Untuk Catatan Ringan Pustakalewi.Net pekan ini, izinkanlah saya
mengutip tulisan Ika S. Creech, yang akhir-akhir ini beredar di
berbagai mailing list. Ika mengaku sebagai putra Indonesia Asli, kini
bertempat tinggal di Paris dan bekerja sebagai pembawa acara di salah
satu stasiun di Perancis.
 
Menurutnya, Deso (baca: ndeso) adalah sebutan untuk orang yang norak,
kampungan, udik, shock culture, countrified dan sejenisnya. Ketika
mengalami atau merasakan sesuatu yang baru dan sangat mengagumkan,
maka ia merasa takjub dan sangat senang, sehingga ingin terus
menikmati dan tidak ingin lepas, kalau perlu yang lebih dari itu.
Kemudian ia menganggap hanya dia atau hanya segelintir orang yang baru
merasakan dan mengalaminya. Maka ia mulai atraktif, memamerkan dan
sekaligus mengajak orang lain untuk turut merasakan dan menikmatinya,
dengan harapan orang yang diajak juga terkagum-kagum sama seperti dia.

Semua kampus di Jepang penuh dengan sepeda, tak terkecuali Dekan atau
bahkan Rektor pun ada yang naik sepeda datang ke kampus. Sementara
pemilik perusahaan Honda tinggal di sebuah apartemen yang sederhana.
Ketika beberapa pengusaha ingin memberi pinjaman kepada pemerintah
Indonesia mereka menjemput pejabat Indonesia di Bandara Narita.
Pengusaha tersebut bertolak dari Tokyo menggunakan kendaraan umum,
sementara pejabat Indonesia yang akan dijemput menggunakan mobil dinas
Kedutaan yaitu Mercedes Benz.

Ketika saya di Australia berkesempatan melihat sebuah acara dari jarak
yang sangat dekat, yang dihadiri oleh pejabat setingkat menteri, saya
tertarik mengamati pada mobil yang mereka pakai yaitu merek Holden
baru yang paling murah untuk ukuran Australia. Yang menarik, para
pengawalnya tidak terlihat karena tidak berbeda penampilannya dengan
tamu-tamu, kalau tidak jeli mengamati kita tidak tahu mana pengawalnya. 

Di Sidney saya berkenalan dengan seorang pelayan restoran Thailand.
Dia seorang warga Negara Malaysia keturunan China, sudah menyelesaikan
Doctor, sekarang sedang mengikuti program Post-Doc, Dia anak seorang
pengusaha yang kaya raya di negaranya. Tidak ingin menggunakan
fasilitas orang tuanya malah jadi pelayan. Dia juga sebenarnya
memperoleh beasiswa dari perguruan tingginya.

Satu bulan di Jepang, saya tidak melihat orang menggunakan HP Nokia
Communicator, mungkin kelemahan saya mengamati. Setelah saya baca
koran, ternyata konsumen terbesar HP Nokia Communicator adalah Indonesia.

Sempat berkenalan juga dengan seorang yang berada di stasiun kereta di
Jepang, ternyata dia anak seorang pejabat tinggi negara, juga naik
kereta. Yang tak kalah serunya saya juga jadi pengamat berbagai jenis
sepatu yang di pakai masyarakat Jepang ternyata tak bermerek, wah ini
yang ndeso siapa yah?

Sulit membedakan tingkat ekonomi seseorang di jepang atau di
Australia, baik dari penampilannya, bajunya, kendaraannya, atau
rumahnya. Kita baru bisa menebak kekayaan seseorang kalau sudah
mengetahui riwayat pekerjaan dan jabatannya di perusahaan.
Jangan-jangan kalau orang Jepang diajak ke Pondok Indah bisa pingsan
melihat rumah mewah dan berukuran besar. Rata-rata rumah di Jepang
memiliki tinggi plafon yang bisa digapai dengan tangan hanya dengan
melompat. Sehingga untuk duduk pun banyak yang lesehan.

Ketika Indonesia sedang terpuruk, Hutang sedang menumpuk, rakyat
banyak yang mulai ngamuk. Negara sedang kere, rakyat banyak yang antri
beras, minyak tanah, minyak goreng dan lain-lain. Maka harga diri kita
tidak bisa diangkat dengan medali emas turnamen olah raga, sewa pemain
asing, banyak perayaan yang gonta-ganti baju seragam, baju dinas,
merek mobil, proyek mercusuar, dll, dsb, dst...

Bangsa ini akan naik harga dirinya kalo hutang sudah lunas, kelaparan
tidak ada lagi, tidak ada pengamen dan pengemis, tidak ada lagi WTS,
angka kriminal rendah, korupsi berkurang, pendidikan terjangkau,
sarana kesehatan memadai, punya posisi tawar terhadap kekuatan global,
serta geopolitik dan geostrategi yang disegani. Maka orang Ndeso
(alias norak) tidak mampu mengatasi krisis karena tidak bisa
menjadikan krisis sebagai paradigma dalam menyusun APBD dan APBN. Nah,
karena yang menyusun orang-orang norak maka asumsi dan paradigma yang
dipakai adalah negara normal atau bahkan mengikut negara maju. 

Bayangkan ada daerah yang menganggarkan dana untuk sepak bola 17
milyar Rupiah, sementara anggaran kesejahteraan rakyatnya hanya 100
juta Rupiah, wiiieh!!! Akhirnya penyakit norak ini menjadi wabah yang
sangat mengerikan dari atas sampai bawah :

- Orang bisa antri Raskin sambil pegang HP,
- Pelajar bisa nunggak SPP sambil merokok,
- Orang tua lupa siapkan SPP, karena terpakai untuk beli TV dan kulkas,
- Orang bule mabuk karena kelebihan uang, orang kampung mabuk beli
minuman patungan,
- Para pengungsi bisa berjoged dalam tendanya,
- Orang-orang dapat membeli gelar akademis di ruko-ruko tanpa kuliah,
- Ijazah Doktor luar negeri bisa di beli sebuah rumah petakan gang
sempit di Cibubur,
- Kelihatannya orang sibuk ternyata masih sering keluar masuk Mc Donald,
- Kelihatannya orang penting, ternyata sangat tahu detail dunia
persepakbolaan,
- Kelihatan seperti aktivis tapi habis waktu untuk mencetin HP,
- 62 tahun merdeka, lomba-lombanya masih makan kerupuk saja,
- Agar rakyat tidak kelaparan maka para pejabatnya dansa-dansi di
acara tembang kenangan,
- Agar kampanye menang harus berani sewa bokong-bokong bahenol ngebor,
- Agar masyarakat cerdas maka sajikan lagu goyang dombret,
- Agar bisa disebut terbuka maka harus bisa buka-bukaan,
- Yang lebih mengerikan lagi adalah supaya kita tidak terlihat kere,
maka harus bisa tampil keren.

Tulisan Ika ini sangat menarik. Untuk itu, mari sama-sama kita
renungkan. Semoga, kita segera lepas dari tuduhan "deso" dan tidak
terus-menerus berlagak keren, padahal aslinya kere.

Oleh : Agustinus "JOJO" Raharjo.
Jurnalis & pemerhati www.pustakalewi.net

Sumber :
http://www.pustakalewi.info/detail.asp?section=catrindetail&catrinid=17

Atau, http://groups.yahoo.com/group/pustakalewi/message/5218

Kirim email ke