http://www.suarapembaruan.com/News/2005/04/30/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY Sumbangan Perguruan Tinggi Membangkitkan Humanisme Kasdin Sihotang SETELAH keran kebebasan dibuka di negeri ini, ada suatu fenomena yang menggembirakan dalam pendidikan kita, khususnya di dunia pendidikan tinggi (PT). Yang dimaksud penulis adalah semakin bertambahnya jumlah perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi swasta. Tidak seperti puluhan tahun lalu, akhir-akhir ini di beberapa kota besar, perguruan tinggi semakin banyak berdiri. Kalau dulu perguruan tinggi hanya ada di kota besar tertentu seperti di tingkat provinsi dalam jumlah terbatas, sekarang sudah ada di tingkat kabupaten atau kotamadya dengan jumlah besar. Aneka Ekses Ada dua hal kontradiktif yang bisa dicermati terkait dengan fenomena tersebut. Hal pertama adalah sisi negatifnya. Dalam hal ini tiga butir yang dapat dipaparkan sebagai ekses. Pertama menyangkut semakin besarnya peluang bagi praktik persaingan tidak sehat. Tidak bisa dimungkiri bahwa kehadiran lembaga pendidikan tinggi yang baru merupakan ancaman bagi perguruan tinggi yang sudah lama berdiri. Kondisi seperti ini tentu membuka peluang bagi munculnya persaingan yang tidak fair di kalangan pengelola PT. Kedua pengawasan mutu yang semakin tidak terjamin dari pihak yang berwewenang (baca: departemen pendidikan nasional) terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Memang setiap periode tertentu, Badan Akreditasi Nasional (BAN) mengadakan pengawasan mutu lewat akreditasi. Akan tetapi dapat dipertanyakan, sejauh mana objektivitas dan efektivitas pengawasan seperti ini dalam menjamin mutu lembaga bersangkutan. Masyarakat sulit meyakini bahwa sistem kontrol seperti ini sungguh-sungguh ampuh menjaga kualitas perguruan tinggi di satu tempat. Ketiga, kehadiran perguruan tinggi swasta yang marak itu dapat menjadi ladang korupsi yang baru. Bukan rahasia lagi bahwa setiap kali petugas BAN datang meninjau satu universitas atau sekolah tinggi, pimpinan perguruan tinggi harus menyiapkan "amplop". Hal yang sama juga sering berlaku dalam soal pengurusan akreditasi. Fungsi Humanis Selain memandang sisi negatifnya, kita juga perlu mengakui nilai-nilai positif keberadaan sejumlah PT yang perlu dikembangkan sambil meminimalisasi sisi negatif untuk mengubah kondisi bangsa ini. Terkait dengan itu, ada dua hal mendasar yang bisa diambil sebagai nilai positif. Pertama, dampak terhadap perwujudan keadilan sosial. Berlimpahnya jumlah PT itu tidak bisa dimungkiri membuka akses yang semakin luas bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Artinya, pintu untuk menuntut ilmu pada tingkat PT semakin terbuka lebar bagi masyarakat. Dalam kondisi ini, lalu tidak lagi berlaku anggapan bahwa orang yang bisa kuliah (baca: mengenyam pendidikan tinggi) hanyalah kelompok masyarakat tertentu, yakni mereka yang ekonominya berkecukupan. Sekarang siapa saja yang memiliki kemauan dan modal yang tidak terlalu banyak sudah dapat mengenyam pendidikan bertingkat tinggi terlepas dari kualitasnya seperti apa. Jadi, duduk di bangku kuliah bukan lagi sebuah privilese sosial dalam arti milik kelas sosial tertentu, melainkan milik umum. Dari sudut pandang keadilan komutatif, situasi ini tentu merupakan sesuatu yang menguntungkan, karena membuka kesempatan yang luas bagi masyarakat mendapatkan pendidikan. Karena itu sangat tidak masuk akal dan merupakan tindakan yang tidak bijaksana serta dehumanistik, selain bersifat feodalistik, kalau memang benar ada upaya pemerintah untuk memberlakukan dua jalur pendidikan sebagaimana diisukan belakangan ini. Jelas-jelas kebijakan seperti itu sangat bertentangan dengan keadilan sosial dan nilai equality dari manusia. Kedua, peran sosial lembaga pendidikan tinggi bagi kebangkitan humanisme dalam masyarakat. Jumlah lembaga pendidikan tinggi tersebut menurut hemat penulis merupakan modal besar dan wadah yang sangat strategis untuk upaya ini. Dan inilah sisi penting yang perlu dan penting dipikirkan bersama dalam pembangunan bangsa ini. Dua alasan penulis mengatakan hal di atas. Alasan pertama, karena humanisme memang sesuai dengan hakikat pendidikan itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Plato dalam Republic, kualitas masyarakat tergantung pada kualitas pendidikan yang diberlakukan pada anak-anak selama pendidikan. Artinya, sembarangan metode dan materi tidak boleh diajarkan kepada anak didik. Harus ada penyaringan terhadap semua ini. Karena itulah Plato merancang tema-tema tertentu yang harus diajarkan pada anak-anak menurut tingkatan umur. Bagi filsuf Yunani ini nilai-nilai utama yang perlu dikembangkan adalah kebajikan (virtue) dan kesadaran akan nilai individual dan sosial serta nilai-nilai etis. Menurut hemat penulis, apa yang digagas Plato masih sangat relevan untuk diperhatikan. Kalau diterjemahkan ide ini secara bebas, Plato sebenarnya ingin menunjukkan keyakinannya bahwa untuk membentuk masyarakat yang berbobot, penyelenggara pendidikan harus memikirkan bobot, bukan uang semata. Bobot itu adalah nilai-nilai humanisme. Ini juga berlaku untuk jenjang PT. Kalau semua pengelola pendidikan tinggi memberikan perhatian pada nilai-nilai dimaksudkan, banyak generasi berbobot, dalam arti mengakui dan memahami serta mempraktikkan nilai-nilai kemanusiaan, akan muncul di masyarakat. Orang-orang seperti inilah yang tepat menjadi pemimpin. Alasan kedua, seiring dengan hal di atas, kondisi masyarakat kita memang sedang mengalami krisis kemanusiaan. Orang-orang tidak mau peduli lagi terhadap kehidupan orang lain. Bagi masyarakat kita uang lebih berharga daripada nyawa manusia. Orang tidak lagi mau memperhatikan bagaimana ekses tindakannya terhadap eksistensi yang lain. Yang ada adalah "semau gue". Rasa solidaritas sirna. Sikap tenggang rasa semakin menipis bahkan menghilang. Tidak ada lagi tata krama dan nilai-nilai kesopanan. Yang diupayakan adalah kiat-kiat bagaimana menjadi kaya secara mendadak, lulus dengan cepat tanpa usaha. Lebih menyedihkan, hal-hal seperti ini dipertontonkan oleh para pemimpin di bidang politik maupun keagamaan. Pendidikan tinggi tentunya bukan tidak memiliki andil bagi pembentukan penyakit sosial seperti ini sebagaimana diakui oleh Plato di atas. Karena memang kita tidak pernah memikirkan sesuatu yang mendasar tentang pendidikan kita. Para pengelola lembaga pendidikan tinggi dan para pejabat terkait, selain tidak pernah menginternalisasikan filosofi pendidikan, hanya berorientasi pada bisnis. Pendidikan lebih dijadikan sebagai pasar dan industri yang orientasinya pada uang dan kuantitas produk daripada sebuah proses pembentukan manusia berkualitas. Kalau mau mewujudkan manusia Indonesia baru yang didengung-dengungkan dalam era reformasi, menurut hemat penulis kondisi buruk dewasa ini sudah harus ditinggalkan. Kita perlu menempatkan PT sebagai wadah bagi kebangkitan nilai-nilai humanisme. Dengan kata lain PT harus mampu menyumbangkan nilai besar bagi kualitas masyarakat. Sumbangan itu adalah dengan membangkitkan humanisme di kalangan mahasiswa dalam proses belajar. Tiga Instrumen Pertanyaan lebih lanjut, instrumen apa yang bisa menumbuhkan nilai-nilai humanisme itu? Sekurang-kurangnya tiga mata kuliah cukup relevan dijadikan sebagai instrumen, selain seni dan sastra. Pertama, pengantar filsafat. Melalui pengantar filsafat, cara-cara berpikir yang plural, peserta didik akan digugat. Di sini anak-anak didik diajar berpikir secara holistik dan demokratis dalam mengkaji persoalan-persoalan kehidupan secara kritis. Di sini juga wawasan anak-anak mengenai sejarah kehidupan manusia dan nilai-nilai yang melekat di dalamnya diperluas. Kedua, logika. Lewat kuliah ini anak-anak diajarkan bagaimana berpikir secara runtut, sistematis dan logis serta tepat. Melalui proposisi-proposisi mereka dapat memilah-milah secara jeli masalah-masalah yang mereka hadapi serta dapat pula mengambil keputusan atas dasar rasionalitas. Intinya, anak-anak akan diajar cara bernalar yang tepat sehingga kalimat-kalimat yang diungkapkan tidak ngawur. Ketiga, etika sosial. Dalam etika sosial yang ingin ditumbuhkembangkan adalah kesadaran akan nilai-nilai baik dan buruknya suatu perbuatan serta persoalan-persoalan etis yang muncul di dalam masyarakat, termasuk bagaimana mengambil keputusan etis dalam kondisi sulit. Unika Atma Jaya dalam kurun waktu 1960-2002 nampaknya menyadari betul hal itu. Karena itu sejak berdiriya, para pendiri menempatkan tiga hal di atas, yakni pengantar filsafat, logika dan etika (Etika Umum dan Etika Terapan) sebagai kuliah wajib universitas bagi seluruh mahasiswa Atma Jaya, kendati tiga tahun terakhir dua mata kuliah pertama dihapuskan dari beberapa fakultas demi mengikuti tuntutan kurikulum nasional. * Penulis adalah dosen Etika Bisnis, Filsafat Manusia, Filsafat Ekonomi dan Kepala BKAK Unika Atma Jaya, Jakarta -------------------------------------------------------------------------------- Last modified: 30/4/05 [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Ever feel sad or cry for no reason at all? Depression. Narrated by Kate Hudson. http://us.click.yahoo.com/LLQ_sC/esnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/