Posted by: Ade Armando
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

Rekan-rekan.

Bulan Juli 2007 lalu, saya sempat mewawancarai Ulil Abshar untuk keperluan 
edisi contoh majalan Madina yang sedang saya garap bersama Ihsan Ali Fauzi dan 
Farid Gaban.

Majalah edisi contoh itu sudah jadi dan digunakan untuk keperluan terutama 
mencari sponsor, iklan dan penyandang dana.

Wawancara dengan Ulil itu niatnya juga akan dimuat dalam edisi perdana. Tapi 
daripada menunggu lama, saya rasa saya 'bocorkan' dulu saja hasil wawancara itu 
pada peserta milis, mengingat isinya menurut saya bagus untuk dishare.

Kami ngobrol terutama soal kenapa harus jauh-jauh belajar Islam di AS. 
Pembicaraan tentu saja berkembang tentang pengamatan dia mengenai perkembangan 
studi Islam di AS.

Berikut saya copykan hasil wawancara itu

ade armando

-------------------------------------------

AA: Anda sekarang melanjutkan studi Islam di AS. Kabarnya Anda memfokuskan 
perhatian pada studi Islam klasik, mengapa?

Ulil: Saya sebetulnya ke Boston University tidak untuk belajar khusus tentang 
pemikiran Islam klasik. Tapi di semester pertama, saya sengaja mengikuti sebuah 
matakuliah tentang Fakhruddin Al-Razi, seorang penafsir penting dalam tradisi 
teologi Asyariyah abad ke 13, dari Persia. Saya mengikuti kuliah itu karena 
suka saja, bukan karena diwajibkan. Tapi karenanya, saya menjadi harus membaca 
pemikiran-pemikiran dia. Ternyata Al-Razi itu menarik sekali. Dia seorang 
polemikus ulung yang secara terbuka berhadap-hadapan dengan kaum rasionalis, 
Mutazilah. Saya belajar tentang bagaimana Al-Razi memanfaatkan bahan-bahan dari 
filsafat Yunani dalam membela argumennya.

Saya melihat ada begitu banyak hal dalam struktur pemikirannya yang dapat 
digunakan dalan diskusi modern. Karena itulah kemudian saya memutuskan untuk 
mempelajari lebih dalam Islam klasik. Di Boston saya hanya kuliah dua tahun. 
Ternyata waktu itu pendek sekali. Di Harvard nanti, untuk program doctoral 
saya, saya akan lebih jauh mendalami pemikiran-pemikiran Islam klasik ini.

AA: Apa yang penting dari Islam klasik itu?

Ulil: Banyak sekali. Saya belajar bagaimana tokoh-tokoh Islam pada zamannya 
telah menjalani perdebatan tentang banyak isu sceara cerdas yang sekarang 
kembali didiskusikan dengan cara yang kadang terlalu sengit dan justru menemui 
kebuntuan.

Misalnya saja, isu tentang aspek-aspek mana saja dalam Alquran yang bisa diubah 
dan yang tidak. Atau apa kedudukan akal dalam agama, apakah sumber kebenaran 
itu akal atau wahyu? Itu semua adalahk tidak nyambung dgnkeadaan sekarang. 
Kalau orang tidak dibekali dengan alat untuk menganalisis, sulit sekali untuk 
memahami substansi teks tersebut. Perlu ketabahan sendiri untuk mempelajarinya.

Kalau saya membacanya sebelum saya berangkat ke sana, mungkin teks-teks itu pun 
tidak akan berbunyi apa-apa. Tapi begitu kita membacanya dengan kerangka 
analisis tertentu, menarik sekali. Banyak peminat Islam di Indonesia ini tidak 
memiliki akses ke sumber-sumber klasik ini. Dan kalaupun punya, mereka tidak 
memiliki lensa yang dibutuhkan untuk membaca teks-teks tersebut sehingga 
memiliki makna.

AA: Tapi kenapa ke AS, untuk studi tentang Islam.

Ulil: Saya rasa studi Islam terbaik saat ini ada di Barat. Mereka memiliki 
kultur kesarjanaan yang tidak ada dalam dunia Islam. Studi Islam di Barat 
dilakukan tidak atas dasar iman, jadi tidak faith-based. Dan ini menjadi justru 
sumber keunggulan mereka. Karena dengan demikian, mereka bebas mengeksplorasi 
Islam sebagai subjek pengetahuan, tanpa ada beban bahwa kajian itu harus sampai 
pada kesimpulan yang mengkonfirmasi atau menolak kebenaran sebuah doktrin.

Saya rasa itu sangat membebaskan banyak hal. Teks menjadi bisa berbunyi apa 
saja.
Sementara di dunia Islam, yang terjadi sebaliknya. Penelitian dilakukan untuk 
mengkonfirmasi kebenaran sebuah doktrin, sebuah dogma.

Akibatnya studi Islam di Barat tumbuh luar biasa. Para sarjana di sana bebas 
untuk melakukan berbagai eksperimen dengan sejumlah metode. Misalnya, dalam 
studi hadist. Sejauh-jauhnya seorang sarjana Islam meneliti Hadis, dia tidak 
akan bisa melepaskan diri dari cara pandang yang yang bertumpu pada sanad, mata 
rantai hadis. Jadi seorang sarjana Islam akan bertanya: Apakah mata rantai 
sumber hadis itu sudah benar? Apakah yang meriwayatkan hadis adalah orang baik 
dan bisa dipercaya? Kalau jawabannya, semua baik, maka hadis tersebut akan 
dengan sendirinya dianggap benar. Akibat kepercayaan akan prinsip sanad 
tersebut, sarjana Islam enggan untuk mempertanyakan kebenaran hadis dari sisi 
isi-nya, dari sisi formulasi redaksionalnya.

Itu yang tidak membebani sarjana Barat. Mereka tidak punya kendala untuk 
memverifikasi, menguji kebenaran hadis dari sisi isi. Sehingga dari 
sarjana-sarjana Baratlah ditemukan bahwa banyak dari hadis yang selama ini 
diterima sebagai benar oleh para ahli fiqih ternyata sebenarnya palsu, misalnya 
untuk mendukung posisi legal dalam perdebatan hukum yang tidak mungkin 
dikatakan Nabi. Kritik semacam ini tidak akan bisa datang dari skema sanad yang 
dipercaya sarjana Muslim.

AA: Tapi yang justru dikuatirkan, tanpa paradigma yang faith-based ini, Islam 
akan dipandang sebagai tidak suci lagi dan akan menjadikan sarjana Islam 
menjauh kebenaran agamanya

Ulil: Itu miskonsepsi. Dalam tradisi ilmiah, tidak ada keyakinan yang permanen. 
Setiap pernyataan ilmiah harus bisa dipertanyakan kembali, difalsifikasi. 
Kesimpulan akan mengalami koreksi terus menerus. Namun justru karena itu, kita 
melihat bahwa dari para sarjana yang melakukan studi Islam di Barat, tumbuh 
sikap yang semakin simpatik pada Islam. Ini terjadi karena kesimpulan-kesimpul 
an studi Islam di masa lalu tidak diterima sebagai kesimpulan yang abadi dan 
terbuka untuk dikritik. Itu berbeda dengan studi Islam di dunia Islam, yang 
kecenderungan umumnya adalah melahirkan bukan statement ilmiah tapi statement 
iman, sehingga tidak bisa dikoreksi.

Di Barat, studi Islam memang diawali dengan skeptisisme terhadap Islam. Tapi 
studi itu terus berkembang, menjalani koreksi terus menerus, sehingga justru 
saat ini yang lahir justru sikap yang semakin simpatik

AA: Ada kekhawatiran bahwa para sarjana Islam yang belajar ke Barat akan pulang 
dengan mempertanyakan Islam sendiri.

Ulil: Kita memang harus membedakan antara Islam sebagai iman dan Islam sebagai 
bidang studi. Tapi saya harus katakan, bahkan sarjana klasik Islam jauh lebih 
menyadari itu. Iman tetap merupakan kerangka besar, tapi mereka tidak dihantui 
oleh itu.

Misalnya tokoh Islam klasik, Al-Suyuthi. Dia menulis pada abad ke-16 bahwa 
dalam Alquran sebenarnya ada kesalahan gramatik. Ini persoalan besar karena 
bagi orang Islam, Quran adalah sebuah mukjizat literal. Kalau ada kesalahan 
gramatik, bagaimana bisa disebut keajaiban?
 Kalau ternyata ada kesalahan, bagaimana dia bisa disebut sempurna?

Tapi Al-Suyuthi menuliskannya. Dan dalam bukunya, ia menunjukkan ada tiga ayat 
Quran yang mengandung kesalahan gramatik. Jadi ada isi Quran yang menyalahi 
kaidah bahasa Arab. Buku itu jelas menggangu sekali sarjana Quran. Tapi toh 
buku itu diizinkan terbit, tidak dilarang, tidak pernah diharamkan di masanya. 
Ini menunjukkan bahwa dalam khazanah klasik, Islam sebagai objek studi 
dipandang sebagai sesuatu yang relatif independen. Ia dilepaskan dari masalah 
iman atau tidak iman. Buat saya yang terpenting bahwa Al-Suyuthi memuat itu 
dalam bukunya. Yang ternyata sekarang tidak dimuat oleh pengkaji Islam modern.

Contoh lain, umat Islam saat ini percaya bahwa jumlah surat Quran itu ada 114 
dengan susunan yang sudah pasti. Al-Suyuthi menyatakan bahwa urut-urutan surat 
dalam Quran sebenarnya tidak selalu sama. Ada beberapa Quran yang dimiliki 
sahabat yang susunannya berbeda.

Bahkan ada dua tambahan surat dalam Quran Ibn Masud yang tidak dikenal  dalam 
Quran yang
kita kenal sekarang. Saya tidak ingin mengangkat kembali debat tentang berapa 
sebenarnya jumlah surat Alquran. Poin terpentingnya adalah studi tentang Quran 
di masa lalu dilakukan secara terbuka dan dihadapi dengan biasa saja.

AA: Tapi kesimpulan itu tidak diterima sebagai kesimpulan mainstream

Ulil: Ya para sarjana modern berusaha menghindari dari perdebatan itu dengan 
mengatakan bahwa apa yang dinyatakan Assuyuti tidak reliable, tidak lulus test. 
Jadi diskusi lebih lanjut dihentikan karena ditutup dengan kesimpulan bahwa 
buku itu tidak bisa diterima kebenarannya. Mereka melindungi orotodoksi agama 
dengan tidak membicarakannya. Seolah karya Al-Suyuthi ini tidak pantas 
ditelaah, tidak relevan. Padahal ia dikenal sebagai ahli hadis.

AA: Bagaimana sikap Anda sendiri?

Ulil Sebetulnya saya tahu sudah lama. Tapi setelah saya  membacanya kembali, 
saya shock sekali.

AA: Itu tidak mengurangi keyakinan Anda pada Islam?

Ulil: Tidak mengurangi keyakinan saya pada Quran. Tapi  tentu itu mengubah cara 
saya mendekati Quran. Pada akhirnya saya percaya Alquran adalah kitab suci. 
Tapi itu tidak berarti bahwa dia harus terbebas dari kritik atau terbebas dari 
kemungkinan dia bisa dibicarakan secara kritis. Saya berkesimpulan, Quran 
adalah teks yang diimani melalui sebuah proses yang memiliki sejarahnya 
sendiri. Quran bukan teks yang sekali jadi. Quran adalah teks yang terbuka.

AA: Dan ada kemungkinan Al-Suyuthi salah...

Ulil: Tentu saja selalu ada kemungkinan itu. Dan itulah baiknya kita mendekati 
objek studi tanpa basis keyakinan, yaitu ini pun bukan kesimpulan akhir. Dia 
memang bukan kesimpulan yang ngarang-ngarang, arbitrer, tapi dia juga bukan 
sesuatu yang mutlak benar sehingga selalu harus terbuka untuk kritik. Dia 
menggunakan data, dan data itu bisa juga dipersoalkan.

AA: Jadi sebenarnya tidak ada masalah bahwa Anda berangkat ke Amerika dengan 
keyakinan tertentu, dan di sana Anda akan menemukan data baru yang mungkin 
berbeda dengan apa yang diyakini selama ini....

Ulil: Tidak ada masalah, dan yang sebaliknya pun terjadi. Mungkin Anda 
berangkat dengan sikap tidak percaya pada Tuhan, atau mungkin agnostik, dan 
berujung pada simpati. Banyak sekali sarjana Barat yang mempelajari Islam 
dengan skpetistisme yang kadang radikal dan berujung pada simpati yang mendalam 
pada Islam. Salah satu contoh terbaik adalah Annemarie Schimmel. Dia tidak 
pernah menajdi muslim, dan dia memulai perkenalannya dengan Islam secara 
skeptis. Namun kemudian, setelah dia belajar soal Islam, dia menjadi sarjana 
yang sangat bersimpati pada Islam.

Bagi orang Islam seperti saya, belajar Islam dengan cara seperti di Barat tidak 
membawa keruntuhan keyakinan melainkan membuka kita terhadap begitu banyak 
kemungkinan yang didasari studi ilmiah. Saya merasa tidak ada suatu ancaman 
besar terhadap keIslaman saya. Di sini sayapun membaca karya-karya sarjana yang 
sangat kasar dan sinis teradap Islam, seperti Why I am Not a Muslim dari Ibnu 
Warraq. Tapi saya merasa tidak terancam, karena saya menganggap itu hanyalah 
studi ilmiah yang dalam kenyataannya juga dibantah oleh para sarjana Barat 
lainnya. Itu hanyalah salah satu statement ilmiah tentang Islam, tapi bukan 
satu-satunya. Karena statement itu banyak, maka dia saling mengkoreksi.

Karakter kesarjanaan itu yang tidak dipahami banyak orang Islam. Mereka memang 
skeptis, tetapi terus melakukan self-criticism, saling mengkoreksi. Mereka 
terbuka terhadap segala kemungkinan, termasuk mendengarkan suara orang Islam.

AA: Tapi memang ada masa dimana studi Islam di Barat justru cenderung melihat 
Islam dalam konteks hubungan penjajah dan yang dijajah

Ulil: Ya, tapi itu sudah hilang, sudah lewat masanya. Orientalisme yang sinis 
terhadap Islam, yang melecehkan Islam, seperti Ernest Renan di Prancis di abad 
19, sudah tidak lagi.

AA: Tapi bagaimana dengan tuduhan bahwa orientalisme dilatarbelakangi oleh 
hasrat kapitalisme, hasrat penjajahan

Ulil: Salah satu kritik yang paling tajam kan datang dari Edward Said. Tapi 
kritik semacam itu menurut saya tidak fair, dalam banyak hal. Bagi para penulis 
kritis itu, orientalisme adalah alat kontrol yang dipakai Barat untuk menguasai 
Islam. Saya tidak setuju. Saya anggap, hasrat mengetahui adalah hasrat inheren 
dalam diri manusia.

Memang hasrat mengetahui bisa digunakan untuk menguasai orang lain, tapi itu 
bukan kecenderungan yang intrinsik dalam manusia.

Saya percaya bahwa hasrat mengetahui sebenarnya adalah impuls dasar manusia 
untuk mengetahui segala hal. Penyalahgunaan pengetahuan untuk menguasai datang 
kemudian. Bila Anda memandang orientalisme bukan sebagai abstrak, bukan sebagai 
sebuah kategori besar, dan Anda berhadapan orang per orang, Anda akan tiba pada 
kesimpulan berbeda. Tidak mungkin kita melihat Annemarie Schimmel sebagai orang 
yang berhasrat menguasai Islam. Mungkin saja ada sebuah institusi di luar sana 
yang memanfaatkan karya Schimmel untuk menguasai, tapi itu isu lain.

AA: Tapi tidakkah Anda melihat bahwa tumbuhnya studi tentang Islam yang 
berlangsung di pusat-pusat penelitian, universitas- unversitas Barat ini turut 
dipengaruhi hasrat untuk memahami Islam demi kepentingan ekonomi dan politik.

Ulil: Oh ya, itu pasti ada, karena bukankah penelitian-penelitian itu sebagian 
dananya datang dari negara? Tetapi hasrat kekuasaan yang datang dari luar 
masyarakat akademis ini tidak akan sepenuhnya dapat mengendalikan pengetahuan. 
Kalaupun pengetahuan hendak diarahkan untuk melayani kepentingan tertentu, akan 
ada pemberontakan.

Dan itulah yang terjadi dalam studi Islam di Barat saat ini.

Kritik-kritik terhadap kebijakan luar negeri Bush saat ini datang dari  
profesor-profesor yang
mengajarkan Islam di universitas Barat. Daniel Pipes, seorang ilmuwan AS yang 
sangat sinis pada Islam, membuat sebuah website bernama Campus Watch, untuk 
antara lain  memonitor
profesor-profesor di AS yang anti Israel dan anti kebijakan AS. Ternyata 
sebagian besar profesor yang masuk kategori itu ada di Departremen of Islamic 
Studies. Dan itu profesor-profesor kulit putih, bukan orang timur tengah.

Jadi pengetahuan bisa diselewengkan untuk kepentingan kekuasaan, tapi pada 
akhirnya disiplin ilmu pengetahuan memiliki otonominya sendiri. Dia bisa 
dipakai, tapi pada akhirnya kalau dia diperlakukan semacam itu, dia akan 
memberontak. Kekuasaan punya batas. Studi Islam punya otonomi yang non-faith 
based, yang terus mengkoreksi dirinya sendiri. Dan apa yang dihasilkan oleh 
masyarakat peneliti di sana bukan hanya bermanfaat bagi studi Islam tapi juga 
memberi masukan berharga bagi para policy makers dalam memandang dunia Islam.

Saya percaya bahwa kalau ilmu pengetahuan dilepaskan dari beban non-ilmiah, 
termasuk di dalamnya beban iman, maka ia akan membawa kemaslahatan yang besar 
bagi seluruh masyarakat.

AA: Anda berada di sana, Anda tidak melihat semacam konspirasi?

Ulil: Kalau saya duduk di kelas, saya memandang seorang profesor, ... ya dia 
adalah seorang sarjana, ilmuwan yang bekerja dengan data, menggunakan teori, 
berusaha menjelaskan fakta dengan teori-teori tersebut, dan kemudian bisa 
dichallenge oleh siapa saja.

Saat ini semakin banyak orang seperti Esposito, Karen  Armstrong yang sangat 
bersimpati pada Islam. Sedemikian banyak, sehingga sekarang terjadi pendulum 
balik. Ada kekuatiran bahwa sekarang kok studi Islam maunya memuji-muji Islam 
saja. Kok tidak ada kritik? Ada semacam kerisauan bahwa ada sikap berlebihan 
untuk menjaga political corectness. Seolah-olah kalau ada mengkiritik Islam, 
Anda menjadi politically incorrect. Sekarang ini, kecenderungan itu dikritik 
kembali oleh sejumlah sarjana karena dianggap mulai tidak sehat. Tapi ya memang 
begitulah. Iklim pengetahuan di sana sangat dinamis -- lari ke kiri kekanan, 
tapi at the end of the day, dia terus mempebaiki dirinya sendiri.

AA: Anda melihat studi di AS menjadi lebih baik daripada Eropa?

Saat ini memang yang terbaik di AS. Banyak sekali sarjana terkemuka Eropa 
pindah ke AS. Baik karena dana riset di AS yang jauh lebih besar, maupun karena 
iklim akademik AS jauh lebih baik. Studi Islam di AS pelan-pelan melampaui 
Eropa. Walaupun masterpiecenya masih di Eropa, peninggalan dari masa lalu.

Dan yang berkembang bukan cuma perguruan tinggi yang non-faith based, namun 
juga yang berbasis agama. Saat ini di beberapa tempat, lahir sekolah-sekolah 
tentang Islam yang berbasis agama. Tapi pendekatannya juga terbuka. Dan ini 
yang menurut saya juga merupakan
pengaruh dari studi-studi Islam yang non-faith based tadi.

Kesimpulan-kesimpul an ilmiah yang dilahirkan dan disebarkan lembaga 
pengetahuan akan mengkoreksi keyakinan-keyakinan umat bergama yang ternyata 
tidak memiliki dasar ilmiah.. Corak pemahaman keagamaan Islam di AS mau tidak 
mau memperhitungkan kesimpulan2 ilmiah yang masuk akal. Mereka menjadi lebih 
toleran, lebih terbuka lebih
menggunakan akal ...

AA: Interaksi itu turut mengubah corak keberagamaan kaum imigran?

Ulil: Imigran generasi pertama tentu tidak. Tapi anak-anak mereka kan 
bersekolah?. Bahkan sebagian dari mereka mengikuti studi Islam di perguruan 
tinggi. Itu berpengaruh terjadap komunitas Islam. Karena itulah saya berharap 
banyak pada pertumbuhan Islam di Barat.
 Karena mereka tumbuh dalam peradaban yang mewarisi renaissance, maka Islam 
yang berkembang di Barat pasti akan bicara dalam semangat renaissance.

Mereka harus menginkorporasikan buah pikiran Immanuel Kant, Rosseau; dan tidak 
bisa semata-mata bicara filsafat Al Ghazali, Ibnu Rusy, .. .

Saya menunggu dengan berdebar2 corak Islam seperti apa yang akan  lahir dari 
peradaban.

AA: Anda sudah melihat lahirnya corak2 baru itu?

Ulil: Ya, itu berlangsung. Sebagai contoh Irshad Mandji. Dia seorang wanita 
muda yang sangat aktif bicara soal Islam, keturunan India berasal dari Uganda, 
cantik, mendirikan sebuah projek bernama projek ijtihad. Dia mengaku muslimah 
tapi sekaligus lesbian. Ini tidak mungkin terjadi di luar Amerika. Dia 
menyuarakan pesan2 Islam, deeply comitted to Islam. Sangat konfrontatif. Dia 
mengkritik keras para ulama. Dia buat acara di televisi PBS, berjudul Faith 
Without fear. Dia membaca Quran dengan cara rasional tanpa mengabaikan aspek2 
spiritual dalam Islam.

Bahkan di sana sekarang ada komedi muslim. Ada standup comedian yang 
mengkomedikan Islam. Mengejek Islam, tapi juga mengejek cara orang AS memandang 
Islam. Semua disampaikan secara santai ....

AA: Jadi Anda menunggu dengan berdebar-debar dan  optimistis?

Ulil: Saya opitmistis, karena infrastruktur yang ada memungkinkan lahirnya 
renaissance dalam Islam. AS berbeda dengan Eropa. Di Eropa kan kebanyakan 
imigran Islamnya adalah pekerja kasar, ekonomi rendah. Di AS, kebanyakan kan 
datang ke AS untuk sekolah. Sebagian memang imigran dari masa lalu yang 
meninggalkan tanah kelahirannya karena situasi politik atau
perang, tapi sekarang kan sudah generasi kedua dan ketiga yang sudah sekolah di 
AS juga.

AA: Anda bicara infrastruktur pendidikan juga,..perpustakaan?

Ulil: Perpustakaan memang penting. Tapi yang lebih penting adalah publikasi. 
Produksi buku tg Islam di sana luar biasa mengagumkan. Setiap bulan terbit buku 
baru tentang Islam. Ini dimungkinkan karena kultur akademik yang baik.

Dalam hal studi Islam misalnya, mereka memiliki bahan-bahan yang dapat 
dieksplorasi secara berkelanjutan. Di Barat, perpustakaan bukan hanya menyimpan 
buku-buku tercetak, tapi juga
 manuskrip-manuskrip klasik asli dalam tulisan tangan yang berabad-abad 
usianya. Melalui
manuskrip-manuskrip itulah, lahir berbagai studi verifikasi teks. Dengan 
ketersediaan teks yang berlimpah, para sarjana melakukan studi mengenai 
misalnya, apakah teks ini memang benar ditulis oleh Al Ghazali; atau kalaulah 
benar, apakah ini ditulis oleh penyalin yang memang berusia dekat dengan usia 
Al Ghazalli, apakah penyalinan ditulis dengan lengkap dan utuh..

Dengan demikian, sebuah teks, sebuah manuskrip memiliki sejarahnya sendiri. 
Teks bisa diuji dengan hukum2 yang objektif. Dan itu kemudian berlaku untuk 
semua teks, termasuk pada Alquran juga.

Studi manuskrip menjadi salah keunggulan Barat. Yang baru belakangan dikuti 
oleh dunia Islam. Dalam hal jumlah manuskrip, perpustakaan besar seperti di 
Princeton University AS, mungkin kalah dari perpustakaan Islam di Turki atau 
Mesir, misalnya. Tapi orang yang bekerja
mempelajari, memverifikasi manuskrip-manuskrip itu lebih banyak di AS.

AA: Apakah Anda bisa membayangkan studi serupa berkembang di Indonesia.

Ulil: Sebenarnya studi Islam di sini perlahan-lahan berkembang menjadi 
kesarjanaan non-faith based. Tapi tidak bisa sepenuhnya. Beban keimanan itu 
tidak akan bisa hilang. Karena itu saya rasa studi Islam di dunia Islam tetap 
membutuhkan studi Islam di dunia barat. Sebagaimana studi Hindu di India tidak 
bisa melepaskan diri dari komitmen kehinduan.

AA: Anda sudah dua tahun di AS. Bagaimana Anda memandang perkembangan
Indonesia dari jauh?

Ulil: Satu hal yang saya lihat adalah bahwa sekulerisme itu akan sangat 
dirasakan manfaatnya ketika Anda menjadi minoritas. Ketika Anda mayoritas, Anda 
tidak benar-benar menyadari manfaatnya. Orang2 Islam di AS saya rasa 
pelan-pelan mengakui betapa enaknya hidup dalam sebuah negara yang menganut 
sekulerisme, daripada kalau AS pelan-pelan menjadi negara Kristen sebagaimana 
yang diagendakan kaum Evangelical.

Saya rasa kaum Islam akan mengapresiasi renaissance, persis karena mereka di 
sana. Sekulerisme di AS kan bukan hostile secularism melainkan 
religion-friendly secularism. Karena itu terpaan sekulerisme pada kaum Islam 
sebagai minoritas itu penting sekali. Saat ini kosa-kosa kata yang digunakan 
aktivis Muslim AS sudah kosakata sekuler. Misalnya civil liberty, hak-hak 
sipil. Itu kosakata sekuler. Orang berjenggot Wahabi di sana pun menggunakan 
kata civil rights. Ya, memang pertama-tama mereka menggunakan kosakata itu 
berdasarkan asas manfaat, karena menguntungkan kaum muslim minoritas. Tapi 
perlahan-lahan saya percaya mereka akan meyakini itu. Saya mereka akan secara 
tulus menghayati norma-norma hak sipil.

AA: Jadi semakin Anda di AS, Anda semakin sekuler?

Ulil: Hmmm saya rasa saya semakin mengapresiasi. 

--
 Posted By  mediacare  to  zamanku  at  12/28/2007 09:39:00 AM

blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com 
   

       
---------------------------------
Looking for last minute shopping deals?  Find them fast with Yahoo! Search.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke