http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/14/opini/2288326.htm
Tragedi Kelaparan di Papua Indra J Piliang Apa lagi yang harus dikatakan tentang politik ketika kelaparan mengancam warga negara? Sampai kapan politik tidak hanya sekadar parade kekosongan, kesombongan, dan kerongkongan apabila kelaparan yang mematikan saja tidak membuat mata orang terbuka. Idealnya, dengan demokrasi, kelaparan akan hilang atau berkurang dari muka bumi. Kenyataannya tidaklah demikian. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tetap tergelincir sembari indeks pendapatan wakil rakyat dan petinggi pemerintah tergerek naik. Papua menjadi contoh dari semua ketidakpedulian atas manusia ketika politik bangkit sebagai idiom paling banyak disebut. Tragedi kelaparan di Papua kembali terulang setelah sebelumnya juga terjadi pada pertengahan tahun 1990-an. Pelbagai pihak pun marah, mulai dari presiden, ketua MPR, ketua DPR, sampai semua kekuatan politik di Jakarta. Pemerintahan daerah langsung mendapatkan tudingan sebagai biang keladi kelaparan di Yahukimo. Padahal, laporan Kabupaten Yahukimo dan Yahukimo Hanya Punya Nama, Belum ada Bentuk (Kompas, 1/6/2004) menunjukkan betapa kabupaten baru hasil pemekaran ini masihlah berupa hutan dan semak belukar, bahkan di ibu kota kabupaten, Sumohai, kualitas hidup masyarakat masih memprihatinkan, misalnya banyak yang berperut buncit, konsumsi protein rendah, ditambah masih banyak kasus malaria. Padahal, hutan Yahukimo menghasilkan komoditas kelapa hutan, buah merah (Pandanus sp), pohon kasuari, kulit kayu lawang, gaharu, dan rotan. Komoditas ini sangatlah mahal untuk ukuran Jakarta. Dengan kondisi yang masih perawan dan eksotis itu, kenapa kelaparan singgah menyapa? Pusat-periferal Hal ini, secara garis besar, bisa dilihat dari sejumlah hal. Pertama, mandulnya mata batin politikus Jakarta. Hampir keseluruhan pertarungan politik harian berlangsung di Jakarta. Akibatnya adalah Jakarta merasa jauh lebih penting dari daerah lainnya. Jangankan Papua, kondisi sebagian besar Provinsi Banten saja masih terkebelakang. Kedua, masih adanya kecenderungan untuk membagi dua zona politik, yakni pusat dan periferal. Dengan cara seperti ini, keseluruhan daerah di luar Jakarta adalah halaman belakang dari Republik Indonesia. Kalau kita perhatikan daerah-daerah perbatasan dengan 10 negara tetangga, hampir semuanya masuk daerah tertinggal, terkebelakang dan miskin. Tidak heran kalau daerah-daerah itu begitu mudah dilintasi oleh kegiatan ilegal, mulai dari penyeludupan bahan bakar minyak, senjata ringan, kayu ilegal, ikan ilegal, sampai kaum teroris dan pendatang haram. Ketiga, tingginya perhatian atas situasi pelembagaan politik di Papua menyebabkan rendah- nya perhatian kepada masyarakat Papua. Masalah Papua yang menjadi beban di pundak Jakarta adalah seputar status otonomi khusus, pemekaran, separatisme, pembentukan Majelis Rakyat Papua, pemilihan langsung kepala daerah, sampai kasus pembunuhan Dortheys Hiyo Eluay, pembunuhan atas warga negara Amerika Serikat, sampai kepada hubungan militer Indonesia-AS. Agenda Papua nyaris hadir setiap hari dalam rilis lembaga-lembaga pemantau internasional atas pelanggaran hak asasi manusia, militerisme, dan pengabaian hak- hak masyarakat tribal. Laporan penelitian Pokja Papua seputar hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Papua menunjukkan situasi yang mengenaskan. Rendahnya perhatian lembaga-lembaga pemerintahan daerah menyebabkan banyak daerah yang sesungguhnya mengandung bom waktu kemiskinan dan kelaparan. Padahal, anggaran yang (semula) ditujukan kepada masyarakat relatif besar. Bagi mayoritas masyarakat Papua sendiri, isu-isu politik tinggi, seperti otonomi khusus, kurang mendapatkan perhatian. Yang penting adalah bagaimana penduduk bisa makan, mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan yang layak, sampai kepada lapangan bekerja. Tetapi, akibat demokrasi dibajak oleh kekuatan oligarkis, termasuk demokrasi lokal yang jatuh ke dalam kelompok oligarkis lokal, maka perhatian kepada kehendak mayoritas rakyat ini sangatlah minim. Pusat hanya perhatikan elite Kalau mau jujur, sebetulnya Jakarta lebih banyak melihat kepada realitas elite Papua ketimbang realitas masyarakat Papua sendiri. Muncul sejumlah persepsi negatif, betapa rakyat Papua bisa dikendalikan apabila diberikan uang untuk membeli minuman dan hiburan. Elite-elite partai politik paling sering merasakan betapa sulitnya untuk berurusan dengan fungsionaris partai politik di Papua yang hampir selalu kehilangan tiket, uang, dan lain-lainnya, padahal mereka akan kembali ke Papua. Bukti paling akhir adalah amblasnya dana otonomi khusus yang sebagian juga akibat kelambanan Jakarta dalam proses pencairan dan kelalaian pengawasan. Untuk mengantisipasi masalah-masalah yang serupa untuk tidak terulang di masa datang, persepsi Jakarta harus diubah. Jakarta tidak bisa hanya sekadar menunggu laporan dari daerah, melainkan harus langsung terjun ke daerah tersebut secara periodik. Bukan hanya Papua, tetapi juga Nusa Tenggara Timur dan daerah lain yang secara alamiah hanya mengandalkan hujan untuk menumbuhkan tanaman musiman di tanah gersang. Jakarta juga harus membuka telinganya agar tidak tuli dari aspirasi masyarakat bawah. Sudah bukan zamannya lagi hanya mendengar kelompok elite daerah, karena apa yang terhidang selama ini sebagian besar sudah dimanipulasi demi kepentingan kekuasaan mereka. Kelaparan di Yahukimo sekali lagi menunjukkan betapa lemahnya fasilitas umum dan fasilitas sosial yang dapat digunakan secara cepat dalam keadaan darurat. Jangan sampai ada lagi pernyataan dari Jakarta bahwa bencana alam atau kelaparan adalah urusan daerah. Ini bencana darurat, bung, jangan hanya mempersoalkan ini urusan siapa! Dengan asas desentralisasi dan dekonsentrasi, persoalan bencana sudah menjadi urusan pusat. Kalau tsunami bisa dikatakan sebagai kehendak alam, lalu apakah kelaparan di daerah yang sebagian besar masih hutan rimba, penduduk sedikit, dan jarang dikunjungi orang luar itu sebagai kehendak alam juga? Untuk kelaparan, hukum rimba tidak berlaku. Yang patut diuji adalah hukum manusia yang katanya sedang beranjak mengejar dan sejajar dengan bangsa-bangsa beradab lainnya. Indra J Piliang Analis Politik CSIS dan Anggota Pokja Papua, Jakarta [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help the victims of the Pakistan/India earthquake rebuild their lives. http://us.click.yahoo.com/it0YpD/leGMAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/