http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/8/13/b1.htm
Dari Warung Global Interaktif Bali Post Terungkapnya ''Penjual'' Gelar-- Usut Tuntas, yang Pakai Gelar Palsu Badan Reserse Kriminal Mabes Polri mengungkap kasus jual beli gelar kesarjanaan, oleh lembaga pendidikan ilegal, Institute Manajemen Global Indonesia (IMGI). Sejak tahun 2000, lembaga itu telah menjual gelar sarjana palsu setara S1, S2, dan S3 kepada sekitar lima ribu orang. Pertanyaan yang muncul, kenapa baru sekarang terungkap kasus ini? Harus diusut tuntas masalah jual-beli gelar ini serta diumumkan nama-nama mereka yang memakai gelar palsu tersebut, jika ada pejabat yang menggunakannya agar dicopot dari jabatannya karena itu jelas-jelas merupakan penipuan. Demikian antara lain tanggapan pengunjung acara Warung Global Radio Global FM Bali 96,5 Kinijani, Jumat (12/8) kemarin. Acara ini juga dipancarluaskan oleh Radio Genta Swara Sakti Bali dan Radio Singaraja FM. Berikut rangkuman selengkapnya. ------------------------------------------------ Natri Udiani di Denpasar mengimbau aparat keamanan agar jangan hanya menangkap manajemen institut saja, tetapi mereka yang berjumlah 5.000 orang yang membeli gelar tersebut juga ditangkap dan nama-nama mereka juga dipublikasikan. Natri merasa di Bali juga pasti ada. Karena itu, aparat dimohon mengusut tuntas dan jangan mengusut pengelolanya saja. Jika ada pejabat yang memakai gelar palsu sebaiknya jabatan mereka dicopot karena sudah ada indikasi penipuan. Sementara itu, Ketut Nasir di Denpasar malah mempertanyakan kenapa persoalan-persoalan muncul satu per satu tidak berhenti sejenak menjelang Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus. Rasanya stres dan mumet. Dia pun menyarankan, sebaiknya dihentikan, setelah 17 Agustus baru diungkap. Artinya, agar concern dulu terhadap Hari Kemerdekaan. Tetapi, ia agak kaget mendengar sampai ada yang membeli gelar palsu. Andaikata ada di Bali, apakah pihak berwajib sanggup untuk mengecek pegawai-pegawai yang sekiranya memakai gelar palsu itu? Mudah-mudahan tidak ada yang kena, kalau ada yang kena agar disebutkan namanya atau apakah mau memecat langsung? Agar tidak sekadar wacana, berlakukan tindakan tegas. Lebih jauh Nasir mengatakan, tampaknya dengan gelar palsu itu SDM kita tertinggal karena maunya mudah, tidak mau sulit. Jero Wijaya di Kintamani yang salah satunya sempat menerima penghargaan tersebut mengatakan, ia sudah membuang jauh-jauh gelar itu dan merasa itu hanya sebatas penghargaan. Kalau dimanfaatkan mencari keuntungan oleh seseorang sebaiknya ditindak dengan tegas dan ia setuju dengan langkah pemerintah. Sebenarnya langkah yang penting harus dilakukan pemerintah adalah membenahi persoalan bahasa Indonesia yang masih kacau akibat banyak mengadopsi bahasa bodong. Dia setuju kalau ada yang memakai gelar palsu dan saat ini dipakai untuk menjabat perlu ditangkap. Made Karya di Mengwi menambahkan, di negara kita banyak celah untuk melakukan kejahatan, termasuk di dunia pendidikan. Yang menjadi pertanyaan kenapa hal ini bisa terjadi? Karena hukum kita masih lemah dan bisa diperjualbelikan. Selain itu akibat ada peluang maka mau melakukannya. Masyarakat sekarang, menurut Made Karya, sudah tidak mempedulikan gelar tetapi sekarang yang paling penting adalah bagaimana ia mampu menunjukkan jati dirinya dan kemampuannya sendiri. Ngurah Kadek di Seririt melihat, karena ada celah maka orang luar membuat gelar karena diketahui banyak orang kita memakai gelar untuk aksi-aksian. Banyak orang punya titel tetapi kemampuan dia pada pekerjaan kelihatan tidak mampu, seharusnya orang seperti ini malu. Terbukti menjual atau menggunakan gelar palsu seharusnya dihukum. Dikatakannya, pengawas dalam dunia pendidikan juga tidak baik dalam melakukan tugasnya, akibatnya sampai mencapai 5.000 orang yang sudah diwisuda dengan gelar doktor palsu. Rasa malu diungkapkan Maria di Sidakarya. Menurut dia, kalau dikatakan ijazah sebagai penghargaan belum saatnya di Indonesia. Kalau yang namanya penghargaan termasuk lokakarya, seminar yang mendapatkannya dalam waktu singkat, berbeda dengan istilah mendapatkan ijazah. Kalau ijazah diperoleh paling cepat tiga tahun bukan hanya tiga bulan. Masalah ijazah-ijazah bodong bagi Maria bukan rahasia lagi. Kalau pemerintah mau dan berani mengungkap, karena selama ini Kopertis pasti juga tahu di mana yang namanya dulu sekolah malam dapat MBA, apa benar sekolah? Lihat juga pengelolanya. Selain itu, ia juga menyindir seseorang yang baru tamat SMA saja bisa dengan segera mendapat titel MBA, untuk titel sejenis itu ukuran di Indonesia belum layak didapat dalam waktu singkat karena diperlukan pengetahuan dan kriteria yang ketat. Maria mengajak sebagai masyarakat untuk meningkatkan budaya malu dalam mendapat ijazah dengan mudah, jangan membeli. Antonius di Tabanan menilai ini akibat ulah masyarakat sendiri karena sangat tergila-gila akan gelar akademis dan sosial kemasyarakatan. Dalam sebuah adat pernikahan, kalau seorang pria memiliki gelar sarjana atau gelar di ketentaraan maharnya tinggi sekali untuk pernikahan, di sinilah oknum melihat ada peluang seperti itu yang mau mengeruk keuntungan dengan menawarkan gelar, sayangnya masyarakat tidak terlalu mengindahkannya. Lantas dengan mendapat gelar mudah seperti itu, apakah mampu mewakili dirinya ketika berinteraksi di masyarakat? Kalau ada tindakan dari pemerintah, Antonius malah bertanya dengan kejadian lima tahun lalu tetapi mengapa baru sekarang polisi bisa bertindak? Apakah untuk tidak menutupi kasus-kasus yang sedang hangat di kepolisian agar masyarakat kaget? Atau untuk mengaburkan kasus? Untuk menegakkan dunia pendidikan semestinya tidak terjadi seperti itu. Sebaiknya Diknas atau Kopertis, jika ada sesuatu tidak beres di luar lingkungannya agar secara spontan memberi tindakan tegas dan melakukan penelusuran. Tragisnya dunia pendidikan bisa seperti ini. Yogi di Negara merasa inilah ciri khas masyarakat Indonesia, yang lebih suka dengan akesoris-akesoris atau embel-embel gelar daripada prestasi yang semestinya. Dengan kejadian ini bisa jadi akhirnya Indonesia krisis SDM yang mumpuni. Kepada pemerintah SBY, Yogi mengucapkan terima kasih apa yang sudah berani diungkap dan secara terang-terangan. Ireng di Bajera malah mempertanyakan tentang gelar palsu yang didapat dengan mudah, apakah untuk prestasi atau prestise? Tidak ada istilah terlambat untuk memperbaikinya, kalau kita mau bersungguh-sungguh sapunya yang bersih dulu. Dia khawatir lapnya tidak bersih, persoalan akan menjadi blunder. Ireng mengistilahkan pembersihan oleh aparat sebaiknya dilakukan dari dalam juga. Dewa Pacung di Gianyar berharap, seandainya nanti ia mempunyai anak sekalipun tidak punya ijazah, yang penting mengerti dengan keadaan masyarakat dan punya etika tentang mendapatkan ijazah. Wily di Mengwi menyatakan, soal gelar menurut pandangan di masyarakat yang berlaku saat ini, gelar-gelar itu tidaklah penting, karena untuk meraih gelar sarjana yang tamat banyak juga yang hanya sekadar gelar, tetapi yang tamat SMU juga banyak yang pintar dan memahami persoalan yang penting. Dasarnya adalah pengalaman dan bisa memecahkan persoalan. Sementara Seludono di Denpasar menyatakan gelar yang didapat manusia sama saja, keaslian gelar itu bagian dari diri kita. Apa yang diciptakan dengan kepalsuan maka lahirnya pun kepalsuan juga. Jika yang di permukaan ditunjukkan kepalsuan maka berakibat pada semua lini termasuk palsu. Kalau mau ''revolusi'' sebaiknya dilakukan di semua lini harus ada percepatan dalam hal pemahaman akan pembenahan sistem. Guru Made di Sanggulan setuju dengan apa yang disampaikan oleh Seludono, segala yang ada di Indonesia atau di dunia ini penuh kepalsuan, apalagi di dunia pendidikan, "betul-betul full dengan kepalsuan". Banyak yang memakai titel tetapi dari segi kemampuan tidak ada. De Runa di Denpasar menilai terkait ijazah sekarang ini dengan situasi sekarang ini krisis persoalan bermuara pada pemegang kebijakan. SDM yang ditempatkan pada memegang kebijakan ijazahnya bodong, bagaimana bisa mengambil kebijakan untuk rakyat kecil? Runa berharap ke depan, dengan dimulainya pemberantasan yang bersifat palsu-palsu itu agar terus ditindaklanjuti. Setia di Tabanan mengingatkan, sebenarnya untuk mengatasi jual beli ijazah bodong dan mengatasi kebobrokan di dunia pendidikan sudah ada UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Tersurat tegas bagi lembaga pendidikan yang menjual gelar dikenakan denda baik yang menerima gelar, 1 milyar dan 10 tahun penjara. Cuma sampai saat ini UU tersebut tinggal UU dan tidak diterapkan. Setia mengharapkan sekali peraturan ini betul-betul ditindaklanjuti. * wisnu [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> <font face=arial size=-1><a href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hica51l/M=362343.6886681.7839642.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1123887020/A=2894354/R=0/SIG=11qvf79s7/*http://http://www.globalgiving.com/cb/cidi/c_darfur.html">Help Sudanese refugees rebuild their lives through GlobalGiving</a>.</font> --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/