Masih cerpen! ;)
Solilokui 

Oleh ROHYATI SOFJAN 


Siapakah kamu? Dulu aku tak pernah berpikir akan mengenalmu, apalagi tahu ada 
nama sepertimu. Aku terlalu miskin untuk berimajinasi. Namun takdir, 
sebagaimana yang kita tahu, selalu punya kehendak tersendiri; kala kumasuki 
dunia yang telah lama kamu masuki pula. Lantas aku tertarik pada pemikiranmu 
yang terangkum dalam puisi, esai, sampai cerpen di koran. Terutama polemikmu 
dengan A.M. Sajiwa, yang notabene karibmu sendiri, kala kamu “membantai” 
tulisannya di koran lokal kota kita. (Sebab bulan berikutnya, gantian aku 
“membantai” esai terbarunya di media yang sama.)

Kali itu kutemui takdirku dengan “bergerak”; aku ingin mengenalmu secara 
langsung. Maka kukirim surat.

Ajaib, kamu terima perkenalanku. Lalu kita berbagi cerita, atau juga merajut 
nasib yang entah akan bagaimana. Kemudian kamu ambil keputusan. Setelah 
beberapa bulan korespondensi kita, berkaitan dengan kenyataan; takdirku yang 
tak kamu tahu sebelumnya, atau sesuatu yang kamu lebih tahu apa alasannya. 

Dan kuterima meski mengecewakan. Aku benci perpisahan apalagi pertengkaran. 
Namun apakah di antara kita telah terjalin perkawanan? Kusangsikan itu. Aku 
terbenam dalam syak yang tidak-tidak. Sebagian orang menyebutnya suudzan, 
sebagian lagi menganggap analisis separuh rasional-separuh khayalan yang masih 
wajar. 

Namun apakah semua itu masih dalam batas kewajaran?

Dua tahun aku memendam bara akan tanya yang berlompatan dari kepala. Lantas 
pada suatu Juli di mana matahari menampik awan, aku jadi makhluk jenius (baca: 
jenis orang usil) yang tergoda memanfaatkan kecanggihan teknologi informatika 
untuk hal iseng namun serius. Kukirim satu surel panjang tentang sastra pada 
beberapa kepala. Orang-orang yang tak asing lagi dalam dunia menulis kita. 
Termasuk Iqbal yang kukenal di situs Cybersastra. Berikut karibmu yang tak 
pernah kukenal sosoknya secara langsung namun kutahu alamat surelnya dari 
rubrik sajaknya yang dimuat suatu koran.

Begitulah, kudapati respons tak terduga. Plasa Com yang semula kugunakan 
sebagai pengetes apakah naskah dalam bentuk attachment yang kukirim ke berbagai 
media massa -- lokal dan nasional -- dan melulu cuma berisi surel dariku saja, 
diberondongi surel balasan dari berbagai “korban”.

Abda, Abda (dengan agenda acara di Pusat Kebudayaan Prancis/CCF de Bandung), 
Lasya (kirim naskah puisi yang insya Allah akan diterbitkan), Matdon (tanggapan 
tentang antologi puisinya yang kukritik), Kang Erwan (tanggapan untuk 
pertanyaanku tentang pernyataan Moh. Syafari Firdaus dan Bambang Q. Anees yang 
menganggap fakultas sastra sebaiknya dibubarkan saja karena dianggap tak 
memberi kontribusi yang berarti, dan Kang Erwan yang ikut jadi narasumber di 
acara diskusi Sastra dan Fakultas Sastra, sempat menyanggah argumen mereka 
dengan argumennya yang telak), kamu, kamu (kirim copy naskah untuk On/Off), 
Matdon (menantangku untuk membahas antologi puisinya secara terbuka di koran), 
Lasya (ucapan selamat atas pemuatan puisiku barusan dan kirim attach “pidato” 4 
halaman tentang “Puisi di kancah Bunyi”), kecuali Iqbal (yang kemudian menjawab 
di Yahoo!-ku) dan someone di BCC. 

Kubuka itu pada 3 Agustus Minggu pagi, ketika aku cuti sakit setelah sebelumnya 
ambruk karena sibuk.

Begitulah. Kuterima surelmu sebagai penanda “perang dingin” di antara kita 
harus berakhir. Meski aku bertanya mengapa dan apakah kamu telah melakukan 
sesuatu yang kamu yakini atau sebaliknya. Sungguh aku tak ingin ada 
keterpaksaan.

Kujawab saja surelmu dalam surat panjang konvensional. Dan aku berniat 
menyerahkannya secara langsung padamu atau kutitipkan saja pada kawan yang 
mengenalmu; di auditorium CCF, Kamis malam, 18 September 2003. Ketika aku ingin 
menonton pentas teater Henrik Ibsen, Musuh Masyarakat, yang dimainkan Actors 
Unlimited Bandung.

Namun aku datang terlambat. Teaternya telah berpentas lebih dari seperempat 
jam. Di luar auditorium pun kamu tak terlihat. Segerombolan pemuda, barangkali 
seniman juga, yang memadati meja di Terminus Cafe tak ada yang kukenal, tidak 
juga kawanmu yang berambut gimbal.

Kutitip surat pada kawan Abda yang entah siapa namanya. Lalu aku pulang. Ah, 
tidak, aku mampir dulu di Gramedia Merdeka, beli buku kumcer Pembisik dari 
Republika -- setelah tadinya beli majalah Horison juga. Lantas udara malam 
menyergapku dalam sepi tak bertepi. Seperti malam-malam lainnya kala aku jalan 
sendiri.

Nmun siapakah kamu. Ketika aku menjelma “psikopat”, diam-diam mengagumi aksimu 
baca puisi (meski aku tak mengerti karena segala sesuatu di sekitarku adalah 
sunyi), di dalam auiditorium CCF de Bandung yang AC-nya selalu menggigilkan. 
Ketika kamu, berikut Poros Sastra Muda Bandung, bikin hajatan sastra, 7 Agustus 
2002.

Barangkali aku datang sebagai tamu tak diundang yang sebenarnya takut ketahuan, 
atau lebih tepatnya takut “ditendang”. Akan tetapi, aku sangat menikmatinya. 
Begitu pun di acara “Malam Tiga Penyair Bandung”; Moh. Sunjaya, Ahda Imran, dan 
Cecep Syamsul Hari (CSH]) baca puisi. Aku duduk di samping Hadi Fathurokhman 
anak Jendela Seni di kursi baris kanan, kamu dengan kawan-kawanmu di kursi 
baris kiri depan. Dan mataku disodori pemandangan rancak yang menggoda: Kang 
Yoyon, Ahda, dan CSH; layar slide yang memberi kesan dramatis; dan kamu 
sendiri. Semuanya bergerak sebagai puisi.

Katakan aku gila. Aku tak mengira akan bisa jadi pengamat melebihi pengamat 
sepak bola dengan analisisnya; aku asyik berkutat dengan analisisku tentang 
kamu. Sampai kamu mengikuti kawan-kawanmu keluar ruangan, saat CSH masih baca 
puisi. Aku kecewa dan sensasi yang tadi kurasakan mendadak tawar. CSH tampak 
tak konsentrasi karena banyak audiens yang permisi, sebagaimana aku tak 
konsentrasi karena kamu sudah permisi.

Barangkali perbedaan kami dalam hal kehilangan untuk dua alasan: CSH dengan 
pemirsanya, aku dengan kamu (baca: aku pemirsamu). Maka begitu CSH usai baca 
puisi, aku merasa acaraku sudah usai pula. Kutinggalkan auditorium, ditemani 
Hadi yang berjalan di depan. Dan senyum lega yang semula mengembang begitu 
melewati pintu perbatasan peradaban benderang lampu mendadak hilang begitu 
mataku menyapu sosokmu yang duduk sendirian di bangku panjang.

Sempat kulihat kawanmu yang berambut gimbal bangkit, dan wajahnya seperti 
menahan tawa atau hendak melepas tawa. Meninggalkanmu sendiri yang sama 
tercengang melihat sosokku. Bagaimana aku harus bereaksi secara wajar pada 
keterkejutan. Kupikir kamu sudah pulang. Namun tatapan kita tak lebih dari 
keasingan. Atau mencoba meyakini bagaimana wujud rival dalam pertemuan tak 
terduga. Tanpa tegur sapa.

Namun bukankah hidup selalu penuh ketakterdugaan. Begitu pun di malam lain 
masih dalam lokasi yang sama, kala acara Malam Mengenang Wing Kardjo yang 
kuikuti cuma untuk memuaskan rasa ingin tahu selain melepas bosan akan 
rutinitas kerja harian. Kehadiranmu yang sekonyong-konyong masih juga 
mengejutkan. Apalagi kamu duduk di kursi baris belakang, satu baris dari 
kursiku, dekat gang sebelah kiri (aku dekat gang sebelah kanan), dan bisa 
mengamati setiap gerak-gerikku. Barangkali kita harus seri.

Namun kita tetap asing atau sengaja mengasingkan satu sama lain.

Waktu pun bergulir. Berapa kali harus kuhitung pertemuan kita di setiap acara 
seni? Malam Sih Award, 15 Desember 2002; ketika kamu terkejut dengan penampilan 
baruku yang berjilbab. Ya, aku hijrah. Seorang kawan perempuan diam-diam 
memberi kesadaran untuk menggapai hidayah. Kemudian Malam Sastra Bangkit dan 
Bergerak, kala kamu jadi moderator acara sesi II, Sastra dan Fakultas Sastra, 
dan aku terpaksa jadi pemirsa yang tak mengerti -- padahal aku sangat ingin 
bertanya juga kala kamu mempersilakan hadirin untuk ikut ambil bagian dalam 
diskusi terbuka itu --, karena telingaku tak berfungsi. Lalu acara launching 
antologi puisi Bunga yang Berserak, Komunitas Sastra Dewi Sartika di Griya Seni 
Popo Iskandar, 12 September kemarin. Ah, hanya itu. Namun selalu saja lakon 
perang dingin memaksa godaan untuk menyapa menguap seketika.

Kini, ingin kukatakan terima kasih pada Lasya atas perannya (yang menyerobot 
lamaran Kang Erwan untuk jadi penengah di antara kita), meski aku tak mengira 
pada akhirnya kamu akan demikian. Mengirim surel dan kata-kata “penghiburan”. 
Kamu telah membuatku kehilangan sesuatu. Peran rival dalam situasi perang 
dingin yang dulu pernah kunikmati.***

Gudang, ketika hujan 17 November menghunjam tahun 2003  

 

 
Biodata Penulis 


Rohyati Sofjan lahir di Bandung, 3 November 1975. Anggota Mnemonic Gank Menuliz 
yang bermarkas di Wabule (Warung Buku Lesehan), pembelajar gramatika bahasa 
Indonesia di milis guyubbahasa Forum Bahasa Media Massa (FBMM). Mengambil mata 
kuliah di universitas kehidupan berupa aku berpikir maka aku ada, aku bertanya 
maka aku mengada, dan aku menulis maka aku akan merasakan keberadaan orang lain 
pula dalam hakikat ada dan ketiadaan. Sebagian proses kreatifnya dalam 
memandang hal-ihwal kehidupan tersebar di Pikiran Rakyat, Galamedia, Jendela 
Newsletter, antologi bersama Bandung dalam Puisi versi Yayasan Jendela Seni 
Bandung (YJSB), Annida, Republika, www.cybersastra.net. Syir’ah, Jawa Pos, BEN! 
WAE, Dian Sastro for President! End of Trilogy, www.angsoduo.net, dan beberapa 
milis lain. 

Sejak 3 Mei memutuskan berhenti dari toko elektro tempatnya mencari sumber 
penghasilan tetap (sehingga bisa membaca dan menulis) selama lebih dari 3 
tahun; agar bisa memulai babak baru untuk total menulis setelah setiap hari 
lelah dihantam urusan pekerjaan yang 8 jam -- lalu 12 jam lebih -- minus libur. 
Alamat korespondensi: [EMAIL PROTECTED]  



                
---------------------------------
Discover Yahoo!
 Use Yahoo! to plan a weekend, have fun online & more. Check it out!

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke