Semoga di baca oleh para anggota Parlemen yg ngaku mantan aktivis Mahasiswa. 11 
tahun lalu, Kawan2nya terkapar terluka hingga ada yg gugur di jalanan sehingga 
mereka bisa duduk di parlemen sana sekarang ini.

--------------- 

--- In ppiindia@yahoogroups.com, "yerww" <ye...@...> wrote:
>
> --- In sastra-pembeba...@yahoogroups.com, "yerww" <yerww@> wrote:
> 
> http://jakarta.indymedia.org/newswire.php?story_id=1561
> 
>  Untuk barisan yang tercerai berai, Untuk kawan yang berguguran sepuluh tahun 
> silam
> Dikirim oleh : A.Tjahjadi
> Pada tanggal : 04-11-2008, 16:00
> anakglobal@
> nasional / sastra berjuang / feature
> 
> 10 Tahun Tragedi Semanggi
> 
> 
> (artikel ini kami tayangkan ulang pada feature sebagai peringatan sepuluh 
> tahun tragedi semanggi.. agar kita semua tidak lupa bahwa tragedi ini masih 
> belum terungkap dan mereka yang bertanggung jawab belum ditangkap)
> 
> Artikel: 
> Agendakan Kembali Penuntasan Kasus TSS | DPR menolak Pengadilan HAM 
> Trisakti-Semanggi | Peringatan Tujuh Tahun Tragedi Semanggi I
> 
> Link:
> Semanggi Peduli | Cerita saksi | Jangan Diam | Penuturan Asih Widodo, 
> ayahanda Sigit Prasetyo (Korban Tragedi Semanggi I)
> 
> 
> Sudah tiga hari kami berjalan. Dari Salemba sampai gedung MPRI di jalan Gatsu 
> (Gatot Subroto). Lumayan jauh, ah…apa sesungguhnya yang membuat kami begitu 
> kuat menelusuri jalan. Mungkin saja semangat perubahan. Situasi yang kami 
> idam-idamkan, kesempurnaan, dan keadilan bagi seluruh warga negara. Hari ke 
> hari energi itu bertambah kuat. Sekuat suara kami, lantang, memekik sepanjang 
> jalan, yang menggema menjadi satu bersautan bercampur amarah dan makian.
> 
> "Gantung Suharto!…Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!. Reformasi, Reformasi, 
> Reformasi!."
> 
> Demikian teriakan-teriakan, cacian kebencian selama tiga hari lamanya 
> membahana dalam gang-gang sempit, warung rokok kecil, warung Tegal tempat 
> makan para kernet dan sopir angkutan kota. Kami berteriak, memamaki, di 
> sepanjang jalan Salemba-Matraman-Otista dan Cawang.
> 
> Tiga hari berlalu. Kami semua belum lah mandi. Bau badan kami bercampur 
> dengan bau rumah sakit. Kadang bau bercampur alkohol. Kadang bunga sedap 
> malam dan mawar merah yang membusuk. Bahkan sesekali bau darah dan orang 
> meninggal. Suasana yang susah diterjemahkan. Sepanjang jalur "Revolusi", 
> menghantui, membalut barisan kami. Mata kami sayu, memerah karena amarah tak 
> kunjung padam. Karena musuh berada dimana-mana, setiap hari. 18 orang 
> meninggal, pasca bentrokan antara rakyat dengan pasukan gabungan Polisi-TNI . 
> Dada kami serasa sesak. Sedih. Tapi, air mata ini, airmata kimia, gas-gas 
> yang kami hisap selama 3 hari, membuat kami mabuk. Kami semua terluka dan 
> kebingungan, sudah tiga hari kami memaki dan mencaci. Sampai kami merasa 
> lelah yang teramat lelah yang pernah kami rasakan. Kami semakin 
> mabuk-mengawang-awang berteriak, terbawa suasana reformasi-sudah-basi! Busuk! 
> Reformasi tidak mencerminkan penderitaan kami, penderitaan rakyat di bawah 
> kuasa tiran.
> 
> "Kawan-kawan, mulai hari ini, sejak darah dan keringat rekan-rekan kita 
> tumpah di aspal Semanggi, pantang bagi kita teriak Reformasi".
> 
> "Ingat kawan-kawan, elit-elit yang dikumpulkan oleh para mahasiswa banci di 
> Ciganjur, hanyalah siasat segelintir elit. Tak lebih, mereka adalah borjuis 
> kecil, bagian dari kekuasaan tiran Orde Baru. Mereka hanyalah para oportunis, 
> yang diam, bungkam, selama puluhan tahun tanpa berani berhadapan dengan 
> kediktaktoran Soeharto!.
> 
> "Mari kawan-kawan, mari rakyat Jakarta kita lupakan Reformasi. Kawan, rakyat, 
> telah gugur diitembak oleh pemerintahnya sendiri, oleh serdadu yang pelurunya 
> dibeli oleh rakyat".
> 
> "Hari ini kita nyatakan perang!. Ya kawan-kawan, perang kepada tiran!. Kita 
> tak akan lupa, sejarah telah membuktikan kekuatan rakyat, rejim dan semua 
> tiran hanya takluk oleh kekuatan rakyat. Ingat kawan-kawan, kekuatan rakyat, 
> massa rakyat, hidup rakyat! hidup rakyat!".
> 
> "RE-VO-LU-SI!"
> "RE-VO-LU-SI!"
> "RE-VO-LU-SI!"
> 
> Tuntaslah hari itu. Keadaan telah kami rubah sendiri, melalui tangan-tangan 
> kecil kami, para anak muda yang belajar membangkang, melukis sejarahnya 
> sendiri, sejarah perubahan. Kami telah merubah diri kami dari anak-anak 
> pembangunan yang dimanjakan produk-produk luar negeri. Kami menjadi anak-anak 
> yang sadar diri. Kami adalah rakyat, kami tidak akan menjadi teknokrat untuk 
> menyokong kemapanan demi sekelompok orang. Jangan sampai kami seperti 
> angkatan 66. Mereka duduk semenja dengan para jendral. Mereka mendua untuk 
> perubahan. Cukup sudah, Soe Hoek Gie gagal memilih strategi. Dia tidak 
> mengorgansir rakyat. Dia hanya bisa lari ke gunug-gunung ketika musuh rakyat 
> semakin sadis melakukan pembantaian bangsanya sendiri. Kami memilih hidup 
> kami sebagai pembawa revolusi. Kami anak pembangunan yang murtad, anak haram 
> Orde Baru yang membangkang selamanya.
> 
> Hari keempat. Kami terkapar berjatuhan, tertidur dihalaman trotoar kampus 
> salemba. Bangunan belanda yang kokoh berdiri melihat kami kelelahan seperti 
> mengejek kami. Seperti laskar bambu runcing yang terbirit-birit melawan 
> senapan mesin. Tak jauh dari tempat kami terkapar, sebuah mobil kodim 
> terbakar di muka jalan. Rakyat membakar mobil tentara,menendang, berteriak, 
> memaki, massa telah kerasukan barisan kami, barisan pembawa revolusi. Tanpa 
> komando, tanpa pemimpin, rakyat sepanjang jalur revolusi melakukan sapu 
> bersih anggota TNI dan Polisi. Koran-koran mencatat 109 orang korban 
> berguuran, dirawat di beberapa rumah sakit terdekat di bilangan Semanggi. 
> Bendera kuning bertebaran di depan gang-gang sempit kampung kumuh. Batu-batu 
> beserakan di jalan. Gedung-gedung terbakar. Masih mengepul asap hitam 
> bercampur bau plastik yang menyengat. Semua mulai berubah. Suara kami masih 
> menggema di gang-gang sempit, diwarung-warung rokok kecil, di warung tegal 
> milik rakyat jelata.
> 
> Namun Orde Baru masih begitu kuatnya, diskusi-diskusi malam mempererat kami. 
> Ditemani kopi dan gorengan para pensiasat beradu argumen. Sebagian 
> tertawa-tawa, asap gas airmata telah dirubah. Seorang relawan rakyat Salemba 
> menjamu kami dengan berlinting-linting ganja. Kami membakar kelelahan kami, 
> membumbungi asap angan-angan kami. Semua tertawa, bahagia, meskipun 18 orang 
> mati ditembak TNI dan Polisi. Kami tertawa tak jelas. Mungkin, karena seorang 
> teman kami yang dirawat dirumah sakit Jakarta sedang sibuk mencari posisi 
> yang nyaman untuk tidurnya. Bayangkan saja pemuda yang bertubuh sedang, 
> berkacamata tebal, merintih kesakitan karena pantatnya hancur, tertembak gas 
> airmata, ditembus peluru gas airmata. Seseorang yang merintih kesusahaan, 
> karena pantatnya menjadi sasaran kemarahan TNI dan Polisi.
> 
> Pagi hari kami terbangun oleh derap langkah-langkah mahasiswa yang bergegas 
> ke ruang kelasnya. Para pegawai rumah sakit mulai berdatangan, sebagian 
> adalah dokter-dokter angkatan 66 yang pro-angkatan darat, pendudkung garis 
> depan Orde Baru. Sinis memandang barisan kami yang terkapar, mabuk, marah, 
> karena kami menginginkan revolusi sejati. Kami individu yang berjiwa bebas, 
> yang menyatakan diri berdiri sejajar dengan rakyat. Kami bagian dari kampus 
> perjuangan Orde Baru Universitas Indonesia (UI) yang menolak elitisme, 
> mengasingkan diri dari rakyat, kami yang menolak bekerja dan menjadi budak 
> untuk tiran orde baru.
> 
> II
> 
> Setahun berlalu. Barisan kami tak membesar. Masih sama dengan barisan setahun 
> lalu. Tapi tenaga kami terkuras habis sudah. Kami kembali dihadapkan dengan 
> kondisi kemampanan pembangunan manusia orde baru. Meskipun kami sudah di 
> ibliskan, diharamkan sebagai anak haram Orde Baru, para pembangkit arwah 
> orang-orang Kiri, begitu selenting kata Amin.
> 
> Rutinitas merebut kami. Sebagian barisan terpecah, karena sebagian kawan 
> harus menyelesaikan agenda akademik. Bersidang dan kemudian minggat dari 
> padepokan ini. Kami yang tersisa, tersisih dan kalah, hanya memenuhi sudut 
> kantin bersama kartu remi dan gaple mempertaruhkan masa depan kami. Diskusi 
> revolusioner telah tawar rasa-rasanya. Kami dihadapkan oleh barisan para 
> dewan jenggot, barisan yang menguasai ruang-ruang senat, ataupun tempat 
> ibadah. Dewan jenggot yang anti celana jeans, selalu bercelana bahan dan 
> menggantung seperti kekurangan bahan. Begitu seorang teman menjelaskan 
> mengenai barisan-barisan lain yang bermunculan. Mereka bergerak, berkelompok, 
> menutupi diri dengan keyakinan yang berseberangan. Bahkan sesekali mengutuk 
> kami, karena barisan kami memusuhi Tuhan kata mereka.
> 
> Puncak perang dingin antar barisan-barisan akhirnya meledak. Setahun setelah 
> 18 orang dibunuh. Barisan kami lumpuh, tak bernyawa. Meskipun pada akhirnya 
> seorang kawan kembali merubahnya hari itu.kembali membuat sejarah baru bagi 
> barisan kami.
> 
> "Kawan-kawan, musuh-musuh sekalian. Kami adalah barisan yang tersisa. Kami 
> adalah rakyat sejatinya. Kami teriakan selama empat hari lamanya 
> disudut-sudut gang kampung, di gedung-gedung, di trotoar, di pasar dan di 
> langit Jakarta yang membusuk setahun lalu!.
> 
> Hari ini kami kembali berjanji, Kami tidak akan meneruskan sejarah barisan 
> kami, sebagaimana brisan yang mengantri kue pembangunan, memburu karir dan 
> status sosial yang telah menunggu di gerbang kemapanan, memperalat, 
> mendombakan untuk menuruti si penggembala yang tak lain adalah ORBA (Golkar, 
> Militer, keluarga-keluarga Raja, Orang-orang Kaya). Kami adalah barisan 
> pembawa Revolusi, dan selamanya kami akan membawa api suci ini di dalam dada 
> kami, hingga akhirnya nanti akan membakar tembok-tembok sekolah, 
> gedung-gedung, mal-mal, hingga kita terbangun dari amnesia sejarah ini".
> 
> Sekoyong-konyong seorang kawan kami merebut selembar jaket dari kerumunan 
> orang yang telah mengepung barisan kami. Hari itu pemilu dewan jenggot sedang 
> digelar. Sekejap suasana menjadi riuh, kawan kami membakar jaket almamater. 
> Dia membakar simbol barisan kemapanan yang mengabdi untuk tirani orde baru. 
> Terbakarlah, asap membumbung tinggi seperti setahun yang lalu.
> 
> III
> 
> Hari semakin sore. Jam 17.17 sore. Barisan kami hanya berhasil menempuh 
> perjalanan hingga di muka hotel JW Marriot, Ambasador. Barisan di muka sudah 
> dihadang. Kawan-kawan yang berusaha masuk melalui jalur kuburan Karet lumpuh 
> tertahan, tercerai berai. Mereka berhasil ditahan Kostrad (TNI Angkatan 
> Darat).
> 
> Barisan kami semakin mengecil, setelah insiden kecil di wilayah Casablanca. 
> Bentrok antara barisan mahasiswa dan rakyat sempat terjadi. Barisan mahasiswa 
> berjaket masih mempercayai untuk merapatkan barisannya tanpa berbaur dengan 
> rakyat. Sementara barisan kami adalah barisan rakyat, barisan anak-anak 
> keluarga miskin, barisan klas menengah.
> 
> Barisan kami terpaksa dipecah. Strategi untuk mencapai titik pusat 
> perlawanan. Taktik untuk menghindari peluru-peluru KOSTRAD yang liar 
> mengancam nyawa kami. Bergegaslah kami, lima-lima, tiga-tiga dan berpasangan 
> bagi mereka yang membawa pujaan hatinya.
> 
> Tibalah barisan kami di depan Atmajaya. Jalan Semanggi. Medan peperangan yang 
> pernah menjadi saksi kami. Di antara puluhan lampu sniper menari-nari meminta 
> maut, raungan ambulan-ambulan dan rentetan senjata Kostrad-AD yang membabi 
> buta, teman kami berguguran 18 orang malam itu. Setahun yang lalu.
> 
> Kami membaur dengan massa yang berkerumunan di tengah jalan. Kami duduk-duduk 
> di jalur cepat. Persis seperti setahun yang lalu, ketika kami mengatur nafas, 
> untuk kembali melempar bom-bom molotov. Masih ingat rupanya, pom bensin di 
> sudut simpang Semanggi habis dicuri. Literan bensin kami jadikan perlengkapan 
> pertahanan diri. Meskipun sia-sia, musuh yang dihadapi bersenjata, dengan 
> sniper meloncat-loncat dari BRI I ke BRI II atau ke gedung lain. Musuh sangat 
> terorganisir. Setelah semalaman bertempur melawan PHH dan PPRM, dini hari 
> mereka bergantian bergiliran. Pukul 4 pagi dini hari para marinir masuk ke 
> area parkiran Universitas Atmajaya, merangsek menghancurkan 
> kendaraan-kendaraan. Dan mencoba "menciduk" sebagian anggota barisan kami. 
> Namun aksi mereka begitu cepat, hanya dua jam, sesudah itu pagi hari kami 
> melihat tepat dikolong Jembatan Semanggi, barisan polisi menyantap sarapan 
> pagi dengan lahapnya, menghabisi berbungkus-bungkus nasi padang. Betapa 
> irinya kami. Masih lelah dengan serangan fajar marinir, kami harus merapikan 
> barisan kami untuk melanjutkan peperangan ini.
> 
> Lima menit kemudian, meriam ditembakkan. Seumur hidup baru kami tahu betapa 
> besar suara meriam semacam itu. Gemanya memicu rasa ketakutan. Tiga kali 
> ditembakkan. Barisan kami yang masih tertidur bergegas bangun. Terbangun. 
> Waktu menunjukkan pukul 6.17 menit (9 November 1998). Pagi. Polisi menyerang 
> kami dengan tembakan peluru tajam, gas airmata dan teriakan, caci-makian.
> 
> "Komunis!". "Komunis!". "Mampus kalian". Begitu mereka mencaci kami setahun 
> yang lalu.
> 
> IV
> 
> Tiba-tiba lamunan kami hilang seketika seorang pelajar menghampiri kami. 
> Pelajar, berseragam atasan putih, celana warna abu-abu. Lengkap dengan tas 
> yang melilit pundaknya. "Bang mau lihat nggak?", tanpa ragu ia mendekati 
> kami. Kami hanya tersenyum. Tangannya menjulur ke muka kami.
> 
> "Lo dapet dari mana? Itu kan peluru tajem", seorang teman menyambut terkejut.
> 
> "Gua baru aja dari Karet bang, di sana mahasiswa ditembakin. Mereka pada 
> mundur, semua lari ketakutan. Padahal, kata rencananya mereka juga mau ke 
> sini. gabung sama abang-abang ini". Barisan kami langsung menyelidik.
> 
> "Hah, bener kan, chaos, coy. Nggak mungkin mereka kasih kita kesempatan 
> sebesar dulu lagi." Yang lain menimpali.
> 
> "Ya, lagian jujur saja kitanya juga nggak jelas, dulu kita sudah di DPR tapi 
> malah membubarkan diri, malah ikut-ikut si Amin. Kompromi, soft, mandul 
> dibuatnya. Malah kita dibilang Kiri. Gue aja kagak ngerti apaan sih Kiri 
> ntuh".
> 
> Si pelajar hanya terdiam melihat kami saling bersahutan. Kemudian seketika 
> dari barisan kami melihat seorang anggota TNI dengan tongkat ditangan turun 
> dari kendaraan jeep bersama ajudannya. Dengan senyuman dan raut muka yang 
> tenang seakan sudah sangat terbiasa menghadapi kerumunan massa yang sedang 
> dibalut amarah. Seorang dari kami bergegas mendekati, hendak mencari tahu, 
> apa yang ingin diperbuat anggota TNI tersebut.
> 
> "Selamat sore adik-adik" begitu ia menyapa kami. Rupanya dia ingin 
> memperlakukan rakyat seperti saudara sendiri .
> 
> "Kami mohon ijin sebentar, kendaraan kami ingin lewat, pasukan kami hendak 
> kembali ke barak. Kasihan dari semalam mereka bertugas, capek".
> 
> Lengkap dengan tongkatnya dia mengacungkannya kepada barisan truk yang sudah 
> rapat berbaris di belakang jeep yang dipakainya. Sungguh, dasar militer. 
> Berani sekali ia memerintahkan ratusan orang sedangkan ia hanya seorang diri. 
> Dia memaksa ratusan orang, sekelompok umum, yang menghalau kepentingannya. 
> Dan dasar rakyat, polos, tanpa curiga lantas mengiyakan. Tanda setuju.
> 
> Seorang dari kami langsung meminta si pelajar untuk menghampiri anggota TNI 
> tersebut.
> 
> "Hei Coy, mana peluru tajem lu" seorang teman langsung berdiri dan meminta 
> ditunjukkan peluru yang tadi dipamerkan kepada kami.
> 
> "Ini masih gue pegang bang, memangnya kenapa?" seorang kawan langsung 
> bersiasat.
> 
> "Nah, bagus. Lo bawa tuh peluru ke orang yang megang tongkat itu. Lu tanya 
> sama dia, kenapa anak buah bapak pada nembak pake peluru tajem, bikin mampus 
> orang!?"
> 
> Sebagian lagi mempertegas, membungkusnya dengan rapi.
> 
> "Ya udah cepetan, keburu pergi n'tar"
> 
> Bergegaslah si pelajar. Tanda bahwa ia setuju dengan gagasan yang tiba-tiba 
> saja muncul. Dia berlari menghampiri prajurit TNI yang memegang tongkat 
> komando. Ya, si pelajar melakukannya. Persis saat ia memamerkannya kepada 
> kami. Betapa bangganya ia bisa memiliki peluru tajam sepanjang 7 cm 
> berdiameter 0,5 cm. Dijulurkannya peluru tajam kepada si komandan. Dari jauh 
> kami memperhatikan beramai-ramai, wajah si komandan berubah seketika. Dari 
> tenang menjadi merah, mungkin dia marah, mungkin saja pertanyaan yang tak 
> siap dijawabnya. Dua peluru tajam dalam genggaman si pelajar telah 
> menghancurkan wibawanya seketika di hadapan massa. Dia hanya tersenyum tanpa 
> menjawab si pelajar. Langsung membalikkan badan, menuju jeep dan ajudannya. 
> Sambil berjalan meninggalkan si Pelajar dan kerumunan dia tetap menyatakan 
> keinginannya.
> 
> "Coba, kami meminta tolong, saudara memberikan jalan bagi pasukan saya"
> 
> Sekejap sang komandan telah berada dalam mobilnya. Dia menuju pada kerumunan 
> massa dan membelahnya. Sepuluh kendaraan truk (tronton) yang beratap terpal 
> melintas. Menuju ke arah karet untuk menjemput pasukan yang sedari pagi telah 
> bertugas. Yang capek menjalankan perintah. Ya, menembaki kerumunan massa dan 
> rakyat yang menginginkan perubahan.
> 
> Massa tetap membuat kerumunan. Kendaraan-kendaraan tidak ada yang lewat. 
> Pasca insiden Karet, kendaraan menuju Blok M dan Semanggi telah dialihkan ke 
> jalur Kuningan. Barisan kami mulai mencair. Ada yang mencari masjid, ada yang 
> sibuk membakar ban-ban bekas. Matahari perlahan pergi. Membuat Jalan semanggi 
> menjadi gelap. Hanya lampu jalan bercahaya merkuri menerangi. Suasana 
> bertambah gelap, tiba-tiba saja satu daerah kampus Atmajaya dan sekitarnya 
> menjadi gelap gulita. Mati lampu. Lampu "dipadamkan".
> 
> Hanya kobaran api dari sisa-sisa ban bekas dan lampu parkiran rumah sakit 
> Jakarta yang menggunakan Jenset sebagain menerangi jalan Semanggi. Sisa 
> barisan kami masih duduk-duduk menyantap jagung dan kacang rebus. Yang kami 
> borong, senang si penjual dibuatnya. Ia bangga hari itu bisa terlibat. 
> Meskipun hanya menyediakan jajanan bagi para barisan yang kelaparan dan 
> marah. Dengan ingatan setahun yang lalu ditanah dan diatas aspal ini telah 
> terjadi pembantaian, pembunuhan.
> 
> V
> 
> Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara tembakan. Ditambah raungan mesin 
> tronton memecah suasana Semanggi yang gelap. Waktu menunjukkan pukul 20.10 
> malam. Rentetan senjata semakin keras mendekat. Persis seperti setahun yang 
> lalu. Ketika aparat membubarkan barisan-barisan panjang.
> 
> Barisan pun bubar. Kami berlarian, tercerai berai, mencari tempat 
> perlindungan. Kami semua masih ingat si pelajar yang memamerkan peluru tajam 
> sore tadi, kami tak mau ambil resiko, sembunyi, selmatkan diri masing-masing. 
> Barisan terpecah menjadi dua. Satu ke pasar Benhil dan gedung BRI. Sebagian 
> lagi menuju sisi sebelah kanan, ke rumah sakit Jakarta dan kampus Atmajaya. 
> Ketika kami berlari kami melihat lampu tronton tentara menyala begitu 
> terangnya. Dari kedua sisi mobil mucul warna merah. Dan kepulan asap. Mereka 
> membubarkan kerumunan massa menmebak membabi buta ke arah kerumunan tanpa 
> memberi peringatan apapun.
> 
> Laju kendaraan semakin kecang. Rentetan senjata semakin nyaring. Mengarah ke 
> kedua sisi jalan. Menembaki barisan yang telah terpecah dua. Kami 
> berlari-lari. Kami tak ingin mati saat ini. Setahun yang lalu 18 orang 
> meninggal. Kami tak ingin menambah jumlah korban kesadisan serdadu tiran. 
> Kami berlari dikegelapan. Merundukan kepala kami, berlari zig-zag, merapat 
> pada sisi warung rokok, bahkan sebagian kami nekad menceburkan diri dalam got.
> 
> Lima kendaraan troton aparat lewat. Rombongan kendaraan yang dipimpin oleh 
> sang komandan tadi sore. Penuh dengan aparat yang menembaki kerumunan massa 
> tanpa peringatan. Menghajar barisan kami dengan peluru tajam. Persis peluru 
> yang diperoleh si pelajar. Seorang teman kami roboh tertembak. Empat orang 
> membopongnya. Dua orang di muka memegang tangan dan leher. Dua dibelakang 
> memegang kedua kakinya. Mukanya tertutup rambutnya yang panjang. Bajunya 
> telah berubah warna menjadi merah, karena peluru menembus leher dan dada 
> kirinya.
> 
> Sebagian barisan membawa korban ke Rumah Sakit Jakarta. Sebagian lagi berlari 
> ke Jalan Semanggi untuk memastikan keadaan. Mencari korban lain. Saat kami 
> kembali menyatukan barisan. Rentetan tembakan kembali terdengar. Tronton 
> Kostrad gelombang kedua kembali menyerang. Mereka menembaki barisan kami, 
> barisan rakyat, barisan orang-orang miskin. Kami pun kembali terbelah. 
> Barisan berlari kembali ke dua arah.
> 
> Tidak puas begitu saja, tronton gelombang kedua ini sempat berhenti. Tepat di 
> Jalan menuju Rumah Sakit Jakarta mereka berhenti. Menembak rumah sakit. 
> Mereka benar-benar menembaki kami, memusnahkan kami. Tanpa ampun, seorang 
> anak umur 7 tahun roboh tertembak. Anak jalanan yang ikut bersama barisan 
> sejak tadi sore. Tertembak di dada. Barisan kami menunggu sejenak. Kami tak 
> ingin kecolongan seperti munculnya gelombang tronton yang kedua. Korban 
> kembali berjatuhan. Sepuluh menit kami tak keluar dari persembunyian. Barisan 
> dari arah Pasar Benhil memutuskan untuk kembali ke Jalan Semanggi. Kami pun 
> bergerak mengikuti.
> 
> Kerumunan massa panik, ada yang berteriak, memaki, ada pula yang menangis. 
> Namun sebagian barisan kami terpaku, bingung, di pinggir Jalan Semanggi. 
> Tiba-tiba tanpa perintah, massa menghentikan setiap kendaraan yang lewat. 
> Rombongan Kostrad membuka jalan Semanggi agar kendaraan lewat. Barisan kami 
> panik. Marah sejadi-jadinya. Kami menghentikan setiap mobil yang lewat. Kami 
> melihat dalam-dalam, menatap mata setiap pengendara. Apakah mereka bagian 
> dari aparat. Apakah mereka para serdadu cepak yang berbaju sipil. Kami 
> mengancam, kami bertanya sejadinya. Tapi semua sia-sia, jalanan Semanggi 
> kembali sepi. Barisan kami tercerai berai. 11 orang meninggal, 217 warga 
> sipil menjadi korban kebrutalan aparat.
> 
> Barisan kami lelah. Kami tercerai berai. Kami tidak punya kejelasaan. 
> Perubahan telah direbut barisan tua bangka. Si Amin bersama tua bangka 
> lainnya merebut arah perubahan dari barisan kami.
> 
> --- End forwarded message ---
>


Kirim email ke