ngelanjutin sedikit perbincangan menggali
bahan-bahan untuk cerita film Indonesia
yang "cerdas" di masa depan :-)

Tulisan di bawah ini merupakan resensi
buku yang ditulis seseorang (John Navis),
dari sebuah novel Indonesia terbitan tahun
2005:

Judul: "Negara Kelima"
Penulis: E.S. Ito

<http://butahuruf.wordpress.com/2007/12/10/rahasia-meede/>

                   ***

Saya tentu tidak bermaksud "membandingkan mutu"
ide cerita film yang saya tulis sebelumnya
("Lasykar Terakhir Mataram") dengan isi novel
ini, sudah tentu tidak layak utk. dibandingkan :-).

( ide cerita "Lasykar Terakhir Mataram" saya tulis
  sebelum membaca informasi mengenai isi novel tsb.
  jadi gagasannya bisa dibilang paralel/independent ).

Tapi ada bbrp butir gagasan yang nampaknya "mirip":

-> gagasan "menggali" identitas bangsa melalui
   "alternatif sejarah" nusantara masa lalu yang
   berbeda daru "fakta sejarah" yang dikenal
   selama ini ( dg. kata lain: jika perlu menggunakan
   campuran antara fakta & imajinasi :-)  ).

-> jika saya menggunakan munculnya "organisasi tarekat"
   Illuminati/Freemansory yang muncul di Eropa di abad
   19 sebagai sesuatu yang "menghubungkan" perjalanan
   sejarah Indonesia kontemporer dan Eropa, novel ini
   melakukan "kilas balik" konon ke masa puluhan, bahkan
   belasan ribu tahun yang lalu, dikaitkan dengan "mitos"
   ato "teori" yang mengatakan bahwa peradaban Benua 
   *Atlantis* yang disebut-sebut oleh Plato di dalam
   bukunya benar-benar pernah ada, dan kemungkinan
   bahwa benua itu dulu letaknya ada di wilayah
   kepulauan Nusantara :-)

   Yang cukup menarik, konon katanya penulis Novel
   mengkaitkan "Plato" dengan sejarah Nusantara:
   
   murid Plato adalah Aristoteles. Lalu Aristoteles
   menjadi guru Alexander Agung. Tokoh ini ( 300 SM )
   melalukan ekspansi wilayah ke timur/Asia, yang
   menurut penulis novel ini hingga sampai ke Nusantara
   dalam menemukan legenda "benua Atlantis" ini .. :-)

                         ***

   Beberapa teman dari Sumatera ada yang mengatakan bahwa
   raja-raja Sumatera dulu ada yang keturunan dari Alexander
   Agung. Argumentasinya a.l. karena nama sebagian raja,
   misalnya raja Samudra Pasai: "Iskandar Muda", merupakan
   indikasi dari itu ( Iskandar adalah kata Persia dari
   Alexander ). Tapi ya klaim secam ini susah dibuktikan
   tapi juga susah dibantah (di falsifikasi).

                         ***

   Isu lainnya yang menurut peresensi Novel di atas hendak
   di angkat oleh penulisnya adalah sepertinya juga mendorong
   "kebangkitan" kultur Minang, yang (mungkin) menurut penulisnya
   dalam keadaan "tiarap" akibat pertentangan politik di dalam
   sejarah Indonesia: Pemberontakan PRRI, yang - menurut
   pendapat penulis/peresensinya - masih menimbulkan "trauma
   politik-kultural" pada masyarakat Minang (apa benar demikian? )

   ----( ihsan hm )-----------------------------


<http://butahuruf.wordpress.com/2007/12/10/rahasia-meede/>

----------------------------------
Date: Thu, 26 Jan 2006 18:08:37
From: john navis
Subject: 
----------------------------------


========================================
Novel Negara Kelima, menemukan identitas 
----------------------------------------
Nusantara lewat Minangkabau
========================================

Novel ini benar-benar membuat saya terkesan. 
tidak hanya menyajikan sebuah petualang sejarah 
tetapi juga penemuan identitas. saya ingin berbagi
pendapat tentang novel Negara Kelima ini di mailing 
list ini.

"undang-undang tarimo tariak baleh, kok palu babaleh 
palu, nan  tikam babaleh jo tikam, hutang ameh 
baia jo ameh, hutang padi baia jo padi, hutang
kato baia jo kato"

Kutipan itu bukan berasal dari sebuah buku Tambo 
atau buku adat Minangkabau lainnya. Saya, -seorang
putera Minangkabau yang lahir dan dibesarkan
di Bukittinggi dan baru dua belas tahun merantau 
di Jakarta- justru   mendapatkannya dari sebuah novel 
terbitan Serambi di akhir tahun 2005, berjudul Negara 
Kelima. Sebuah novel yang menurut pengamat/kritikus
sastra dari UI, Maman S Mahayana,

"menjanjikan ketegangan yang tiada habis, 
mengalir deras, berkelok-kelok, penuh kejutan,
spekulatif, penuh intrik dan narasinya yang 
tidak terduga"

Sungguh ironis, tiga perempat dari umur ini saya 
habiskan di ranah Minang, tetapi persentuhan 
dengan sejarah, perjalanan adat dan lika-liku
perjalanan budaya Minangkabau baru saya dapatkan 
dari novel setebal lebih dari lima ratus halaman 
ini. Beragam perasaan muncul pada saat saya 
membaca novel ini, ketakjuban yang membuncah-
buncah, kebanggaan yang meluap-luap dan
terkadang juga perasaan melo berisi kesedihan 
dan kerinduan yang tidak terjelaskan oleh 
kata-kata. 

Hingga pada akhirnya saya merasa, Minangkabau 
bukan sekedar ruang budaya dimana saya dilahirkan. 
Tetapi lebih dari itu, Minangkabau adalah sebuah 
identitas diri. Dan identitas hanya bisa ditemukan 
lewat penelusuran dan pemahaman sejarah.

 Ide dari novel ini menurut saya sangat jenius
dan boleh dikatakan sangat—sangat provokatif. 
Negara kelima dimulai dengan rentetan pembunuhan 
di Jakarta yang diduga melibatkan sebuah kelompok 
yang beberapa waktu belakangan juga melakukan 
cyberteror. Dalam beberapa kemunculannya, 
kelompok ini menyerukan sebuah tuntutan.

       --> Bubarkan Indonesia
       --> Bebaskan Nusantara
       --> Bentuk Negara Kelima

Simbol piramid dengan belahan diagonal yang 
ditemukan pada mayat menjadi penghubung rangkaian 
cerita dalam teka-teki. Simbol itu, sebagaimana 
penjelasan dalam novel, berasal dari masa sebelas 
ribu enam ratus tahun yang silam. Pada kitab Timaues 
and Criteas karangan Plato, simbol itu disebut 
Pillar Orichalcum, berasal dari satu material yang 
nilainya melebihi apapun kecuali emas pada masa 
Atlantis. Lalu cerita itu berlanjut pada pemecahan 
misteri guna mengungkap pelaku sebenarnya.

Keterlibatan empat orang sejarawan Indonesia lulusan 
Sorbonne dalam menggagas teori keberadaan Atlantis 
di kepulauan Nusantara disajikan dengan argumen dan 
teori yang meyakinkan sekaligus menarik. Ide dan 
gagasan dari novel ini mengalir deras dalam upaya 
pemecahan teka-teki yang keluar dari mulut dua 
orang yan dituduh terlibat dalam Kelompok Patriotik 
Radikal (Keparad). 

Pencarian identitas nusantara, tampaknya itu yang 
menjadi gagasan utama dari pengarang novel ini. Dan 
medium dari pencarian identitas ini adalah sebuah 
jalinan sejarah dengan menjadikan Minangkabau sebagai 
mediumnya.
   
Lantas, bagaimana ES Ito, pengarang muda yang 
menyembunyikan identitasnya- ini menyajikannya 
secara apik, cerdas dan memukau?
   
Kitab dialog Timaeus and Critias, -satu-satunya sumber 
tertulis yang   menyebutkan keberadaan benua Atlantis, 
dikarang oleh Plato pada kisaran tahun 360 SM. Pada 
kisaran tahun yang sama, Aristoteles menjadi murid
Plato. Kelak setelah Plato meninggal, Aristoteles 
pindah ke Pella. Ibukota Macedonia, menjadi mentor 
dari Aleksander Yang Agung. 

Motif penaklukan separuh dunia yang dilakukan oleh 
Aleksander menjadi pertanyaan menarik yang diajukan
oleh ES Ito. Sebuah pertanyaan yang ia jawab sendiri 
–lewat tokoh Profesor Duani Abdullah- dengan meyakinkan. 

Bahwa penaklukan Aleksander terkait dengan upaya 
pencarian Nusantara kuno, sebuah cerita yang ia 
dapatkan dari Aristoteles.

Maka kemudian, kita pun dibuat kaget, bagaimana plot 
sejarah dari satu belahan dunia dengan belahan dunia 
lainnya bisa terhubung dengan masuk akal.

Timaeus and Critias Plato kemudian terhubung dengan 
Tambo Adat Alam Minangkabau. Sebuah cerita mengenai 
asal usul nenek moyang orang Minang yang mampu
menjelaskan kenapa penaklukan Aleksander berakhir 
di anak benua India. Cerita tambo pun kemudian mengalir 
lewat mulut seorang Tukang Kaba yang terpaksa merantau 
di Bekasi, karena ia tidak lagi dihargai di kampung.

Pararelitas negara Atlantis sebagaimana gambaran 
Plato dalam Timaeus and Critias dengan Minangkabau 
sesuai cerita kaba, sungguh menarik. Mulai dari 
pembentukan hukum Minangkabau dari simumbang jatuah, 
sigamak-gamak, tarik baleh hingga munculnya Tuah Sakato. 

Hukum-hukum itu diperinci lagi menjadi adat nan dibuhua 
mati dan adat nan dibuhua sintak. Pembentukan hukum
dan otonomi tiap nagari di Minangkabau membuat Eva 
Duani, salah satu protagonis dalam cerita itu bergumam, 

"Minangkabau adalah Welfare state, idaman Plato. 

Persis seperti otonomi tiap negeri yang diperintah oleh 
sepuluh raja Atlantis" Penyajian cerita tambo dalam 
novel Negara Kelima ini mengingatkan saya pada 
novel karangan Gus tf Sakai, Tambo Sebuah Pertemuan 
(Grasindo tahun 2000). Bila pada novel Gus tf Sakai 
itu saya merasakan sebuah perasaan rendah diri 
dan inferioritas -yang entah menjadi ciri dari Sakai-, 
maka pada Negara Kelima saya merasakan sebuah semangat 
yang meluap-luap. Sebuah masa lalu yang gemilang, 
dan sekarang tinggal menjadi puing. 

Gus tf Sakai dalam karyanya tampak mewakili kepengecutan 
dan inferioritas urang awak pasca PRRI. Sedangkan 
ES Ito dalam penyampaian tambo-nya mewakili sebuah 
semangat muda yang terlepas dari kelamnya penindasan 
PRRI oleh Jakarta.

Jalinan cerita tambo itu membantu protagonis dalam 
memecahkan teka-teki kelompok radikal. Menyajikan 
fakta-fakta bagaimana Darmasraya menjadi sentral 
peradaban Nusantara pada masa itu. 

Pengarang mengungkap fakta pendirian Sriwijaya 
oleh Dapunta Hyang yang berasal dari Darmasyara 
sesuai keterangan pada prasasti Kedukan Bukit. 

Enam abad kemudian, Darmasraya juga berperan 
dalam pembentukan peradaban Majapahit lewat 
pengiriman Dara Petak dan Dara Jingga. 
Dengan berani penulis memaparkan sebuah 
realitas semangat tribalisme Jawa kuno di 
dalam istana Majapahit hingga misteri
kematian Jayanegara yang ber-ibukan 
Darmasraya sebagaimana tertulis dalam
sumber Pamancangah.
   
Pencarian Identitas!

Itulah tema sentral yang saya lihat dari 
Negara Kelima. Pencarian sebuah identitas 
nasional yang berbasiskan identitas kultural 
daerah. Kita bisa membacanya lewat pengungkapan 
asal usul tokoh utama, Inspektur Timur Mangkuto.
 
Ia menyebut dirinya berasal dari daerah Kamang. 
Dengan cerdas, identitas ini terungkap dalam 
dialog antara Timur Mangkuto dengan Profesor 
Duani Abdullah yang berisi sinisme.

"Hee..Hee", Profesor Duani Abdullah tergelak 
mendengar nama tempat itu, "Kamang!, Negeri 
para pemberontak yang justru dilupakan sejarah
bukan?"

Lewat dialog ini Timur Mangkuto bisa mengingat 
kembali sejarah pemberontakan kampungnya. 
Terutama peristiwa Perang Kamang (pemberontakan
 belasting) pada 15 Juni 1908 -sebuah peristiwa 
yang menurut Indra Jaya Piliang bisa disamakan 
dengan riwayat revolusi Amerika yang dimulai 
dengan tuntutan tidak ada pajak tanpa perwakilan 
(lihat Seratus Tahun Bung Hatta, penerbit Kompas)-.
 
Sebuah kisah sejarah yang tidak pernah dimasukkan 
oleh Jakarta sebagai bagian dari sejarah nasional.
"Sejarah tidak adil, bukan?", Lanjut Profesor 
Duani Abdullah, "Sebagian daerah diagung-agungkan, 
sebagian besar malah dilupakan. Semua untuk
kepentingan politik dan penguasa. 

Aku bisa membayangkan, Kamang-mu itu sekarang tidak 
lebih dari daerah yang diisi oleh manusi kerdil 
yang dilupakan dari sejarah pemberontakannya.
Sinisme serupa muncul dalam dialog lainnya. Ketika 
dua orang anak muda menelusuri jejak PDRI di Halaban 
dan Bidar Alam. Mereka menyebut dua negeri itu dengan 
sebuah ungkapan tajam, 

"Negeri yang dikalahkan oleh manipulasi sejarah!"

Sinisme dan pencarian identitas yang bercampur 
aduk mempermainkan emosi saya. Walaupun gagasan 
besar dari novel ini adalah sebuah identitas sejarah
nusantara tetapi jelas kelihatan ES Ito, pengarang 
novel ini, menjadikan Minangkabau sebagai mediumnya. 
Model ideal dari sebuah masyarakat demokratis 
pada masa lalu. 

Membaca Negara Kelima seolah-olah melihat kembali
kelahiran identitas Minangkabau. Ada satu semangat 
besar yang dimiliki oleh ES Ito. Suatu semangat 
yang tidak lagi dimiliki oleh novelis-novelis 
kontemporer. 

ES Ito mengangankan sebuah perubahan tanpa harus 
menghilangkan akar identitas. Negara Kelima tampaknya 
harus dibaca oleh siapa saja yang berada pada simpang 
jalan pencarian identitas. Dan ES Ito, pengarang 
muda itu mewakili sebuah semangat muda yang tengah 
bangkit kembali. Semoga kelak ia tidak menjadi 
bagian dari seniman yang disebut Rendra sebagai 
seniman salon yang hanya bersenandung tentang anggur, 
wanita dan rembulan.




Kirim email ke