SUARA KARYA
Reshuffle dan Kegelisahan Angkatan 80-an Oleh Ricky Rachmadi Jumat, 9 September 2005 Gonjang ganjing rencana reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) digulirkan berbagai kalangan menyusul terpuruknya perekonomian nasional, dimulai kenaikan harga minyak dunia dan naiknya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah dari Rp 8.000-an per dolar AS hingga Rp 10.700 per dolar AS. Kabinet KIB dianggap memble karena gagal merespon berbagai masalah yang timbul dari ekses masalah tersebut. Presiden SBY pun diminta tegas dan tidak ragu- ragu me-reshuffle kabinetnya. Dhus, pertarungan untuk menempati posisi strategis di kabinet yang akan di-reshuffle tidak saja terjadi di partai-partai politik pendukung pemerintah, tetapi juga di kalangan aktivis pro-demokrasi, yang selama ini telah berjasa menggulirkan perubahan ke arah demokratisasi. Mereka yang berasal dari berbagai angkatan, baik Angkatan '66 (walaupun tokoh-tokohnya mulai sepuh), Angkatan '70-an maupun Angkatan '80-an (di tiga zaman, Orde Lama, Orde Baru maupun Orde Reformasi), selama ini belum mendapat kesempatan dalam format kekuasaan negara. Hal ini menjadi wajar jika kita menilik sejarah pada awal kemerdekaan, manakala Angkatan '45 mendapat kehormatan untuk menempati posisi strategis dalam pengelolaan negara ini. Begitu juga pada saat runtuhnya rezim Orde Lama, maka aktivis '66 mendapat porsi peran yang besar dalam lembaga eksekutif dan legislatif. Namun pada saat era reformasi yang seharusnya menjadi hak generasi yang lebih muda untuk masuk ke lapangan kekuasaan, malah tidak terjadi. Akan tetapi, para aktivis '66 yang selama ini berseberangan dengan rezim yang lalu, serta partai politik non-Golkar justru mendapat peran dalam kekuasaan pemerintahan BJ Habibie. Demikian pula lembaga legislatif pun tidak terlampau banyak berubah, masih didominasi oleh orang-orang lama. Setelah Pemilu 1999 -- yang dianggap sebagai pemilu paling demokratis -- dilaksanakan pemerintahan Habibie, tampillah Abdurrahman Wahid ke tampuk kekuasaan sebagai Presiden RI ke-4. Maka, gelombang perubahan Angkatan mulai terjadi. Di sini Angkatan 70-an mendapat porsi strategis, semisal Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (mantan MenESDM/Menko Polkam, yang saat ini menjadi Presiden RI ke-6 dan Dr Rizal Ramli (mantan Menkeu), keduanya dikenal sebagai tokoh Angkatan 70-an. Oleh karena itu, Angkatan 70-an patut berterima kasih kepada mantan Presiden Abdurrahman Wahid, yang berani mendobrak keadaan. Tanpa keberanian Gus Dur, bukan mustahil jabatan strategis di republik ini akan tetap didominasi Angkatan 66. Apalagi hingga kini Angkatan 66 masih sangat berambisi untuk duduk dalam tampuk kekuasaan. Setelah Presiden Abdurrahman Wahid dilengserkan melalui Sidang Istimewa MPR dan kemudian Presiden RI Ke-5 Megawati Soekarnoputri diangkat, muncul harapan berbagai kalangan, khususnya aktivis pro-demokrasi Angkatan 70-an dan Angkatan 80-an -- walaupun sebelumnya pernah tercetus isu untuk memotong satu generasi, karena generasi di atas dianggap menghambat laju generasi di bawahnya -- untuk ikut mengisi tampuk kekuasaan. Ternyata perubahan pada era pemerintahan Megawati pun tidak menampakan hal yang signifikan dalam mengakomodasikan generasi di bawahnya. Susunan anggota kabinet Megawati masih menggunakan pola campur sari. Lantas, bagaimana nasib generasi di bawah Angkatan 70-an, yakni Angkatan 80-an? Angkatan 80-an banyak dikenal sebagai aktivis pro-demokrasi (Prodem). Karena, pada era Angkatan 80-an inilah kebekuan dunia perpolitikan nasional sejak 1978 menjadi cair lewat terobosan berupa pola gerakan memperjuangkan demokratisasi. Gerakan mereka (lewat kelompok studi dan advokasi mahasiswa bersama LSM) mencapai puncak di saat Angkatan 80-an bersama adik angkatannya, yaitu Angkatan 90-an meruntuhkan rezim Orba pada tahun 1998. Apa yang terjadi setelah itu? Angkatan 90-an, yang saat itu masih duduk di bangku kuliah mahasiswa kembali ke kampus. Sedangkan Angkatan 80-an, karena minimnya pengalaman dan kesempatan dalam ruang kekuasaan strategis negara, harus menelan pil pahit menunggu giliran dengan harapan mendapat belas kasihan dari generasi di atasnya. Era reformasi semula menimbulkan harapan dari generasi Angkatan 80-an untuk dapat berkiprah di lapangan kekuasaan strategis negara diawali pada era pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati. Namun karena pada era tersebut, Angkatan 80-an kurang dilirik, maka tumpuan terbesar untuk mendapat peran yang lebih diharapkan terjadi pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, harapan itu pun ternyata pupus karena ternyata kawan seiring pemerintahan sekarang bukanlah para aktivitis pro-demokrasi pengawal agenda reformasi, tetapi justru poros pendukung Orde Baru termasuk kalangan militer (baca TNI). Hal ini tentunya tidak saja menggelisahkan generasi Angkatan 80-an. Tetapi, pemerintahan SBY juga telah merusak semangat teman-teman di militer (TNI) yang sudah berupaya dengan segala daya upaya mereformasi dirinya. Indikasi adanya pengingkaran terhadap hal tersebut jelas dapat dilihat dari sejumlah tindakan represif dan pendekatan keamanan (security approach) terhadap elemen bangsa yang berseberangan dengan pemerintahan SBY. Kegelisahan lain generasi Angkatan 80-an terkait dengan tidak siapnya generasi di atasnya untuk membina atau sebagai pendorong, terhadap generasi Angkatan di bawahnya (apabila kekuasaan telah didapat). Tuntutan untuk menguatkan jati diri Angkatan 80-an merupakan tantangan tersendiri yang mesti disikapi secara sungguh-sungguh. Jangan sampai generasi (Angkatan) ini terjangkit sindroma inferioritas karena kadernya secara kualitas dan kuantitas paling minim jumlahnya dalam mengisi posisi pada wilayah lapangan kekuasaan kepemimpinan pada level nasional. Kader angkatan ini perlu disebarkan seluas-luasnya, entah sebagai menteri muda, atau cabang-cabang kekuasaan lain di lembaga legislatif, birokrasi, atau pengusaha, profesional (lawyer, pers, bankers), penggiat LSM, intelektual dan lain lain. Pemerintahan SBY dalam rencana reshuffle kabinet kali ini ada baiknya mengakomodasikan Angkatan 80-an di dalam pemerintahannya. Kalau tidak dilakukan, maka upaya regenerasi kepada yang lebih muda akan tersumbat sehingga akan mengalami kemunduran yang luar biasa pada estafet kekuasaan strategis negara di masa-masa mendatang. Tentu, semua ini dapat dilakukan apabila ada kemauan dan tekanan politik kepada senior (generasi di atas) yang duduk dalam kekuasaan saat ini. Tapi, apakah mungkin hal ini dilakukan? Kata pakar politik, politik adalah the art of possibilities (seni untuk mencapai sasaran yang mungkin diperoleh dari pelbagai ketidak-mungkinan yang ada). Lantas menurut Adam Malik, "Dalam politik semua bisa diatur!" *** Penulis Wakil Sekjen DPP MKGR, Wakil Sekjen Jaringan Aktivis Prodem, Wakil Sekjen AMPI. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help Sudanese refugees rebuild their lives through GlobalGiving. http://us.click.yahoo.com/V8WM1C/EbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/