Refleksi: Bagaimana kalau judulnya: "Setelah presiden berkunjung ke Bank, kas negara menjadi kosong".
TEMPO Edisi. 27/XXXIV/29 Agustus - 04 September 2005 Setelah Presiden Berkunjung ke Bank Kurs rupiah terendah dalam tiga setengah tahun terakhir. Pemerintah dan bank sentral terkesan tak seiring. Presiden pun turun tangan. KESIBUKAN tiba-tiba menyergap kantor pusat Bank Indonesia, Rabu malam lalu. Bangunan tua di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, itu mendadak dijaga ketat oleh sejumlah anggota pasukan pengawal presiden yang siaga di pintu masuk utama gedung itu. Mereka datang untuk mempersiapkan kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono malam itu. Kedatangan Presiden sempat membuat kalang-kabut pihak Istana maupun bank sentral. Pasalnya, keputusan baru dibuat sekitar satu setengah jam sebelum jadwal kedatangan. "Kami baru diberi tahu sekitar pukul 18.30 WIB," kata salah seorang anggota pasukan pengawal presiden. Akibatnya, alat pendeteksi logam (metal detector) khusus yang biasa digunakan di pintu masuk di setiap acara kepresidenan pun sampai tak sempat dipasang. Sejumlah karyawan BI juga tampak pontang-panting. Beberapa vas bunga baru ditata di sejumlah meja tamu, di depan ruang konferensi pers yang terletak di lantai empat gedung itu, ketika rombongan Presiden tiba sekitar pukul 19.30 WIB. "Ini di luar schedule," kata salah seorang staf BI. Semula, para petinggi bank sentral memang telah dijadwalkan hadir dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Perbankan dan Keuangan DPR pada jam yang sama. Kabar kedatangan Kepala Negara membuat mereka mengurungkan keberangkatan dan sibuk mempersiapkan penyambutan di gedung utama. Begitu Presiden tiba, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, yang menyambut di depan pintu, segera membawa tamu terhormatnya itu ke lantai tiga. Di sana sebuah rapat kilat langsung digelar. Rapat dihadiri jajaran lengkap para Deputi Gubernur BI. Suasana genting terasa meruap di ruang pertemuan itu. Bahkan wajah Miranda S. Goeltom, Deputi Gubernur Senior BI yang biasanya dikenal banyak senyum, kali ini terlihat sangat serius. Rapat mendadak itu hanya memiliki satu agenda: membahas soal kemerosotan nilai rupiah. Maklum, sejak level psikologis kurs Rp 10 ribu per dolar jebol dua hari sebelumnya, laju penurunan rupiah terhadap dolar AS terus meningkat. Bahkan kunjungan Presiden Yudhoyono ke Bank Indonesia, yang menyiratkan keseriusan pemerintah mengatasi pelemahan nilai rupiah ini, pun ternyata tak mampu mengerem kecenderungan itu. Pada perdagangan Kamis lalu, sehari setelah rapat itu, kurs masih sempat terperosok ke posisi Rp 10.365 per dolar. Keesokan harinya pun keadaan tak membaik. Rupiah malah sempat menyentuh level Rp 10.413 per dolar. Ini merupakan level terendah dalam kurun tiga setengah tahun terakhir, tepatnya sejak Februari 2002. Pemicu yang dituding banyak pihak: harga minyak dunia yang kembali menggila. Di bursa komoditas New York, Rabu lalu, harga minyak mentah ringan untuk kontrak pengiriman Oktober memang memecahkan rekor tertinggi baru, yaitu US$ 68 per barel. Tingginya harga minyak dunia telah menggoyahkan kepercayaan investor di berbagai negara. Namun, dampaknya terhadap rupiah termasuk yang paling gawat. Membubungnya harga minyak dunia dikhawatirkan tak hanya memperlambat pertumbuhan ekonomi, tapi juga bakal membuat anggaran negara tekor besar dan cadangan devisa melorot. Penyebabnya, subsidi BBM yang harus ditanggung pemerintah hingga akhir tahun ini diduga akan mencapai Rp 140 triliun-jauh di atas patokan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2005, yang hanya Rp 76,5 triliun. Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie tak menafikan kemungkinan itu. Jika harga minyak tetap bertahan pada kisaran US$ 66 per barel, ia memperkirakan defisit anggaran di akhir tahun bakal membengkak dua kali lipat: dari target semula yang hanya Rp 20,3 triliun (0,8 persen dari produk domestik bruto) menjadi sekitar Rp 40 triliun! Bila cadangan devisa lantas melorot karena digunakan untuk menutup defisit ini, posisi rupiah di mata para spekulan mata uang menjadi lemah dan membuka peluang untuk digoyang. Untuk meredam aksi menggoyang itulah, Presiden Yudhoyono tampaknya memandang perlu segera menyambangi bank sentral. Kedatangan Presiden boleh dibilang istimewa. Sebab, inilah kali pertama seorang presiden datang ke BI untuk mengadakan sebuah rapat kerja. Memang Presiden Megawati Soekarnoputri pernah juga berkunjung ke BI, Juli dua tahun silam. Namun, kedatangannya saat itu lebih pada acara seremonial memperingati 50 tahun usia bank sentral. Kunjungan Presiden Yudhoyono, yang dimaksudkan untuk menciptakan persepsi keseriusan pemerintah menangani merosotnya nilai rupiah, sayangnya kurang berhasil. Kenyataan tak adanya satu pun menteri ekonomi yang mendampingi malah mencuatkan kesan sebaliknya. Hanya Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto, serta dua juru bicara kepresidenan-Andi Mallarangeng dan Dino Pati Djalal-yang ikut. Akibatnya, berbagai analisis politik pun langsung beredar, utamanya ada dugaan bahwa hubungan antara Presiden dan Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta tim ekonomi kabinet sedang kurang harmonis. Salah satu pemicunya, SBY-begitu Presiden Yudhoyono biasa disapa-dan para pembantunya itu dikabarkan sedang bersilang pendapat cukup tajam soal perlu tidaknya segera menaikkan harga bahan bakar minyak di dalam negeri, di tengah lonjakan harga minyak dunia. Sumber Tempo di tim ekonomi kabinet membisikkan SBY berkukuh pada pendiriannya bahwa kenaikan harga BBM baru boleh dilakukan pada Januari 2006. Sebaliknya, Kalla dan semua menteri ekonomi telah meminta agar langkah tak populer itu bisa dipercepat pelaksanaannya. "Tinggal SBY sendiri yang belum setuju," ujarnya. Apa yang menjadi dasar keberatan SBY? "SBY khawatir isu kenaikan harga BBM bakal dijadikan senjata untuk menjatuhkan dirinya," kata sumber itu. Maklum, Oktober mendatang pemerintahannya genap berusia satu tahun. "Ini masa kritis." Spekulasi lain menyebutkan, kunjungan Presiden kali ini bagian dari upaya menetralkan memanasnya hubungan tim ekonomi kabinet dan para petinggi bank sentral sepekan terakhir. Pangkal persoalannya, menurut sumber Tempo di pemerintahan, Gubernur BI baru saja "disemprot" oleh Kalla dan para menteri ekonomi dalam sebuah rapat kabinet yang digelar Senin pekan lalu. Di forum itu, BI dipersalahkan karena dianggap tidak becus menjaga kestabilan nilai tukar rupiah yang menjadi tugasnya. BI pun dinilai terlalu lamban dalam upaya mengerem laju inflasi, yang hingga akhir tahun diperkirakan mencapai 8 persen-jauh lebih tinggi ketimbang tahun lalu yang hanya 6,4 persen. Tudingan ini, menurut sebuah sumber yang hadir dalam rapat itu, membuat para petinggi bank sentral sewot. Apalagi, seperti dituturkan sang sumber, bank sentral kerap merasa tak bisa bergerak bebas menetapkan kebijakannya karena berseberangan dengan visi tim ekonomi yang dimotori Kalla dan Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie. Salah satu contohnya, menyangkut soal peningkatan suku bunga untuk mengerem laju inflasi. Kubu Kalla dan Aburizal kerap meminta agar suku bunga rendah tetap dipertahankan. Ini dimaksudkan untuk membuat kalangan pengusaha tetap bisa bernapas, tidak tercekik tingginya bunga kredit perbankan, sehingga sektor riil bisa bergerak. "Dalam konteks ini, jelas terjadi tarik-menarik kepentingan antara BI dan pemerintah," ujarnya. Tapi, bukankah Bank Indonesia sebuah lembaga independen yang tugas utamanya menjaga nilai rupiah? Deputi Direktur Direktorat Hukum BI, Oey Hoey Tiong, mengakui, seperti yang diamanatkan dalam undang-undang, tugas menjaga stabilitas kurs memang berada di pundak BI. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, posisi bank sentral bersifat independen dan terpisah dari pemerintah. Kondisi ini berbeda dengan aturan sebelumnya, yaitu Undang-Undang No. 13/1968, yang menempatkan BI sebagai pembantu pemerintah dalam menerapkan tiga kebijakan: moneter, fiskal, dan makroekonomi. Namun, ia menegaskan, perangkat bank sentral dalam menjaga kurs rupiah saat ini hanya sebatas lewat instrumen moneter, seperti penetapan suku bunga dan intervensi pasar. Dengan keterbatasan instrumen itu, menurut Oey, pengendalian rupiah tidak bisa semata-mata dibebankan pada BI. "Harus ada kerja sama dengan pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan fiskal dan makroekonomi," ujarnya. Persoalannya, kata seorang sumber Tempo di tim ekonomi, koordinasi antara BI dan pemerintah selama ini tak berjalan mulus. Hubungan kedua lembaga ini punya banyak persoalan dan tidak saling mendukung. Salah satu contohnya, ketika dilakukan pembahasan rencana pembentukan lembaga baru Otoritas Jasa Keuangan yang kurang didukung BI, bank sentral hanya menurunkan tim kelas dua. Sebaliknya, ketika ada rapat pembahasan arsitektur perbankan Indonesia yang digagas BI, giliran Departemen Keuangan yang mengirimkan tim kelas dua. "Dengan pola hubungan seperti ini, bagaimana mungkin tercipta koordinasi yang baik untuk menjaga kurs rupiah?" kata sumber itu mempertanyakan. Berkaca pada kondisi itu, tak aneh jika pernyataan pemerintah pun sering kali berlawanan dengan langkah-langkah BI. Salah satu yang paling disorot adalah pernyataan Aburizal Bakrie saat rupiah mendekati level Rp 10 ribu per dolar, Jumat (19/8) dua pekan silam. Saat itu Ical-sapaan akrab Aburizal-mengatakan BI tak perlu masuk ke pasar uang untuk mendongkrak rupiah. "Nilai tukar tergantung pasar," katanya. Ia pun dengan enteng menyatakan melemahnya kurs karena semata-mata persepsi pasar. Menurut seorang manajer perusahaan sekuritas swasta di Jakarta, pernyataan Aburizal itu menjadi sinyal negatif buat pasar. Pemerintah seolah-olah tak serius menjaga kurs agar tetap di bawah Rp 10 ribu per dolar. "Ini sangat sensitif," katanya. Benar saja. Tiga hari kemudian, Senin pekan lalu, rupiah langsung anjlok menembus level psikologis Rp 10 ribu per dolar. Pasar panik. Dan pergerakan rupiah tak lagi terkendali. Namun, lagi-lagi Aburizal mengeluarkan pernyataan yang justru membuat pasar kian panik. "Level Rp 10 ribu (per dolar) bukan sesuatu yang sakral," katanya. Ia malah menyebut, produk ekspor Indonesia akan menjadi lebih kompetitif di pasar internasional. "Jadi, seolah-olah kemerosotan rupiah bukan persoalan bagi pemerintah," kata manajer itu, jengkel. Membaca gejala tak sedap itu, Presiden Yudhoyono tampaknya memandang perlu segera mengambil langkah cepat untuk memberi sinyal ke pasar bahwa pemerintah serius menangani gejolak rupiah. Kunjungannya ke BI juga seolah ingin menghapus kesan adanya ketidak-kompakan antara pemerintah, selaku pemegang otoritas fiskal dan makroekonomi, dan bank sentral sebagai pemegang otoritas moneter. Kesan itu setidaknya tergambar dari pernyataan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah seusai melakukan pertemuan selama sekitar satu setengah jam dengan Presiden Yudhoyono. Menurut dia, dalam pertemuan itu Presiden menegaskan soal pentingnya harmonisasi dan konsolidasi antara pemerintah dan bank sentral. "Kunjungan Presiden cukup untuk menunjukkan kebersatuan langkah antara otoritas moneter dan pemerintah," katanya. Penegasan serupa disampaikan Yudhoyono kepada pers, sesaat sebelum meninggalkan gedung BI. Solusi yang harus ditempuh, kata dia, harus mencakup tiga faktor: moneter, fiskal, dan makro ekonomi. "Ini tidak bisa dilaksanakan sendiri-sendiri," ujarnya, "Apalagi tanpa koordinasi dan sinkronisasi." Kesempatan itu pun tampaknya digunakan Yudhoyono untuk memberi "pesan" kepada lawan-lawan politiknya agar tidak mempermainkan rupiah untuk menggoyang kepemimpinannya. "Bagi yang barangkali ingin melakukan langkah-langkah yang tidak tepat dan memperburuk situasi, harapan saya janganlah (tindakan itu) dilakukan," katanya mengakhiri pidato singkatnya. Tapi pidato dan kunjungan ke BI saja tak cukup. Pada akhirnya Presiden Yudhoyono memang harus memilih: memperkuat nilai rupiah dengan menyesuaikan harga BBM dalam negeri dengan harga dunia, atau membuat rupiah menjadi sasaran yang kian empuk di mata para spekulan mata uang global. Pilihan itu yang kini sedang ditunggu-tunggu. Metta Dharmasaputra [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help tsunami villages rebuild at GlobalGiving. The real work starts now. http://us.click.yahoo.com/T8WM1C/KbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/