dan nama lain untuk peristiwa tersebut. Mengenai peristiwa Juli 1947 dan 19 Desember 1948 di Indonesia, Pemerintah Belanda menyatakan, bahwa tindakan yang dilakukan adalah aksi polisional, walaupun yang dikirim bertempur adalah sekitar 150.000 tentara (KL dan KNIL), dan bukan polisi. Penamaan ini dilakukan untuk mengecoh dunia internasional, bahwa tindakan Belanda adalah menyelesaikan masalah dalam negeri, masalah internal Belanda. Sedangkan dari sudut pandang Republik Indonesia, yang dilakukan oleh Belanda adalah agresi militer, penyerangan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain yang merdeka dan berdaulat. Pemerintah Belanda tetap bertahan dengan argumen ini, juga tidak mengakui kemerdekaan RI 17.8.1945, karena ada konsekuensi yuridis dan politisnya. Apabila Pemerintah Belanda mengakui kemerdekaan RI adalah 17.8.1945, maka dengan demikian Pemerintah Belanda mengakui, bahwa yang dilakukan oleh Belanda antara tahun 1945 1949 adalah agresi militer, dan para prajurit (kini veteran) yang melakukan penyimpangan/ekses adalah penjahat perang, dan Belanda sendiri telah melakukan kejahatan perang. Hal ini a.l. dikemukakan oleh seorang journalis senior Belanda, Ad van Liempt yang saya temui di Hilversum pada 16 Desember 2005. Mengenai Pemerintah Belanda tidak mengakui kemedekaan RI 17.8.1945, Sdr. Rushdy mengetahuinya dengan jelas, karena ketika pada bulan September 2005 Sdr. Rushdy, saya dan beberapa orang Indonesia lain diundang ke kediaman Dubes Belanda Dr. N. van Dam di Jl. Diponegoro, Sdr. Rushdy juga mengetahui, bahwa yang saya bicarakan dengan Dubes Belanda adalah masalah mengapa Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan RI 17.8.1945, dan bertahan pada 27 Desember 1949. Sehubungan dengan yang dinamakan Sdr. Rushdy sebagai Pemberontakan Komunis September 1949, saya membaca tulisan-tulisan versi lain. Pada waktu itu, peristiwa tersebut disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan tidak pernah dinamakan Pemberontakan PKI. PKI juga tidak dibubarkan. Pada waktu itu, justru dari pihak lawan PM Hatta, muncul tudingan bahwa peristiwa tersebut timbul atas provokasi Hatta. Hal ini a.l. dapat dibaca dalam buku mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (Waktu itu) T.B. Simatupang: Laporan Dari Banaran, yang pertama kali terbit tahun 1960. Juga Sdr. Rushdy tidak menyinggung mengenai peran CIA yang menyampaikan Red drive proposal (proposal penghancuran Komunis) kepada Pemerintahan Hatta. Penghancuran komunis di seluruh dunia adalah bagian dari Perang Dingin (cold war), yang timbul sejak pertengahan 1947 antara Blok Komunis yang dipimpin oleh Uni sovyet dan Blok Anti-Komunis yang dipimpin oleh USA. Sebagai imbalan atas keberhasilan penghancuran komunis di Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia memperoleh bantuan dari Marshall Plan sebesar 60 juta US dollar untuk kepolisian RI, yang diambil sendiri oleh KAPOLRI Sukanto ke USA, dengan bantuan agen CIA Arturo Campbell. Di masa Orde Baru, Peristiwa Madiun untuk kepentingan politik waktu itu- dinamakan sebagai Pemberontakan PKI. Mengenai Peristiwa Madiun versi lain juga dapat dibaca di weblog saya. Dari beberapa contoh di atas sebenarnya dapat dilihat, bahwa penting untuk diketahui, dari sudut pandang mana suatu peristiwa sejarah ditulis, dan bahasa/terminologi yang digunakan juga berbeda, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan penulis. Jadi jelas sekali perbedaan penamaan terhadap sesuatu peristiwa. Oleh karena itulah saya mempertanyakan hal ini kepada Sdr. Rushdy, mengapa dia menggunakan terminologi versi Belanda, dan juga dalam hal-hal lain, seperti dalam peristiwa yang dinamakan zaman bersiap, di mana Sdr. Rushdy melukiskan penderitaan warga Belanda tahun 1946, setelah bebas dari interniran Jepang, tanpa menyebutkan mengapa hal tersebut dapat terjadi. Saya mempertanyakan, mengapa Sdr. Rushdy tidak melukiskan juga penderitaan rakyat Indonesia di masa penjajahan Belanda, dan bahwa peristiwa tahun 1946, adalah ekses yang didasari pembalasan dendam atas penderitaan yang mereka alami selama belasan atau puluhan tahun. Sebagai sejarawan dan peneliti, Sdr. Rushdy tentu mengetahui, bahwa pembalasan dendam bukan hanya dialami oleh warga Belanda, melainkan dilakukan juga pembalasan dendam terhadap tentara Jepang (ratusan orang Jepang yang dibantai oleh rakyat Indonesia di berbagai tempat, setelah Jepang menyerah kepada sekutu) dan pribumi yang dipandang sebagai kolaborator Belanda atau Jepang. Yang paling kejam justru dialami oleh pribumi sendiri, seperti yang terjadi tahun 1946/1947 di Sumatera Utara (disebut sebagai revolusi sosial), Aceh dan di Jawa Tengah, yang dikenal dengan Peristiwa Tiga Daerah. Di Sumatera Utara, terutama di Deli, keluarga dan kerabat sultan dibunuh oleh rakyat atas tuduhan sebagai pengkhianat, karena mereka menjadi kepanjangan tangan Belanda. Akibatnya, banyak penduduk yang melarikan diri ke wilayah yang dikuasai oleh Belanda di sumatera Utara setelah agresi militer I, Juli 1947. Di Aceh, bulan Oktober - Desember 1945 terjadi pertempuran antara kaum Tengku (Bangsawan) dan kaum Teuku (Uleebalang) dan berakhir dengan kemenangan para Teuku. Kaum bangsawan Aceh juga dipandang sebagai kepanjangan tangan dari penjajah Belanda. Masih banyak contoh-contoh peristiwa lain. Hal-hal seperti ini juga sepantasnya diungkap agar diketahui oleh generasi muda Indonesia. Mengenai pembalasan dendam setelah pendudukan berakhir, tidak berbeda jauh ketika Jerman menyerah kepada sekutu. Di negara-negara Eropa yang pernah diduduki oleh Jerman, setelah Jerman kalah perang, terjadi pembalasan dendam terhadap mereka yang selama masa pendudukan berkolaborasi atau bekerja untuk Jerman. Saya beberapa kali menggaris bawahi, bahwa saya tidak meragukan kepakaran Sdr. Rushdy sebagai sejarawan, juga saya selalu menulis, adalah hak seseorang untuk berpihak kepada siapapun atau negara manapun. Sejak dahulu, banyak orang Indonesia bekerja dan bertempur untuk Belanda dan di lain pihak, juga banyak orang Belanda yang berjuang untuk Indonesia. Memang adalah hak Sdr. Rushdy untuk menulis sesuai versi Belanda. Mengenai silang pendapat, berdiskusi, berdebat atau berpolemik adalah hal yang sangat wajar, bukan hanya di dunia maya, melainkan juga pada acara-acara diskusi/seminar/ konferensi dll. Jadi kalau sudah berani menyebarluaskan berbagai tulisan, baik di internet, maupun dalam acara seminar, konferensi dsb., juga harus siap menghadapi berbagai tanggapan, kritik, bantahan/sanggahan, dan juga harus menjawab pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakannya. Mengenai pernyataan Sdr. Rushdy tempat berpijak kita tidak sama , bagi saya perbedaan tempat berpijak bukanlah suatu masalah. Saya sependapat dengan G.F.W. Hegel (27.8.1770 14.11.1831) yang mengemukakan teori Negation der Negation (bahasa Jerman, artinya negasi dari negasi), di mana silang pendapat dari dua pihak yang bertentangan, melalui interaksi atau komunikasi berkesinambungan, dapat mencapai suatu titik temu. Namun bisa juga tidak. Perbedaan pendapat dan titik tolak, tidak berarti saya tidak menghargai dan menghormati Sdr. Rushdy, yang saya kenal secara pribadi sejak beberapa tahun. Saya juga berterima kasih atas foto-foto masa lampau yang dikirim oleh Sdr. Rushdy, sehingga memperkaya koleksi foto sejarah saya. Ada catatan kecil mengenai satu foto, yaitu foto dari kabinet pertama RI. Pada foto yang asli (dapat dilihat a.l. di kantor Legiun Veteran RI), di muka Presiden dan para menteri, ada seekor anjing kecil, yang kemudian dihapus karena dianggap menganggu pemandangan. Salam persaudaraan anak bangsa Batara R. Hutagalung
manneke <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Ikut nimbrung, ya, karena Anda berdua saya anggap sebagai "guru" sejarah saya yang sangat saya hormati. Memperhatikan dinamika komunikasi antara Pak Hoesein dan Pak Batara selama ini, saya selalu gagal melihat di mana letak perbedaan fundamental antara Anda berdua. Makanya, kadang saya tidak mengerti kok sekali-sekali bisa terjadi 'kortsluiting' dalam komunikasi itu. Mungkinkah paradigma dalam memandang ilmu sejarah yang berbeda? Pak Hoesein melihat sejarah sebagai science yang punya universalitas karena dilandasi oleh prinsip-prinsip ilmiah. Pak Batara tidak mempertentangkan itu. Yang dilihatnya adalah bahwa ilmu sejarah juga tidak bisa lepas dari politik. Maka itu, soal istilah 'aksi polisionil' atau 'agresi militer' baginya bukan semata-mata soal keilmiahan tapi juga punya implikasi politis. Atau, bisa jadi Pak Hoesein hanya menggunakan istilah yang berbeda dalam konteks yang berbeda (meski rujukannya identik) demi keperluan tercapainya komunikasi yang efektid dengan audiens-nya. Dengan kata lain, fungsi pemakaian istilah yang berbeda itu lebih bersifat strategis daripada politis. Titik keberangkatan Anda berdua mungkin bisa menjelaskan hal itu: Pak Hoesein lebih berorientasi akademis, sedang Pak Batara pada aktivisme. Dua jalan yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama: menegakkan 'kebenaran' masa lalu. Pak Hoesein melakukan ini demi pencerdasan, Pak Batara melakukannya demi keadilan. Keduanya komplementer terhadap satu sama lain. Sori ya kalo nimbrungnya keliru. Anda berdua ini sangat canggih dan rinci. Kadang ilmu saya nggak nyampe untuk bisa mengikuti dialog antara keduanya. Tapi, Pak Hoesein, mohon jangan pensiun dulu dong. manneke -----Original Message----- > Date: Fri Jun 16 09:55:33 PDT 2006 > From: "hoesein" > Subject: [mediacare] saya selalu berada dalam struktur > To: [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], mediacare@yahoogroups.com, [EMAIL > PROTECTED] > > Yth teman-teman semua. Salah satu sebab mengapa saya pensiun, adalah saya > menghindar untuk berdebat. Alasannya, bagaimana kita bisa berdebat kalau > tempat berpijak kita tidak sama. Tujuan saya bergabung dalam milis-milis ini > adalah untuk menyampaikan informasi yang saya tahu. Sesungguhnya sebagai > sejarawan saya tidak tahu semua. Makanya kalau sudah menjurus untuk berdebat > saya menghindar, karena topik sejarah amat riskan untuk dipakai sebagai bahan > perdebatan. Tapi kalau bahan informasi sudah saya sampaikan, silahkan untuk > dipergunakan lebih lanjut. Itu adalah milik anda semua. Bukankah dalam teori > postmodern, dikatakan penulis itu sudah mati ? Jadi bahan saya sudah jadi > milik anda, dia berkembang berdasarkan interpretasi anda, silahkan dipakai > atau tidak, dimodifikasi atau diputar balik bagaimanapun....apaan kek, > silahkan. Saya tidak marah atau kecewa. Tapi kalau mau tahu lebih lanjut, > bisa sama-sama kita kembangkan, yang belum jelas kita cari. Keterkaitannya > dengan hal > lain dicari dan kita pelajari Tapi jangan pengaruhi atau maksa saya. Itu > sudah aturan mainnya. Ngapain saya musti nurut orang lain. Seperti tertulis > dalam subject : "saya selalu berada dalam struktur'. Disini permasalahannya. > Artinya saya bisa menerangkan semuanya selama saya tahu keterkaitannya. > Karena struktur sejarah itu sesungguhnya ada atau nyata (tangible) tapi tidak > kasat mata serta bisa dipertanggung jawabkan. Yang bisa saya lakukan hanya > representasi masa lalu yang tidak lengkap dari sebuah peristiwa. Tidak lebih > dari itu. Tapi saya yakin bahwa peristiwa dimaksud tidak keluar dari > struktur. Jadi misalnya pelaku sejarah eksis kalau ada bukti yang jelas > (dokumen tertulis, foto asli, film dan sebagainya), demikian juga keterkaitan > pelaku dengan peristiwa. Waktu terjadinya peristiwa harus menuju kepada > pembuktian yang pasti (tahun bulan, tanggal, hari, jam, menit, detik) > dst...dst. Dan kita juga harus selalu mencari sebab-akibat. Mengenai istilah, > saya bebas > mempergunakannya. Tapi yang tidak boleh berubah adalah maknanya. Mau pakai > agresi kek, mau pakai aksi polisionil kek, menurut sejarawan tentu maksudnya > sama. Ini terutama karena sejarah itu ilmu yang mendunia. Sepanjang saya > membicarakan sebuah topik, maka orang Amerika, Belanda, Indonesia, Australia > atau siapapun dikolong langit ini harus mengerti apa yang saya maksud. > Mungkin di Indonesia saya pakai kata agresi, tapi sungguh aneh kalau saya > bicara di Belanda menyebut kata itu padahal maksudnya sama. Jadi Text itu > tidak penting, tapi maknanya harus sampai kepada hadirin pendengar > (audience). Saya buktikan sendiri ketika saya menyampaikan makalah saya > tentang "Persetujuan Linggajati " (accord van Linggajati) pada bulan Mei > tahun 2003 di Leiden, dimana hadir Prof.G.Knapp, Prof. Y.de Yong, Prof > Drooglever, dan beberapa doktor sejarah lainnya, ternyata karya tulis > akademis saya bisa dimengerti, komunikatif dan setelah selesai mendapat > sambutan dengan applause segala. Betapa > anehnya kalau saya menggunakan istilah yang sama yang biasa saya sampaikan > ketika berpidato dihadapan para veteran RI pada peringatan hari pahlawan 10 > November misalnya, yang juga menyambutnya dengan tepuk tangan. Ketika kecil > saya bercita-cita menjadi politikus. Tapi orang tua saya bilang (maaf ya), > politikus itu waktu masuk kamar kecil bicaranya A, tapi ketika keluar > bicaranya B. Jadi memang tidak ada aturan kalau poltikus itu harus bicara > dalam akurasi data yang sempurna (meskipun didunia tidak ada yang absolut). > Tapi bercita-cita bicara seobjective mungkin kan boleh. Disampin itu seorang > politikus bebas berbicara berdasarkan sumber informasi orang lain. Buat > sejarawan merujuk sebuah informasi dari sumber lain boleh saja, tapi rujukan > tidak boleh satu. Harus ada pembandingnya. Dan kalau oleh para sejarawan > dianggap data dimaksud sudah tidak tepat apalagi salah, tidak boleh dipakai > lagi. Dalam ujuan, candidate sarjana bisa jatuh kalau pakai data penelitian > yang sudah > tidak valid lagi. Mungkin cukup disini apa yang bisa saya sampaikan. Mohon > maaf kalau saya bicara agak jauh. Silahkan kalau ada yang mau ditanyakan, > saya selalu bersedia. Perpustakaan saya tidak terlalu besar hanya berisi > kira-kira 3000 buku. Koleksi film saya juga cukup banyak, termasuk footage > tentang berbagai peristiwa ditanah air pada masa lalu (kalau tidak salah > sejak tahun 1911). Terima kasih.... Web: http://groups.yahoo.com/group/mediacare/ Klik: http://mediacare.blogspot.com atau www.mediacare.biz Untuk berlangganan MEDIACARE, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links --------------------------------- Talk is cheap. Use Yahoo! Messenger to make PC-to-Phone calls. Great rates starting at 1¢/min. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Check out the new improvements in Yahoo! Groups email. http://us.click.yahoo.com/N6DZeC/fOaOAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/