http://www.tribun-timur.com/view.php?id=33062&jenis=Opini
Rabu, 13-09-2006 Opini Tribun Wajah Kemiskinan di Media Kita Oleh Farid M Ibrahim Analis Media pada The Private Editors Tokyo Membaca daftar 40 orang terkaya Indonesia yang dirilis majalah Forbes Asia edisi awal September 2006, terkesan tidak ada nama baru yang mengejutkan. Media massa kita pun tampaknya lebih fokus pada urutan nomor satu, karena posisi itu ditempati Sukanto Tanoto yang terlibat kasus bantuan likuidasi Bank Indonesia (BLBI) dengan estimasi kekayaan 2,8 milyar dollar AS. Juga ditampilkan bagaimana reaksi KPK yang terkejut, karena laporan kekayaan Menko Kesra Aburizal Bakrie (urutan ke-6) yang dipegang lembaga ini berbeda dengan yang ditampilkan majalah itu, yakni 1,2 milyar dollar AS. Nama-nama lain adalah mereka yang memang sudah dikenal luas sebagai orang kaya Indonesia. Misalnya, Putera Sampoerna di urutan ke-2 dengan estimasi kekayaan 2,1 milyar dollar AS. Atau Arifin Panigoro (ke-9) dengan 815 juta dollar AS. Ada juga nama HM Aksa Mahmud (ke-28) dengan 195 juta dollar AS, Ciputra (ke-30, 145 juta dollar AS), HM Jusuf Kalla (ke-36, 105 juta dollar AS), dan Jakob Oetama (ke-39, 95 juta dollar AS). Total kekayaan ke-40 orang ini diperkirakan mencapai 22 miliar dollar AS, berada di bawah total kekayaan 40 orang terkaya Singapura yang mencapai 28 milyar dollar AS. Artikel majalah ini ditulis Justin Doebele dan Chaniga Vorasarun, dibantu staf Forbes di Indonesia Shoeb Kagda, Albertus Weldison Nonto, Ishak Rafick, John Riady, Reiner Simanjuntak, dan Yus Husni M Thamrin. Memang tidak seperti biasanya, daftar orang terkaya kali ini disusun dengan memasukkan estimasi kekayaan keluarga masing-masing. Dasar perhitungan yang digunakan, menurut penjelasan Forbes, adalah dengan melihat saham perusahaan yang dimiliki ke-40 orang terkaya ini, baik perusahaan publik maupun perusahaan private. Yang dihitung adalah nilai perusahaan yang diperdagangkan dengan menggunakan harga saham dan nilai tukar saat ini. Forbes juga mengestimasi nilai perusahaan private jika seandainya dibuat menjadi perusahaan publik. Forbes menyimpulkan bahwa dari daftar ini terlihat aset terbesar Indonesia adalah rakyatnya yang banyak. Lebih separuh dari daftar termasuk kategori pengusaha yang mengandalkan mass-market. Misalnya Rachman Halim (ke-4), R Budi Hartono (ke-5), dan Putera Sampoerna (ke-2), semuanya mengandalkan penjualan rokok kretek yang pasarnya memang sangat besar (kini Sampoerna telah dijual ke Phillip Morris). Lalu, Trihatma Haliman (ke-8, 900 juta dollar AS) adalah pengusaha real estate. Juga ada pengusaha sabun cuci Wings Biru, Eddy William Katuari (ke-7, 1 milyar dollar AS); pengusaha makanan Liem Sioe Liong (ke-10, 800 juta dollar AS), dan pengusaha teh botol Soegiharto Sosrodjojo (ke-26, 215 juta dollar AS). Semuanya mengandalkan basis pasar Indonesia yang besar. Disputable Reaksi adem-adem yang ditampilkan media kita terhadap daftar Forbes itu mudah dipahami; pertama karena kriteria yang digunakan masih bisa diperdebatkan (disputable). Mereka yang masuk dalam daftar itu menyambut dingin, sebagian malah heran dan bergurau "maunya sih benar begitu" sebagaimana diungkapkan Aburizal Bakrie. Karenanya, media tampaknya menyadari, bahwa daftar kekayaan versi Forbes itu tidak akan mempunyai implikasi hukum, khususnya bagi pejabat publik yang kebetulan termasuk di dalamnya. KPK sebagai lembaga anti-korupsi yang memegang data kekayaan pejabat-pejabat publik kita, tidak bisa mempersoalkan perbedaan angka kekayaan secara legitimatif karena kriteria yang digunakan memang berbeda. Kedua, kebetulan pekan-pekan sebelumnya media kita dipenuhi perdebatan tentang daftar orang-orang termiskin Indonesia menyusul pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di depan sidang paripurna DPR 16 Agustus 2006. Karena angka pengangguran dan jumlah orang miskin yang dirilis dalam pidato itu menggunakan data lama, sebagian ekonom mempersoalkannya sebagai upaya yang disengaja untuk mengesankan keberhasilan pemerintahan ini mengatasi problem terbesar bangsa, yakni pengangguran dan kemiskinan. Setelah BPS merilis data terbaru per 1 September 2006 ternyata benar, jumlah orang miskin mengalami peningkatan. Kepala BPS Rusman Heriawan mengumumkan hasil survei lembaganya dengan menyebut jumlah penduduk miskin Indonesia hingga Maret 2006 mencapai 39,05 juta orang atau 17,75 persen dari total penduduk 220 juta orang. Ini berarti meningkat 3,95 juta orang dibanding Februari 2005. Tambahan penduduk miskin di pedesaan mencapai 2,06 juta dan di kota bertambah 1,89 juta. Jika untuk masuk kategori 40 orang terkaya Indonesia versi Forbes, seseorang harus memiliki kekayaan minimal 80 juta dollar AS (setara Rp 730,5 miliar pada kurs Rp9.132), maka untuk masuk ke dalam kategori miskin, BPS menetapkan garis kemiskinan Rp 152,847 per jiwa tiap bulan. Menurut data BPS, pada 1998 jumlah orang miskin mencapai 49,5 juta orang (24,23 persen). Lalu, pada tahun 2001 menjadi 37,9 juta, naik lagi jadi 38,4 juta pada tahun 2002, dan turun menjadi 35,1 juta orang atau 15,97 persen di tahun 2005. Kini, ada tambahan hampir empat juta orang miskin baru, mereka yang tidak mempunyai penghasilan mencapai Rp152,847 perbulan. Fokus Liputan Bagi media massa, isu kemiskinan biasanya ditampilkan dengan fokus liputan pada angka-angka statistik, baik yang bersumber dari pidato pejabat maupun dari lembaga independen seperti BPS dan lembaga penelitian. Fluktuasi figur kerap jadi headline karena mengandung unsur immediacy (kesegeraan) dari teori informasi yang dianut oleh media massa dimana-mana. Angka dan persentase kemiskinan tampak lebih menarik untuk diketahui segera; sehingga publikasi data ini lewat pidato pejabat atau hasil survei selalu menarik perhatian media. Apalagi jika dalam pidato pejabat itu terdapat data yang berbeda dengan kondisi riil di masyarakat, sebagaimana terjadi dalam pidato kenegaraan Presiden SBY. Dapat dipahami jika kontras data inilah yang dipersoalkan dan dijadikan fokus liputan media, sementara orang miskinnya sendiri seolah-olah terlupakan. Dengan tingkat literasi media yang rendah, mereka bahkan sulit mengikuti perdebatan yang terjadi, baik karena tidak mempunyai akses ke media maupun karena dengan penghasilan di bawah Rp 152 ribu perbulan, mereka tidak punya waktu untuk itu. Perdebatan tentang angka kemiskinan ini pun menjadi perdebatan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan orang miskin. Mereka berada di luar sana, berjuang mengisi perutnya hari ini, tanpa tahu bahwa di dalam ruangan ini ada seorang pemimpin yang merasa malu karena legitimasi pemerintahannya sedang digoyang oleh sejumlah ekonom yang tidak puas. Saya dapat mengerti kerisauan Wakil Presiden Jusuf Kalla terhadap ekonom-ekonom itu, sebagaimana dikemukakannya dalam keterangan pers di kantor Wapres ketika masalah ini sedang hangat dibahas di media. Jika media hendak menjawab kerisauan ini, isu kemiskinan kiranya mulai difokuskan pada perjuangan riil orang-orang miskin sehari-hari di sekitar kita. Misalnya, ditampilkan berita-berita yang menggugah, memberi inspirasi, tentang bagaimana orang miskin mengatasi persoalan hidupnya, dan menyekolahkan anak-anaknya. Saya hanya membayangkan bagaimana jika 40 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes Asia itu, mengambil tanggung-jawab mengatasi empat juta orang miskin baru di tanah air. Masing-masing menangani 100 ribu orang miskin. Gampang dan sederhana. Tapi saya tahu, ini cuma angan-angan di siang bolong. Malah, mungkin ada yang bilang, "I don't care". (*) [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/