Suamiku
Oleh: FY

Aku tersentak bangun. Dengan tergesa mataku mencari-cari letak jam. Duh, 15
menit lagi imsak! Aku pasti ketiduran setelah tadi terkantuk-kantuk
mengganti popok bayiku dan menyusuinya. Anakku masih tertidur tenang di
sebelahku, dan suamiku ... Lho, kemana dia?

Segera aku bergegas ke dapur, dan astaga! Suamiku sedang merapikan meja dan
menuangkan masakan yang sudah dipanaskan. Melihat aku muncul dengan rupa
kusut masai, dia tersenyum.

"Ketiduran, Ma? Tenang saja, sudah beres semua. Ayo, makan buruan, entar
lagi imsak lho," Suamiku duduk dan mengambilkan piring untukku. Aku
menyendokkan nasi untuknya dan juga untukku.

"Tumben Papa bisa bangun pagi-pagi. Biasanya bangun sholat shubuh juga harus
Mama usap mukanya dengan handuk dingin dulu."

"Hehehe, iya sih. Ini juga karena kamu bersikeras mau puasa, padahal kamu
'kan lagi menyusui ..."

"Lho, aku 'kan sudah konsultasi dengan dokter," potongku cepat, "Dan dokter
bilang ASI-ku cukup banyak dan aku tetap bisa puasa sambil menyusui asal..."

"Asal makanmu bergizi, minum cairan yang banyak dan cukup istirahat,"
Suamiku meneguk air putihnya, "Nah, bagaimana kamu bisa cukup istirahat
kalau tiap malam kamu bangun untuk mengganti popok si kecil dan menyusuinya
sampai terlelap dan setelah itu masih harus menyiapkan makan sahur juga?
Karena itu aku yang akan bangun tiap sahur untuk menyiapkan makanan, kamu
nanti aku bangunkan kalau semuanya siap santap. Jangan khawatir,
begini-begini aku juga bisa masak lho sebab dulu ibuku mengharuskan aku
untuk ikut membantunya di dapur. Hahaha, ternyata ketrampilan itu sekarang
berguna juga."

Suamiku berdiri dari kursinya, berjalan ke dapur dan kembali dengan dua
gelas jus buah. Satu gelas disodorkan ke hadapanku, "Aku tidak ingin anakku
kekurangan gizi karena Mamanya sibuk berpuasa. Ayo neng, cepat diminum.
Habiskan dalam satu napas yah! Susu yang tadi sudah kamu habiskan juga,
'kan?"

Sungguh mataku berkaca-kaca melihat suamiku yang kini juga bergegas
merapikan meja dan membawa piring kotor ke bak cuci, "Aku cuci nanti kalau
matahari sudah kelihatan saja yah. Janji deh! Sekarang mau wudhu dulu
sebentar lagi shubuh."

Aku tak menyangka sama sekali suamiku bersedia melakukan semua ini demi
meringankan bebanku yang ingin tetap melakukan puasa sementara bayiku yang
baru 5 bulan masih membutuhkan ASI. Puasa tahun lalu, aku masih tinggal
dengan orangtuaku karena suamiku harus dinas keluar negeri dalam waktu lama
sementara aku dalam keadaan hamil. Dan seperti biasanya setiap sahur, hanya
ibuku yang bangun dan menyiapkan makan sahur sementara ayah dan kakakku yang
laki-laki masih terlelap.

Begitu juga saat berbuka puasa, maka ibu seorang diri pula yang menyiapkan
segala-galanya. Kami tidak punya pembantu, dan bantuan yang diharapkan ibu
hanyalah dariku. Saat aku sedang hamil, maka ibu pun membebaskan aku dari
keharusan membantu menyiapkan makan sahur karena aku menjalani kehamilan
yang cukup berat dimana mual dan muntah terus mengiringi sampai akhir
melahirkan sehingga aku seringkali hanya bisa tergeletak di tempat tidur.

Melihatku masih termangu dalam dudukku, suamiku menarik tanganku, "Ayo
buruan, aku mau sholat shubuh jamaah sama kamu trus tidur lagi ... "

Lalu dia menatapku, "Tidak usah terharu segala, Ma. Aku mencintai dan
menyayangi kalian berdua, istri dan anakku. Aku hanya berusaha membantu apa
yang bisa kulakukan agar kalian berdua bisa mendapat apa yang seharusnya
memang menjadi hak kalian. Sudahlah, ayo sholat sekarang. Kamu juga masih
harus menyiapkan bahan kuliahmu nanti."

Aku sangat bersyukur karena suamiku sangat pengertian dan mau berbagi tugas
rumah tangga dengan istrinya. Suamiku juga tidak pernah menganggap bahwa
tugas rumah tangga semata-mata adalah tugas istri sehingga ia tak mau turut
serta ambil bagian. Suamiku juga sangat menikmati peran barunya sebagai
ayah, sehingga ia dengan senang hati dan suka cita mau memandikan bayi,
mengganti popoknya, menggendong dan menimang anaknya sampai tertidur, dan
bahkan saat puasa begini ia dengan sukarela bangun di kala sahur untuk
menyiapkan makan karena ia tak ingin menyusahkan istrinya.

Hal ini bisa terjadi sebab dari kecil ia sudah dibiasakan oleh orangtuanya
untuk turut serta dalam pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mengasuh
adiknya yang bayi sehingga ia sama sekali tidak merasa canggung dan
terbebani. Berbeda dengan ayah dan kakak laki-lakiku yang di rumah selalu
diperlakukan istimewa dan berhak atas pelayanan-pelayanan, sehingga mereka
seringkali tak mau tahu dengan urusan rumah tangga dan menganggap itu
menjadi tanggung jawab ibu dan aku seratus persen.

Ini menjadi cerminan buatku untuk mendidik putraku yang sekarang masih bayi
menjadi seorang laki-laki yang seutuhnya. Seorang laki-laki yang tidak
semata menonjolkan sisi maskulinnya tetapi juga mampu mengolah sisi
femininnya sehingga pada akhirnya mampu bertenggang rasa dan menjadi manusia
yang penuh perhatian dan kasih sayang.

Penulis adalah aktivis Yayasan Dunia Ibu


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke