KOMPAS
Selasa, 19 September 2006 

 
Tujuh Tahun Pers Merdeka 


Leo Batubara 

Pers merdeka dan pers tidak merdeka berbeda dalam paradigma. Menteri Penerangan 
RI pertama Mr Amir Sjarifuddin pada Oktober 1945 menegaskan, penyelenggaraan 
pemerintahan harus bersendikan asas pers merdeka. 

Berbicara dalam kaitan kebijakan komunikasi dan penerangan yang dianut 
pemerintah, ditegaskan, "Pikiran masyarakat umum (public opinions) itulah sendi 
dasar pemerintah yang berkedaulatan rakyat. Pers yang tak merdeka tidak mungkin 
menyatakan pikiran masyarakat, tetapi hanya pikiran beberapa orang yang 
berkuasa. Maka, asas kita ialah pers harus merdeka." 

Dalam perjalanan 61 tahun, usia pers tidak merdeka lebih panjang daripada pers 
merdeka. Pers tertindas di era Orde Lama dan Orde Baru, serta pikiran penguasa 
menjadi acuan. Maka, pers harus terkendali. Badan pengatur dan pengawas adalah 
Departemen Penerangan. 

Ditakuti dan dibenci 

Aneka ketentuan pers tidak merdeka diregulasi dan dikukuhkan dalam 
Undang-Undang Pokok Pers No 11/1966, juncto No 4/1967, juncto No 21/1082. 
Isinya, pertama, UU Pokok Pers didesain dengan paradigma pemerintah yang 
mengontrol opini publik dan pers. 

Kedua, sesuai dengan paradigma itu, pemerintah memerlukan legal authority untuk 
bisa mencampuri dan mengintervensi penyelenggaraan pers. Maka, UU Pokok Pers 
memberi Menteri Penerangan wewenang menyusun peraturan pelaksanaan 
penyelenggaraan pers dalam peraturan pemerintah dan peraturan menteri. 

Ketiga, agar kontrol pemerintah atas pers menjadi efektif, pemerintah 
memerlukan dua alat kendali. Pertama, izin pemerintah bagi penerbitan pers. 
Maka, penerbitan pers bisa dibredel jika tidak mendukung pemikiran penguasa. 
Alat kendali kedua, selain diatur KUHP, politik hukum kriminalisasi pers juga 
diatur dengan UU Pokok Pers. Pers dan wartawan yang melakukan pelanggaran 
jurnalistik bisa dipidana penjara dan atau didenda dengan jumlah yang 
membangkrutkan. Dengan kendali perizinan dan kriminalisasi pers, pers dapat 
dijinakkan secara efektif. 

Keempat, Dewan Pers menjadi mitra pemerintah bertugas (1) merepresentasi 
komunitas pers dan masyarakat, (2) memberi legitimasi terhadap kebijakan 
komunikasi dan penerangan pemerintah. Dewan Pers ditakuti dan dibenci. Ditakuti 
karena Ketuanya Menteri Penerangan. Dibenci karena jika pemerintah hendak 
membredel media, Dewan Pers lebih dulu ditugasi mengusulkannya. 

Penerapan kebijakan komunikasi dan penerangan seperti dikemukakan selama 
kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru berdampak (1) pikiran masyarakat umum 
tersekat, rakyat dibina menjadi seperti beo; (2) hanya pikiran penguasa yang 
menjadi acuan; dan (3) pers tumpul dan gagal memberi peringatan dini atas 
penyalahgunaan kekuasaan. 

Menelan banyak korban 

Pergulatan memerdekakan pers amat melelahkan dan menelan korban. Ratusan 
penerbitan pers dibredel. Puluhan wartawan dibui. Ketika penguasa Orde Baru 
tumbang, gerakan reformasi berembus. Aktivis prodemokrasi dan pegiat pers 
merdeka bangkit dari posisi tiarap. 

Pertemuan relawan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang di back 
up Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) di Pacet-Cianjur, 20-23 Oktober 1998, 
selain menghasilkan RUU Tap MPR tentang Kebebasan Informasi yang diakomodasi 
dalam Tap MPR No XVII/1998 tentang HAM-rumusan itu menjadi Pasal 28F UUD 
1945-juga menghasilkan RUU Pers. 

Pada 1 Maret 1999, 22 anggota Komisi I DPR dipimpin Bambang Sadono mengajukan 
RUU Pers MPPI menjadi RUU Pers. Usulan draf itu dibahas pada Rapat Pleno DPR 1 
Juli 1999 untuk kemudian akan dibawa ke Rapat Pleno DPR 12 Juli 1999. Tiba-tiba 
Presiden BJ Habibie, pada 7 Juli mengirimkan RUU Pers Pemerintah ke DPR. Sesuai 
dengan tata tertib DPR, draf pemerintah itu diagendakan menjadi pokok bahasan, 
sementara RUU Pers versi MPPI menjadi bandingan. 

Pembahasan intensif 25 Agustus sampai 13 September 1999 oleh empat fraksi DPR 
Komisi I dengan pemerintah yang diwakili Deppen. Dalam pembahasan hampir tiga 
pekan itu, lahirlah UU yang memerdekakan pers, yang diundangkan 23 September 
1999. Tanggal ini adalah hari lahir Kemerdekaan Pers Indonesia. 

Mengapa UU Pers No 40/1999 dinilai memerdekakan pers? Pertama, UU itu 
berparadigma publik dan pers-lah yang mengontrol pemerintah, bukan sebaliknya. 

Kedua, sejalan dengan paradigma itu, dalam UU itu tidak ada lagi kewenangan 
pemerintah untuk mencampuri dan mengintervensi penyelenggaraan pers. Karena 
itu, peraturan pemerintah dan peraturan menteri tidak diperlukan. Pasal 15 Ayat 
2 Huruf f menegaskan-atas fasilitasi Dewan Pers-regulasi penyelenggaraan pers 
disusun organisasi- organisasi pers (self regulating). 

Ketiga, penerbitan pers tidak memerlukan izin. Ketentuan ini meniadakan ancaman 
pembredelan. 

Keempat, penerbitan pers menganut politik hukum dekriminalisasi pers. Kesalahan 
jurnalistik diselesaikan berdasar mekanisme jurnalistik. Sanksi terberat bukan 
penjara, tetapi denda maksimum Rp 500 juta. Dalam UU ini, barang siapa yang 
menghambat kegiatan jurnalistik terancam pidana penjara maksimum dua tahun atau 
denda maksimum Rp 500 juta. 

Kelima, Dewan Pers ada pada posisi independen dan diberi kewenangan 
melaksanakan tujuh fungsi antara lain melindungi kemerdekaan pers dari campur 
tangan pihak lain dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas 
kasus-kasus pemberitaan pers. 

Siapa penyumbang terbesar UU Pers No 40/1999? Banyak pihak dan ujung tombaknya 
adalah Menpen RI M Yusuf Yosfiah dan Sekjen Deppen IKG Manila. Sementara itu, 
dari MPPI yang hadir tiap hari pembahasan adalah Atmakusumah, Azkarmin Zaini, 
dan Leo Batubara yang mendapat mandat dari Menpen. Dan bintang-bintang reformis 
Komisi I adalah Bambang Sadono (F-KP), Soenarto, SH (F-ABRI), YB Wiyanjono SH 
(F-PDI), Amir L Sirait MBA (F-KP), H Sofjan Lubis (F-KP), Ansel Da Lopez 
(F-KP), Dr Bachtiar Ali (F-KP), dan Usamah Hisyam (F-PP). 

Tantangan 

Apa hasil pemberlakuan UU Pers yang baru? Apa masalah yang dihadapi? 

Kini, sekitar 30 persen dari 829 media cetak meraih bisnis yang sehat, tiras 
dan jumlah halamannya meningkat. Media itu tersebar di 33 provinsi, terbit 
sebagai pers daerah, media lokal, dan media komunitas. Sebagian dari pers sehat 
bisnis itu dikontribusi surat kabar berkategori quality media. Media ini kian 
maju dan berkembang. 

Media ini mampu menghasilkan produk pers yang (1) atraktif; (2) mencerahkan; 
(3) taat kode etik jurnalistik; dan (4) dibutuhkan khalayak (pembaca dan 
pengiklan). Jumlah quality media itu minoritas dari segi jumlah perusahaan. 
Namun, mayoritas dari 7,2 juta tiras milik mereka. 

Perkembangan pers di era reformasi ini bukan tanpa masalah. Pertama, sekitar 70 
persen media cetak berkategori belum sehat bisnis. Tantangan yang dihadapi (1) 
jumlah modal tidak mencukupi; (2) wartawan profesional tidak tersedia di pasar 
kerja sehingga mempekerjakan wartawan yang tidak memenuhi syarat; (3) sering 
melanggar kode etik jurnalistik; (4) tidak mampu membuat medianya dibutuhkan 
pembaca dan pengiklan. Dari sisi profesionalitas, sebagian dari media tidak 
sehat bisnis itu semestinya menghentikan penerbitan. Namun, Pasal 28 konstitusi 
melindungi keberadaannya. 

Masalah kedua, sebagian besar penyelenggara negara-legislatif, eksekutif, dan 
yudikatif-masih bertradisi tidak menghargai kemerdekaan pers. Hal itu ditandai 
oleh, pertama, hasil temuan pers profesional selama tujuh tahun ini tentang (1) 
kinerja pejabat yang tidak becus; (2) dugaan KKN; dan (3) praktik-praktik bad 
governance, bukannya digunakan wakil rakyat dan penegak hukum untuk mewujudkan 
pemerintahan bersih. Bahkan, temuan pers digunakan menjerat pers dan wartawan 
ke pengadilan. Mereka diancam pidana penjara dan atau denda sampai triliunan 
rupiah. 

Kedua, penyelenggara negara masih memberlakukan sejumlah UU yang mengancam 
kemerdekaan pers. Ironisnya, pemerintah masih menerbitkan RUU Rahasia Negara, 
draf Perpres Perlindungan Pejabat dan RUU KUHP-semuanya berintensi memagari 
pemerintah dari kontrol pers. 

Ketiga, Menkominfo Sofyan Djalil dalam wawancara dengan sebuah media (8/9/2006) 
berpendapat, UU Pers No 40/1999 lahir karena tingginya antipati kepada 
pemerintah. Saat itu aroma permusuhan kepada pemerintah amat kental. Kini 
pemerintah tidak bisa campur tangan, maka UU Pers perlu direvisi. 

Jika pemerintah masih menganut kebijakan ingin membatasi kontrol pers, jika 
berahi pemerintah untuk merevisi UU Pers terwujud, akankah usia pers merdeka 
bertahan lebih lama? 

Leo Batubara 
Aktivis MPPI 


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke