http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/4/3/opini.html


Teologi Pembaruan?


''IBU pertiwi sangat kikir untuk melahirkan negarawan dengan visi jauh ke 
depan. Seorang negarawan adalah sosok pemimpin yang lebur dan larut untuk 
kepentingan umum. Yang banyak terlahir dari rahim pertiwi sekarang ini adalah 
politisi yang membuat kepentingan umum larut pada dirinya''.

Rubag mencatat pendapat Prof. Dr. Syafii Maarif itu, yang dikutip sebuah koran 
terbitan Jakarta edisi 27 Mei 2004. Rubag sepaham dengan Ketua Umum Muhammadiah 
tersebut, mengingat kemelut multidimensional yang dialami Indonesia nyaris tak 
putus-putus, kendati zaman diberi nama macam-macam. Zaman Kolonial, Orde Lama, 
Orde Baru, Orde Reformasi dan kini mungkin sudah jadi Orde Perubahan menjelang 
Orde Pembaruan.

Perubahan zaman hanya berhasil mengubah nasib para elite, baik politik, ekonomi 
maupun birokrasi, namun nasib rakyat tetap tidak beranjak. Bila dikaitkan 
dengan rezim bahasa, rakyat selalu berposisi sebagai pelengkap penderita atau 
paling mentereng jadi pelengkap pelaku. Itupun kalau ada musibah akibat bencana 
alam seperti di Aceh dan Nias, menyebabkan rakyat dikomodifikasi jadi objek 
penderita.

Atau sekadar dipakai alasan buat menaikkan harga BBM, kata "rakyat" yang diberi 
penanda "miskin" menjadi "rakyat miskin", selanjutnya diposisikan sebagai 
pseudo pelengkap pelaku, sedangkan pelengkap pelaku sebenarnya tersembunyi.   
Kalimat pasifnya berbunyi, "Harga BBM dinaikkan demi konpensasi untuk rakyat 
miskin,". 

Lucunya, jumlah rakyat miskin baru didata setelah kenaikan harga, mekanisme 
konpensasi tidak jelas. Padahal, analisis kuantitatif  positivisme ilmiah yang 
pernah digunakan sebagai alasan untuk menaikkan harga BBM yang diiklankan di 
koran mengundang polemik berkepanjangan di kalangan akademisi, yang di 
antaranya menganggap iklan tersebut membodohi masyarakat.

Tentunya masyarakat awam seperti Rubag yang tidak pernah belajar ilmu ekonomi 
secara detil, meskipun sempat membaca iklan tersebut, tidak merasa dibodohi. 
Malah, justru merasa dicekik dan disengsarakan hidupnya karena kenaikan BBM 
bagaikan lokomotif yang menarik gerbong-gerbong harga yang lain. Lagi pula 
Rubag percaya kalau perut bumi Indonesia mengandung berbagai macam bahan 
tambang. Itu pernah dibacanya di buku-buku pelajaran ilmu bumi saat duduk di SD 
dan SMP di tahun 1960-an.

Malah lagu "Kolam Susu"-nya Koes Plus pernah membuatnya bangga jadi bangsa 
Indonesia.

 "Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai 
tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah 
kita tanah sorga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman," gumam Rubag mengingat 
lagu itu seraya berupaya melupakan berita tentang perairan yang tercemar 
merkuri akibat kerakusan kapitalisme global seperti di Teluk Buyat Minahasa, 
Sulawesi Utara, juga hutan-hutan yang gundul di Kalimantan dan Sumatera.

Karena kekayaan alam berlimpahlah Kolonialis Belanda betah menjajah Indonesia 
selama tiga setengah abad dan fasisme Jepang selama tiga tahun. Bahkan, 
Bernhard Dahm menulis bahwa 20 persen dari PDB Belanda diperoleh dari hasil 
menguras kekayaan negeri ini. Karena itulah, dalam batin Bung Karno, Bung Hatta 
dan kawan-kawan tertanam semangat antikapitalisme, kolonialisme dan 
imperialisme, yang membuat mereka dibuang ke Ende, Bengkulu, dan Boven Digul 
oleh  penjajah Belanda bertahun-tahun.

Para pendiri bangsa tersebut memahami makna penjajahan dan juga pemberontakan 
sebagai antitesisnya. Karena itu mereka belajar politik secara serius yang 
diimplementasikan dalam perjuangannya, tanpa mengkalkulasi risiko yang timbul. 
Rubag berpendapat, setelah generasi Bung Karno, Bung Hatta, Soepomo, Tan Malaka 
dan kawan-kawan sezamannya, tidak lahir lagi negarawan yang rela menukarkan 
keselamatannya demi kemerdekaan bangsanya. Sebab, setelah itu, yang lahir 
adalah politisi dengan kalkulator di tangan kanan, sempoa di tangan kiri.

"Aristoteles pernah bilang, bahwa raja segala ilmu adalah ilmu politik.  Etika 
merupakan bagian yang esensial dari politik. Kebajikan politik sangat besar 
sekali! Keberanian berpolitik harus kita tanamkan ke masyarakat! Kita merdeka 
karena Soekarno berpolitik. Meskipun masih minoritas, Soekarno maju terus dan 
akhirnya gagasannya ditangkap masyarakat dan menyebar. Kesiapan, kesadaran dan 
keberanian mengambil risiko akan memperbesar peluang," demikian pendapat 
Mochtar Pabottinggi, yang membuat Rubag mengaitkannya dengan komentar Syafii 
Maarif tentang negarawan dan politisi masa kini.

Ketika Soeharto berkuasa, lanjut Mochtar, seluruh bibit pemimpin dimatikan dan 
yang ada saat itu adalah penjilat dan kroni-kroninya. Tidak ada pemimpin 
berkarakter yang bisa hidup sezaman dengan Soeharto. Kemudian Mochtar 
membandingkan kedua mantan Presiden RI tersebut. Soekarno cinta nation, meski 
melecehkan demokrasi, karena dia tidak percaya demokrasi Barat yang 
melanggengkan kesenjangan kaya-miskin.

Karena itu, Soekarno membuat program ekonomi dan demokrasi terpimpin. 
Sebaliknya, menurut Mochtar, Soeharto tidak cinta nation dan menginjak-injak 
demokrasi. Kalau dia cinta nation, tidak akan ada pembantaian terhadap 
saudara-saudara sebangsa, penembakan dalam kasus Tanjungpriok, penganiayaan 
sekejam dan sebengis kasus Marsinah. Sepanjang Orde Baru tidak ada nation, 
sedangkan Pancasila dan kesatuan serta persatuan cuma retorika. Hal-hal seperti 
inilah, kata Mochtar, yang dilupakan masyarakat yang terkena Sindrom Amat Rindu 
Soeharto (SARS).

Menyimak pendapat Mochtar Pabottinggi itu, Rubag teringat eufora reformasi yang 
meledak-ledak menyambut kejatuhan rezim otoriter Soeharto dan berakhirnya Orde 
Baru. Tanpa mengerti masalah politik akibat depolitisasi selama tiga dekade, 
rakyat meneriakkan jargon-jargon demokrasi. Seiring dengan itu, globalisasi 
mengambil kesempatan dengan demokrasi pasarnya menumbuhkan hedonisme dan 
konsumerisme, juga dengan teriakan demokrasi dan kebebasan. Segala macam 
komoditas, dari alas kaki sampai jepit rambut, dari parfum hingga salep alat 
vital, mengalir ke Indonesia lewat jalur resmi maupun illegal.

Program Penyesuaian Struktural berazas liberalisme, privatisme dan deregulasi 
menyebabkan Indonesia menjadi sorga buat produk-produk kapitalisme neoliberal. 
Orang-orang berbelanja bukan karena butuh, tapi karena keinginan. Fasilitas 
kredit dan kartu kredit membuat masyarakat membuang rasa malu untuk berutang 
asalkan gemerlap. Gaya hidup Amerika diduplikasi mentah-mentah, dari makanan 
cepat saji sampai American Idol, sehingga untuk memilih pemimpin pun digunakan 
short message service.

Tanpa sadar, kita semua terjebak skenario global yang bertujuan membunuh 
ideologi, nasionalisme dan negara bangsa atau borderless states!

 Penggerogotan komponen-komponen bangsa dengan virus-virus devide et impera 
terus berlangsung. Perpecahan organisasi-organisasi kemasyarakatan, baik yang 
bersifat sosial maupun keagamaan terjadi akibat slogan-slogan saling 
asah-asih-asuh hanya ada di bibir.

Lembaga umat Hindu yang bernama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Daerah 
Bali mengalami perpecahan sudah bertahun-tahun, seakan-akan perpecahan itu 
adalah harga mati. Padahal beberapa anggota pengurus dari lembaga tersebut 
sering memberikan dharma wacana ke berbagai tempat dengan frekuensi padat. Dari 
nasihat mereka ada terlontar frase, "wasudeva khotum bakam" yang konon berarti 
"kita semua bersaudara", namun mereka lupa, bahwa perpecahan yang cukup lama 
bukanlah lambang persaudaraan. Konflik yang mengarah ke disintegrasi juga 
terjadi di kalangan masyarakat, bahkan kini terjadi pula di hampir semua partai 
politik (parpol). Padahal, parpol adalah alat perjuangan dan juga dikatakan 
sebagai pilar-pilar demokrasi.

Rubag tercengang mendengar di sebuah parpol ada kelompok yang menyebut diri 
kelompok pembaruan. Padahal usia politik modern dan perkembangannya sudah setua 
Revolusi Prancis tahun 1789. Bahkan pemikiran politik Bung Karno, Bung Hatta, 
St Syahrir dan Tan Malaka menyerap semua konsep dan gagasan politik Barat yang 
dikonvergensikan dengan alam Timur.  Malah apa yang dituangkan Bung Karno dalam 
"Indonesia Menggugat", St. Syahrir dalam "Sosialisme Indonesia Pembangunan", 
Moh. Hatta dalam "Biografi Politik", Tan Malaka dalam "Madilog", tidak lebih 
kuno dibanding tulisan-tulisan politik modern.

Atau, mungkinkah kelompok pembaruan itu merupakan para teolog yang menurut 
David Ray Griffin, ingin merumuskan "a great subject without subject matter" 
atau suatu kajian yang luas tanpa bahan kajian seperti konsep "Perubahan"?

* 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke