REPUBLIKA Kamis, 08 September 2005
Siege Mentality Oleh : Azyumardi Azra Dalam berbagai diskusi belakangan ini, saya semakin sering kembali mendengar keluhan, bahwa umat Islam yang betul-betul serius dengan Islam jumlahnya sangat sedikit. Bahkan ada yang menyebut, jumlahnya tidak lebih dari 10 persen dari sekitar lebih 87 persen umat Islam dari jumlah total penduduk Indonesia. Pernyataan dan keluhan seperti ini dulu sering kita dengar sejak masa Presiden Soekarno dan bahkan berlanjut sampai masa paroan pertama Presiden Soeharto. Sejauh manakah kebenaran pernyataan itu? Apa yang mendasari pernyataan semacam itu? Jelas sangat sulit memastikan berapa persen sesungguhnya orang Islam yang ''betul-betul serius'' dengan Islam. Kesulitan itu terutama karena adanya kesulitan besar dalam mendefinisikan apa yang sebenarnya dimaksud dengan ''betul-betul serius'', karena parameter-parameter yang digunakan orang per orang dan kelompok ke kelompok lain bisa berbeda satu sama lain. Parameter umum biasanya adalah kepatuhan dan ketaatan memenuhi Rukun Iman dan Rukun Islam. Dengan memercayai dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Rukun Iman dan Rukun Islam --meski mungkin ada kekurangan di sana-sini karena alasan-alasan yang bahkan dibenarkan ajaran Islam sendiri-- maka seorang Muslim telah betul-betul serius dengan Islam. Tetapi, bagi sebagian orang dan kalangan Muslim tertentu, hal itu belum cukup. Bagi mereka, seorang Muslim baru ''betul-betul serius'' dengan Islam kalau ia juga memiliki kemauan dan usaha, misalnya, untuk menegakkan ''negara Islam'', ''dawlah Islamiyah'', dan semacamnya. Atau, ia baru betul-betul serius dengan Islam jika telah melakukan ''taghayyur'' (perubahan) terhadap berbagai bentuk kemaksiatan dalam masyarakat dengan menggunakan ''kekuatan'' (yad), bukan sekadar ucapan (lisan). Bisa dipastikan, diskusi dan perdebatan panjang bisa terjadi tentang parameter-parameter terakhir ini. Dunia pemikiran Islam, khususnya, kalam (teologi) sejak masa pasca-Nabi --masih pada periode al-Khulafa al-Rasyidun-- sangat kaya dengan perdebatan tentang hal tersebut. Seperti dilukiskan panjang lebar dalam Farhad Daftari (ed.), Intellectual Tradition in Islam (2001), hasil akhirnya, tidak ada kesepakatan di antara para mutakallimun (ahli kalam/teologi); yang ada hanyalah semakin menguatnya friksi, perpecahan, konflik, dan bahkan pertumpahan darah di antara sesama Muslim. Pelajaran yang bisa diambil dari perjalanan historis yang pahit itu adalah munculnya berbagai parameter yang cenderung semakin ketat. Sebaliknya, parameter umum cenderung diabaikan. Yang terjadi dalam proses ini adalah semakin menguatnya sikap eksklusif, mengeluarkan orang-orang Muslim yang tidak sesuai dengan parameter yang ketat tadi dengan menyatakan bahwa mereka bukanlah orang-orang yang ''betul-betul serius'' dengan Islam. Bahkan, exclusion lebih jauh adalah bahwa mereka orang-orang murtad, tidak lagi termasuk ke dalam barisan orang-orang Islam. Exclusion menyebabkan terjadinya kontraksi, penciutan tentang siapa mereka yang betul-betul serius dengan Islam; bahkan tentang siapa yang betul-betul Islam atau tidak. Terjadilah kontraksi tentang persentase dan jumlah kaum Muslimin. Persentase dan jumlah kaum Muslimin dipandang terus menyusut dan menyusut. Proses-proses seperti inilah yang pada gilirannya menimbulkan sindrom psikologis yang dalam konteks umat Islam Indonesia pernah disebut sosiolog Belanda, WF Wartheim, sebagai ''majority with minority complex''. Dalam sindrom dan kompleks psikologis seperti ini, kaum Muslimin Indonesia yang mayoritas, selalu dihinggapi perasaan sebagai minoritas. Lebih jauh, mereka merasa sebagai tamu di rumahnya sendiri. Sindrom ''mayoritas yang merasa minoritas'' kelihatannya masih bertahan di kalangan sebagian Muslimin Indonesia. Bahkan, di tengah berbagai perkembangan global yang tidak selalu menguntungkan, sindrom tersebut beramalgamasi dengan ''siege mentality'', mentalitas terkepung; merasa bahwa berbagai lingkungan luar dan bahkan di dalam negeri sendiri telah mengepung mereka. Dan karena itu, mereka memandang perlunya langkah-langkah drastis dan radikal untuk mengatasinya, yang bukan tidak jarang mengesankan adanya sikap panik. Sindrom ''majority with minority complex'' dan ''siege mentality'' jelas dalam banyak segi tidak menguntungkan, baik bagi umat Islam sendiri maupun bagi kehidupan bangsa secara keseluruhan. Sindrom dan mentalitas itu hanya menghasilkan penciutan-penciutan demografis, sosiologis, kultural, politis, ekonomis, dan sebagainya. Ujungnya adalah perasaan semakin terkucil, teralineasi, yang bukan tak mungkin berakhir dengan tindakan-tindakan kontraproduktif bagi umat Islam dan bangsa. Karena itulah, kedua macam sindrom tersebut harus dihilangkan dalam psikologi umat Muslimin. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital. http://us.click.yahoo.com/ons1pC/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/