Kamis, 23 Maret 2006 Opini http://korantempo.com/korantempo/2006/03/23/Opini/krn,20060323,58.id.html
Salah Kaprah tentang Pornografi Pryadi Satriana MAHASISWA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA Rancangan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi (selanjutnya disingkat RUU Pornografi), yang dimaksudkan untuk menjaga moral bangsa Indonesia, menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan. Mengapa terjadi hal semacam itu? Sebab, makna kata "pornografi" tidaklah dipahami dengan tepat. Webster's New World Dictionary (1988: 1051) menjelaskan bahwa kata pornography berasal dari bahasa Yunani, pornographos, yang berarti "menulis hal pelacur". Maksudnya, mengiklankan pelacur atau "mempengaruhi orang lain" untuk "membeli" pelacur itu. Jadi ada unsur kesengajaan (cetak miring dari penulis) di sini. Kata pornographos berkaitan dengan porne yang berarti "pelacur". Penelusuran penulis terhadap beberapa kamus bahasa Yunani (Vine, 1984; Richards, 1985; dan Brown, 1986) menunjukkan bahwa porne merupakan eufemisme porneuo yang berarti "wanita yang menjual diri". Porneuo berasal dari pernemi yang berarti "menjual" (to sell), sedangkan pornos adalah orang yang berhubungan seks (di luar ikatan pernikahan) dengan porne (pelacur), yang juga sebutan bagi laki-laki amoral secara seksual yang membiarkan dirinya "digunakan" karena uang, yang kini populer dengan sebutan gigolo. Tampak di sini bahwa unsur dominan dalam pornographos adalah "kesengajaan". Definisi kamus-kamus bahasa Inggris pun dengan jelas menyebutkan unsur kesengajaan dalam menjelaskan pengertian pornografi. Webster's New World Dictionary (1988: 1051) mendefinisikan pornografi sebagai "tulisan, gambar, dan lain-lain yang tujuan utamanya untuk menimbulkan keinginan seksual". Longman Dictionary of English Language and Culture (1993: 1023) mendefinisikannya dengan "perlakuan para pelaku seks dalam gambar, tulisan, atau film dengan cara yang dimaksudkan untuk menimbulkan gairah seksual". Longman Dictionary of Contemporary English (2001: 1094) mendefinisikan pornografi dengan "majalah, film, dan sebagainya yang mempertontonkan tindakan ataupun kesan seksual yang bertujuan untuk membuat orang lain merasa terangsang secara seksual". Cambridge International Dictionary of English (1998: 1096) memberikan definisi yang sangat deskriptif. Pornografi didefinisikan dengan "buku, majalah, film, dan sebagainya yang tidak mempunyai nilai artistik yang memaparkan atau mempertontonkan tindakan seksual atau orang bugil dengan cara yang bertujuan untuk merangsang secara seksual, tapi akan dianggap tidak menyenangkan atau mengganggu banyak orang". Kata-kata "tujuan utamanya" dalam definisi-definisi di atas menunjukkan adanya unsur kesengajaan. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa "sesuatu" baru dapat dikategorikan porno atau bersifat pornografis jika memenuhi kriteria sebagai berikut ini. Pertama, mengandung unsur kesengajaan untuk mempengaruhi (baca: menggoda) orang lain agar terangsang secara seksual demi kepentingan si penggoda. Dengan demikian, seorang ibu yang sedang menyusui anaknya di tempat umum tidaklah berperilaku porno karena ia tidak sedang secara sengaja menggoda orang lain dengan memperlihatkan payudaranya di tempat umum, justru ia sedang memenuhi suatu panggilan mulia sesuai dengan kodratnya sebagai seorang ibu. Kedua, mengeksploitasi seks--menekankan tindakan ataupun kesan seksual--dengan mengesampingkan nilai artistiknya. Jadi segala macam bentuk kesenian sebagai perwujudan kreasi seni yang kreatif tidak boleh dipandang sebagai suatu bentuk pornografi. Ketiga, menjurus pada praktek amoral yang bertentangan dengan norma-norma kemasyarakatan, seperti menjadi pelacur ataupun gigolo. Para penjaja tubuh tahu betul bagaimana menciptakan anggapan (image) yang sesuai dengan dirinya sebagai porne (pelacur) ataupun pornos (lelaki amoral yang menjadi gigolo). "Menciptakan anggapan porno" (untuk suatu tujuan porno) sangat dikuasai dengan baik oleh si "penjual" ataupun sang "pembeli". Jadi pornografi berkaitan dengan penciptaan image tentang sesuatu yang porno, dan karena itu "hal yang porno" ditimbulkan oleh "apa yang ada di pikiran", dan bukannya oleh "apa yang tampak di luar". Kalau begitu, apakah RUU Pornografi tidak diperlukan? Menurut penulis, memang tidak perlu. Alasannya? Pertama, telah terjadi salah kaprah kalau RUU Pornografi hendak diberlakukan untuk mengatur moralitas. Pembinaan moralitas mestinya dilakukan dengan pendekatan budaya melalui institusi sosial (keluarga dan masyarakat) ataupun institusi keagamaan. Kedua, pornografi pada dasarnya berhubungan dengan pembentukan kesan (image building) yang bertujuan merangsang nafsu seksual. Karena fungsi image building dilakukan oleh media, media yang perlu diatur agar tidak menyebarluaskan produk yang porno. Efektifkan saja kerja badan-badan yang mengatur media, seperti Komisi Penyiaran Indonesia dan Badan Sensor Film. Tidak perlu mengeluarkan undang-undang yang mengatur cara berpakaian anggota masyarakat agar tidak menimbulkan rangsangan seksual bagi orang yang melihatnya. Lalu, setelah membicarakan secara panjang lebar pengertian pornografi, apa pula yang dimaksud dengan "pornoaksi"? Penulis berusaha mencari-cari padanan bahasa Inggris untuk kata "pornoaksi" sebagai langkah awal untuk menghayati secara tepat konsep yang disampaikan oleh kata tersebut. Sambil dibayangi pikiran bahwa kata "pornoaksi" terasa aneh di telinga, penulis membolak-balik kamus-kamus bahasa Inggris yang disebutkan di atas. Tidak ada kata porn act(ion) dalam bahasa Inggris. Kata "pornoaksi" rupanya hanyalah "karangan" (coinage) seseorang yang terangsang berahinya menyaksikan aksi panggung "goyang ngebor" Inul Daratista. *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/