Syarat Menjadi Ahli Tafsir  Minggu, 13 Jan 08 19:29 WIB
    Kirim teman
   
  Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh
   
  Begini ustadz, saya pernah mendengar potongan kata Asbabun Nuzul. Apakah itu 
termasuk ke dalam syarat-syarat untuk menjadi ahli tafsir? Jika benar, syarat 
lainnya apa? Tolong dijelaskan juga ya ustadz!
  Dj
  Jawaban  Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
   
  Asbabunnuzul adalah sebuah ilmu yang menerangkan tentang latar belakang 
turunnya suatu ayat. Atau bisa juga keterangan yang menjelaskan tentang keadaan 
atau kejadian pada saat suatu ayat diturunkan, meski tidak ada kaitan langsung 
dengan turunnya ayat. Tetapi ada konsideran dan benang merah antara keduanya.
   
  Seringkali peristiwa yang terkait dengan turunnya suatu ayat bukan hanya 
satu, bisa saja ada beberapa peristiwa sekaligus yang menyertai turunnya suatu 
ayat. Atau bisa juga ada ayat-ayat tertentu yang turun beberapa kali, dengan 
motivasi kejadian yang berbeda.
   
  Tentu saja ilmu asbabun-nuzul ini wajib dan mutlak dimiliki oleh seorang 
mufassir. Dan memang ilmu ini merupakan salah satu bagian dari sekian banyak 
syarat yang harus dimiliki oleh mufassir.
   
  Kami kutipkan dari salah satu rujukan yang ada, tentang beberapa syarat yang 
harus dimiliki oleh seorang mufassir, antara lain:
   
  1. Sehat Aqidah
   
  Seorang yang beraqidah menyimpang dari aqidah yang benar tentu tidak 
dibenarkan untuk menjadi mufassir. Sebab ujung-ujungnya dia akan memperkosa 
ayat-ayat Al-Quran demi kepentingan penyelewengan aqidahnya.
  Maka kitab-kitab yang diklaim sebagai tafsir sedangkan penulisnya dikenal 
sebagai orang yang menyimpang dari aqidah ahlusunnah wal jamaah, tidak diakui 
sebagai kitab tafsir.
   
  2. Terbebas dari Hawa Nafsu
   
  Seorang mufassir diharamkan menggunakan hawa nafsu dan kepentingan pribadi, 
kelompok dan jamaah ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Juga tidak terdorong 
oleh ikatan nafsu, dendam, cemburu, trauma dan perasaan-perasaan yang 
membuatnya menjadi tidak objektif.
   
  Dia harus betul-betul meninggalkan subjektifitas pribadi dan golongan serta 
memastikan objektifitas, profesionalisme dan kaidah yang baku dalam menafsirkan.
   
  3. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran
   
  Karena Al-Quran turun dari satu sumber, maka tiap ayat menjadi penjelas dari 
ayat lainnya, dan tidak saling bertentangan. Sebelum mencari penjelasan dari 
keterangan lain, maka yang pertama kali harus dirujuk dalam menafsirkan 
Al-Quran adalah ayat Al-Quran sendiri.
   
  Seorang mufassir tidak boleh sembarangan membuat penjelasan apa pun dari ayat 
yang ditafsirkannya, kecuali setelah melakukan pengecekan kepada ayat lainnya.
   
  Hal itu berarti juga bahwa seorang mufassir harus membaca, mengerti dan 
meneliti terlebih dahulu seluruh ayat Al-Quran secara lengkap, baru kemudian 
boleh berkomentar atas suatu ayat. Sebab boleh jadi penjelasan atas suatu ayat 
sudah terdapat di ayat lain, tetapi dia belum membacanya.
   
  4. Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah
   
  Berikutnya dia juga harus membaca semua hadits nabi secara lengkap, dengan 
memilah dan memilih hanya pada hadits yang maqbul saja. Tidak perlu menggunakan 
hadits yang mardud seperti hadits palsu dan sejenisnya.
  Tentang kekuatan dan kedudukan hadits nabi, pada hakikatnya berasal dari 
Allah juga. Jadi boleh dibilang bahwa hadits nabi sebenarnya merupakan wahyu 
yang turun dari langit. Sehingga kebenarannya juga mutlak dan qath'i 
sebagaimana ayat Al-Quran juga.
   
  5. Merujuk kepada Perkataan Shahabat
   
  Para shahabat nabi adalah orang yang meyaksikan langsung bagaimana tiap ayat 
turun ke bumi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru menjadi objek 
sasaran diturunkannnya ayat Al-Quran.
   
  Maka boleh dibilang bahwa orang yang paling mengerti dan tahu tentang suatu 
ayat yang turun setelah Rasulullah SAW adalah para shahabat nabi SAW.
   
  Maka tidak ada kamusnya bagi mufassir untuk meninggalkan komentar, perkataan, 
penjelasan dan penafsiran dari para shahabat Nabi SAW atas suatu ayat. Mufassir 
yang benar adalah yang tidak lepas rujukannya dari para shahabat Nabi SAW.
   
  6. Merujuk kepada Perkataan Tabi'in
   
  Para tabi'in adalah orang yang pernah bertemu dengan para shahabat Nabi SAW 
dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim pula. Mereka adalah 
generasi langsung yang telah bertemu dengan generasi para shahabat.
   
  Maka rujukan berikutnya buat para mufassir atas rahasia dan pengertian tiap 
ayat di Al-Quran adalah para tabi'in.
   
  7. Menguasai Bahasa Arab, Ilmu dan Cabang-cabangnya
   
  Karena Al-Quran diturunkan di negeri Arab dan merupakan dialog kepada orang 
Arab, maka bahasanya adalah bahasa Arab. Walaupun isi dan esensinya tidak 
terbatas hanya untuk orang Arab tetapi untuk seluruh manusia.
   
  Namun kedudukan Arab sebagai transformator dan komunikator antara Allah dan 
manusia, yaitu Al-Quran menjadi mutlak dan absolut.Kearaban bukan hanya 
terbatas dari segi bahasa, tetapi juga semua elemen yang terkait dengan sebuah 
bahasa. Misalnya budaya, adat, 'urf, kebiasaan, logika, gaya, etika dan 
karakter.
   
  Seorang mufassir bukan hanya wajib mengerti bahasa Arab, tetapi harus paham 
dan mengerti betul budaya Arab, idiom, pola pikir dan logika yang diberkembang 
di negeri Arab. Karena Al-Quran turun di tengah kebudayaan mereka. Pesan-pesan 
di dalam Al-Quran tidak akan bisa dipahami kecuali oleh bangsa Arab.
   
  Tidak ada cerita seorang mufassir buta bahasa dan budaya Arab. Sebab bahasa 
terkait dengan budaya, budaya juga terkait dengan 'urf, etika, tata kehidupan 
dan seterusnya.
   
  Dan kalau dibreak-down, bahasa Arab mengandung beberapa cabang ilmu seperti 
adab (sastra), ilmu bayan, ilmu balaghah, ilmul-'arudh, ilmu mantiq, dan 
lainnya. Semua itu menjadi syarat mutlak yang harus ada di kepala seorang 
mufassir.
   
  8. Menguasai Cabang-cabang Ilmu yang Terkait dengan Ilmu Tafsir
   
  Kita sering menyebutnya dengan 'Ulumul Quran. Di antara cabang-cabangnya 
antara lain ilmu asbabunnuzul, ilmu nasakh-manskukh, ilmu tentang al-'aam wal 
khash, ilmu tentang Al-Mujmal dan Mubayyan, dan seterusnya.
   
  Tidak pernah ada seorang mufassir yang kitab tafsirnya diakui oleh dunia 
Islam, kecuali mereka adalah pakar dalam semua ilmu tersebut.
   
  9. Pemahaman yang Mendalam
   
  Syarat terakhir seorang mufassir adalah dia harus merupakan orang yang paling 
paham dan mengerti tentang seluk belum agama Islam, yaitu hukum dan syariat 
Islam. Sehingga dia tidak tersesat ketika menafsirkan tiap ayat Al-Quran.
   
  Dia juga harus merupakan seorang yang punya logika yang kuat, cerdas, 
berwawasan, punya pengalaman, serta berkapasitas seorang ilmuwan.
   
  Demikian sekelumit syarat mendasar bagi seorang mufassir sebagaimana yang 
dijelaskan oleh Syeikh Manna' Al-Qaththan dalam kitabnya, Mabahits fi 'Ulumil 
Quran. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan.
   
  Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
  Ahmad Sarwat, Lc


 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke