Euphoria Dana Petro Dolar

Oleh : Ir H Adiwarman A Karim, MBA, MAEP


Rangkaian kunjungan ramai dilakukan ke Negara-negara Teluk untuk
membuka mata mereka bahwa Indonesia adalah tempat yang ideal untuk
melakukan investasi. Persiapan demi persiapan dilakukan untuk
menanti masuknya dana petro dolar ke Indonesia. Berbagai pihak
menyambut antusias upaya diversifikasi sumber dana luar negeri ini
sekaligus diversifikasi instrumennya.

Proyek-proyek yang sempat lesu setelah berakhirnya Infrastructure
Summit, seakan mendapat tambahan darah baru. Paling tidak semangat
untuk bangkit mulai menggelora. Perkiraan daya serap pasar atas
sukuk atau obligasi syariah -- baik yang domestik mapun yang global -
- mulai dilontarkan. Pengalaman kami, kita tidak boleh cepat puas
dengan antusiasme Negara-negara Teluk tersebut. Perlu ketekunan
untuk mendapatkan kepercayaan bisnis mereka, memahami peta bisnis
keluarga yang saling bertalian. Ketika kepercayaan bisnis ini telah
muncul barulah rencana-rencana investasi mereka dapat terealisasi.
Singapura, misalnya, hampir setiap bulan ada saja delegasi tingkat
tinggi yang berkunjung ke Negara-negara Teluk untuk meyakinkan
mereka melakukan investasi di Singapura.

Cukup ironis, memang. Di satu pihak kita menolak utang luar negeri
yang akan memberatkan APBN, di lain pihak kita sangat antusias
menantikan sukuk. Padahal sukuk juga menimbulkan tambahan kewajiban
kepada luar negeri. Meski sukuk adalah surat investasi syariah dan
bukan surat utang, bagaimana pun nilai investasi sukuk tersebut
harus dikembalikan kepada investor.

Apakah benar utang luar negeri harus ditolak karena akan membawa
kesengsaraan bagi bangsa? Sedangkan sukuk tidak menimbulkan
kesulitan apa pun karena sistemnya syariah?

Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa sukuk dengan sistem syariahnya
akan jauh lebih baik daripada surat utang yang berbasis bunga.
Pertama, penggunaan dana sukuk sejak awal jelas untuk membangun
proyek apa. Kedua, risiko sukuk terdefinisi sejak awal oleh proyek
yang dibiayainya. Ketiga, kedisplinan penggunaan dana sukuk menjadi
suatu keharusan karena sifatnya yang membiayai proyek tertentu.

Persoalannya muncul ketika kita terlena menerbitkan sukuk tanpa
memperhitungkan kapasitas bayar negara atau yang dikenal sebagai
debt to service ratio (DSR). Betapa pun keunggulan sukuk, ia tetap
tunduk pada kaidah 'jangan besar pasak dari tiang' atau dalam kaidah
fiqih disebutkan min ghalabatid dayn. Kewajiban keuangan yang
melilit atau kewajiban keuangan yang berkepanjangan tanpa kemampuan
menyelesaikannya. Analoginya sederhana, seorang yang butuh uang
dapat meminjam uang secara syariah. Namun jika utangnya tersebut
melebihi kemampuannya membayar kembali, maka meski ia berutang
secara syariah namun ia telah terjerat oleh utang yang melilit
kehidupannya.

Oleh karena itu, penerbitan sukuk hendaknya selalu diletakkan dalam
kerangka manajemen keuangan negara yang tetap memperhitungkan DSR,
dengan rencana/target penurunan DSR secara bertahap. Penerbitan
sukuk hendaknya dilihat sebagai pengganti instrumen utang yang
berbasis bunga, bukan sebagai instrumen baru penambah utang. Dalam
kerangka pikir ini, kita mengharapkan agar utang-utang baru tidak
lagi dilakukan dengan sistem bunga, dan sebagai gantinya digunakan
sukuk. Dengan demikian, DSR tetap terjaga dan utang-utang mulai
bertransformasi menjadi sukuk.

Mengkonversi surat utang negara sekaligus menjadi sukuk, bukan saja
akan menimbulkan kompleksitas tersendiri, juga akan menimbulkan
dugaan dan kekhawatiran yang tidak perlu. Biarlah syariah menjadi
part of solution bagi bangsa ini, dan jangan menjadi part of problem
by creating unnecessary fantasy of worries.

Ingatlah kita kisah Siti Hajar yang berlari-lari tanpa henti dari
Safa-Marwa mencari air? Bukankah Siti Hajar tahu setelah berulang
kali ke Safa dan berulang kali ke Marwa, bahwa tidak ada air di
sana. Namun Siti Hajar tidak pernah putus asa untuk terus berharap
akan datangnya pertolongan Allah. Upaya tak kenal lelah inilah, yang
akhirnya mengundang barakah Allah. Air zam-zam keluar dari hentakan
kaki Ismail, anaknya.

Mampukah kita bersikap seperti Siti Hajar? Upaya maksimal dengan
penuh harap ternyata menggerakkan Allah untuk memberikan air bukan
kepadanya, tapi kepada orang lain yaitu anaknya.

Seringkali kita terlalu egois dalam berjuang. Kita ingin agar segala
upaya yang telah kita lakukan selama ini, maka kita pulalah yang
harus mendapatkan hasilnya. Inikah keikhlasan kita dalam berjuang?
Bukankah tugas kita sekedar membawa tongkat estafet perjuangan, dan
menyerahkan kepada orang berikutnya untuk meneruskan perjuangan?

Perjuangan mengenalkan ekonomi syariah mungkin baru akan dinikmati
oleh generasi berikutnya. Namun apalah artinya semua kesulitan dalam
mengenalkan ekonomi syariah bila dibandingkan dengan balasan yang
dijanjikan-Nya di dunia dan di akhirat? Apalah artinya kepenatan
membesarkan anak dibandingkan kenikmatan melihat keberhasilan sang
anak?

Negara Kesatuan Republik Indonesia ini merupakan contoh nyata,
betapa para pejuang kemerdekaan dulu mewariskan kepada generasi
sekarang suatu negara yang thayyibatun wa rabbun ghafur. Para
pejuang itu akan kita kenang keikhlasannya, karena sebagian besar
mereka bahkan tidak pernah merasakan hasil perjuangan mereka. Begitu
pula dengan para pejuang ekonomi syariah, kita pun akan dikenang
keikhlasan kita oleh generasi mendatang. Bukan saja karena kita
telah mengenalkan mereka ekonomi syariah, terlebih lagi karena kita
telah meletakkan dasar yang kuat untuk bangsa menjadi pemimpin
ekonomi syariah di dunia.








***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]




SPONSORED LINKS
Cultural diversity Indonesian languages Indonesian language learn
Indonesian language course


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke