Posted by: Ade Armando E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Rekan-rekan. Bulan Juli 2007 lalu, saya sempat mewawancarai Ulil Abshar untuk keperluan edisi contoh majalan Madina yang sedang saya garap bersama Ihsan Ali Fauzi dan Farid Gaban. Majalah edisi contoh itu sudah jadi dan digunakan untuk keperluan terutama mencari sponsor, iklan dan penyandang dana. Wawancara dengan Ulil itu niatnya juga akan dimuat dalam edisi perdana. Tapi daripada menunggu lama, saya rasa saya 'bocorkan' dulu saja hasil wawancara itu pada peserta milis, mengingat isinya menurut saya bagus untuk dishare. Kami ngobrol terutama soal kenapa harus jauh-jauh belajar Islam di AS. Pembicaraan tentu saja berkembang tentang pengamatan dia mengenai perkembangan studi Islam di AS. Berikut saya copykan hasil wawancara itu ade armando ------------------------------------------- AA: Anda sekarang melanjutkan studi Islam di AS. Kabarnya Anda memfokuskan perhatian pada studi Islam klasik, mengapa? Ulil: Saya sebetulnya ke Boston University tidak untuk belajar khusus tentang pemikiran Islam klasik. Tapi di semester pertama, saya sengaja mengikuti sebuah matakuliah tentang Fakhruddin Al-Razi, seorang penafsir penting dalam tradisi teologi Asyariyah abad ke 13, dari Persia. Saya mengikuti kuliah itu karena suka saja, bukan karena diwajibkan. Tapi karenanya, saya menjadi harus membaca pemikiran-pemikiran dia. Ternyata Al-Razi itu menarik sekali. Dia seorang polemikus ulung yang secara terbuka berhadap-hadapan dengan kaum rasionalis, Mutazilah. Saya belajar tentang bagaimana Al-Razi memanfaatkan bahan-bahan dari filsafat Yunani dalam membela argumennya. Saya melihat ada begitu banyak hal dalam struktur pemikirannya yang dapat digunakan dalan diskusi modern. Karena itulah kemudian saya memutuskan untuk mempelajari lebih dalam Islam klasik. Di Boston saya hanya kuliah dua tahun. Ternyata waktu itu pendek sekali. Di Harvard nanti, untuk program doctoral saya, saya akan lebih jauh mendalami pemikiran-pemikiran Islam klasik ini. AA: Apa yang penting dari Islam klasik itu? Ulil: Banyak sekali. Saya belajar bagaimana tokoh-tokoh Islam pada zamannya telah menjalani perdebatan tentang banyak isu sceara cerdas yang sekarang kembali didiskusikan dengan cara yang kadang terlalu sengit dan justru menemui kebuntuan. Misalnya saja, isu tentang aspek-aspek mana saja dalam Alquran yang bisa diubah dan yang tidak. Atau apa kedudukan akal dalam agama, apakah sumber kebenaran itu akal atau wahyu? Itu semua adalahk tidak nyambung dgnkeadaan sekarang. Kalau orang tidak dibekali dengan alat untuk menganalisis, sulit sekali untuk memahami substansi teks tersebut. Perlu ketabahan sendiri untuk mempelajarinya. Kalau saya membacanya sebelum saya berangkat ke sana, mungkin teks-teks itu pun tidak akan berbunyi apa-apa. Tapi begitu kita membacanya dengan kerangka analisis tertentu, menarik sekali. Banyak peminat Islam di Indonesia ini tidak memiliki akses ke sumber-sumber klasik ini. Dan kalaupun punya, mereka tidak memiliki lensa yang dibutuhkan untuk membaca teks-teks tersebut sehingga memiliki makna. AA: Tapi kenapa ke AS, untuk studi tentang Islam. Ulil: Saya rasa studi Islam terbaik saat ini ada di Barat. Mereka memiliki kultur kesarjanaan yang tidak ada dalam dunia Islam. Studi Islam di Barat dilakukan tidak atas dasar iman, jadi tidak faith-based. Dan ini menjadi justru sumber keunggulan mereka. Karena dengan demikian, mereka bebas mengeksplorasi Islam sebagai subjek pengetahuan, tanpa ada beban bahwa kajian itu harus sampai pada kesimpulan yang mengkonfirmasi atau menolak kebenaran sebuah doktrin. Saya rasa itu sangat membebaskan banyak hal. Teks menjadi bisa berbunyi apa saja. Sementara di dunia Islam, yang terjadi sebaliknya. Penelitian dilakukan untuk mengkonfirmasi kebenaran sebuah doktrin, sebuah dogma. Akibatnya studi Islam di Barat tumbuh luar biasa. Para sarjana di sana bebas untuk melakukan berbagai eksperimen dengan sejumlah metode. Misalnya, dalam studi hadist. Sejauh-jauhnya seorang sarjana Islam meneliti Hadis, dia tidak akan bisa melepaskan diri dari cara pandang yang yang bertumpu pada sanad, mata rantai hadis. Jadi seorang sarjana Islam akan bertanya: Apakah mata rantai sumber hadis itu sudah benar? Apakah yang meriwayatkan hadis adalah orang baik dan bisa dipercaya? Kalau jawabannya, semua baik, maka hadis tersebut akan dengan sendirinya dianggap benar. Akibat kepercayaan akan prinsip sanad tersebut, sarjana Islam enggan untuk mempertanyakan kebenaran hadis dari sisi isi-nya, dari sisi formulasi redaksionalnya. Itu yang tidak membebani sarjana Barat. Mereka tidak punya kendala untuk memverifikasi, menguji kebenaran hadis dari sisi isi. Sehingga dari sarjana-sarjana Baratlah ditemukan bahwa banyak dari hadis yang selama ini diterima sebagai benar oleh para ahli fiqih ternyata sebenarnya palsu, misalnya untuk mendukung posisi legal dalam perdebatan hukum yang tidak mungkin dikatakan Nabi. Kritik semacam ini tidak akan bisa datang dari skema sanad yang dipercaya sarjana Muslim. AA: Tapi yang justru dikuatirkan, tanpa paradigma yang faith-based ini, Islam akan dipandang sebagai tidak suci lagi dan akan menjadikan sarjana Islam menjauh kebenaran agamanya Ulil: Itu miskonsepsi. Dalam tradisi ilmiah, tidak ada keyakinan yang permanen. Setiap pernyataan ilmiah harus bisa dipertanyakan kembali, difalsifikasi. Kesimpulan akan mengalami koreksi terus menerus. Namun justru karena itu, kita melihat bahwa dari para sarjana yang melakukan studi Islam di Barat, tumbuh sikap yang semakin simpatik pada Islam. Ini terjadi karena kesimpulan-kesimpul an studi Islam di masa lalu tidak diterima sebagai kesimpulan yang abadi dan terbuka untuk dikritik. Itu berbeda dengan studi Islam di dunia Islam, yang kecenderungan umumnya adalah melahirkan bukan statement ilmiah tapi statement iman, sehingga tidak bisa dikoreksi. Di Barat, studi Islam memang diawali dengan skeptisisme terhadap Islam. Tapi studi itu terus berkembang, menjalani koreksi terus menerus, sehingga justru saat ini yang lahir justru sikap yang semakin simpatik AA: Ada kekhawatiran bahwa para sarjana Islam yang belajar ke Barat akan pulang dengan mempertanyakan Islam sendiri. Ulil: Kita memang harus membedakan antara Islam sebagai iman dan Islam sebagai bidang studi. Tapi saya harus katakan, bahkan sarjana klasik Islam jauh lebih menyadari itu. Iman tetap merupakan kerangka besar, tapi mereka tidak dihantui oleh itu. Misalnya tokoh Islam klasik, Al-Suyuthi. Dia menulis pada abad ke-16 bahwa dalam Alquran sebenarnya ada kesalahan gramatik. Ini persoalan besar karena bagi orang Islam, Quran adalah sebuah mukjizat literal. Kalau ada kesalahan gramatik, bagaimana bisa disebut keajaiban? Kalau ternyata ada kesalahan, bagaimana dia bisa disebut sempurna? Tapi Al-Suyuthi menuliskannya. Dan dalam bukunya, ia menunjukkan ada tiga ayat Quran yang mengandung kesalahan gramatik. Jadi ada isi Quran yang menyalahi kaidah bahasa Arab. Buku itu jelas menggangu sekali sarjana Quran. Tapi toh buku itu diizinkan terbit, tidak dilarang, tidak pernah diharamkan di masanya. Ini menunjukkan bahwa dalam khazanah klasik, Islam sebagai objek studi dipandang sebagai sesuatu yang relatif independen. Ia dilepaskan dari masalah iman atau tidak iman. Buat saya yang terpenting bahwa Al-Suyuthi memuat itu dalam bukunya. Yang ternyata sekarang tidak dimuat oleh pengkaji Islam modern. Contoh lain, umat Islam saat ini percaya bahwa jumlah surat Quran itu ada 114 dengan susunan yang sudah pasti. Al-Suyuthi menyatakan bahwa urut-urutan surat dalam Quran sebenarnya tidak selalu sama. Ada beberapa Quran yang dimiliki sahabat yang susunannya berbeda. Bahkan ada dua tambahan surat dalam Quran Ibn Masud yang tidak dikenal dalam Quran yang kita kenal sekarang. Saya tidak ingin mengangkat kembali debat tentang berapa sebenarnya jumlah surat Alquran. Poin terpentingnya adalah studi tentang Quran di masa lalu dilakukan secara terbuka dan dihadapi dengan biasa saja. AA: Tapi kesimpulan itu tidak diterima sebagai kesimpulan mainstream Ulil: Ya para sarjana modern berusaha menghindari dari perdebatan itu dengan mengatakan bahwa apa yang dinyatakan Assuyuti tidak reliable, tidak lulus test. Jadi diskusi lebih lanjut dihentikan karena ditutup dengan kesimpulan bahwa buku itu tidak bisa diterima kebenarannya. Mereka melindungi orotodoksi agama dengan tidak membicarakannya. Seolah karya Al-Suyuthi ini tidak pantas ditelaah, tidak relevan. Padahal ia dikenal sebagai ahli hadis. AA: Bagaimana sikap Anda sendiri? Ulil Sebetulnya saya tahu sudah lama. Tapi setelah saya membacanya kembali, saya shock sekali. AA: Itu tidak mengurangi keyakinan Anda pada Islam? Ulil: Tidak mengurangi keyakinan saya pada Quran. Tapi tentu itu mengubah cara saya mendekati Quran. Pada akhirnya saya percaya Alquran adalah kitab suci. Tapi itu tidak berarti bahwa dia harus terbebas dari kritik atau terbebas dari kemungkinan dia bisa dibicarakan secara kritis. Saya berkesimpulan, Quran adalah teks yang diimani melalui sebuah proses yang memiliki sejarahnya sendiri. Quran bukan teks yang sekali jadi. Quran adalah teks yang terbuka. AA: Dan ada kemungkinan Al-Suyuthi salah... Ulil: Tentu saja selalu ada kemungkinan itu. Dan itulah baiknya kita mendekati objek studi tanpa basis keyakinan, yaitu ini pun bukan kesimpulan akhir. Dia memang bukan kesimpulan yang ngarang-ngarang, arbitrer, tapi dia juga bukan sesuatu yang mutlak benar sehingga selalu harus terbuka untuk kritik. Dia menggunakan data, dan data itu bisa juga dipersoalkan. AA: Jadi sebenarnya tidak ada masalah bahwa Anda berangkat ke Amerika dengan keyakinan tertentu, dan di sana Anda akan menemukan data baru yang mungkin berbeda dengan apa yang diyakini selama ini.... Ulil: Tidak ada masalah, dan yang sebaliknya pun terjadi. Mungkin Anda berangkat dengan sikap tidak percaya pada Tuhan, atau mungkin agnostik, dan berujung pada simpati. Banyak sekali sarjana Barat yang mempelajari Islam dengan skpetistisme yang kadang radikal dan berujung pada simpati yang mendalam pada Islam. Salah satu contoh terbaik adalah Annemarie Schimmel. Dia tidak pernah menajdi muslim, dan dia memulai perkenalannya dengan Islam secara skeptis. Namun kemudian, setelah dia belajar soal Islam, dia menjadi sarjana yang sangat bersimpati pada Islam. Bagi orang Islam seperti saya, belajar Islam dengan cara seperti di Barat tidak membawa keruntuhan keyakinan melainkan membuka kita terhadap begitu banyak kemungkinan yang didasari studi ilmiah. Saya merasa tidak ada suatu ancaman besar terhadap keIslaman saya. Di sini sayapun membaca karya-karya sarjana yang sangat kasar dan sinis teradap Islam, seperti Why I am Not a Muslim dari Ibnu Warraq. Tapi saya merasa tidak terancam, karena saya menganggap itu hanyalah studi ilmiah yang dalam kenyataannya juga dibantah oleh para sarjana Barat lainnya. Itu hanyalah salah satu statement ilmiah tentang Islam, tapi bukan satu-satunya. Karena statement itu banyak, maka dia saling mengkoreksi. Karakter kesarjanaan itu yang tidak dipahami banyak orang Islam. Mereka memang skeptis, tetapi terus melakukan self-criticism, saling mengkoreksi. Mereka terbuka terhadap segala kemungkinan, termasuk mendengarkan suara orang Islam. AA: Tapi memang ada masa dimana studi Islam di Barat justru cenderung melihat Islam dalam konteks hubungan penjajah dan yang dijajah Ulil: Ya, tapi itu sudah hilang, sudah lewat masanya. Orientalisme yang sinis terhadap Islam, yang melecehkan Islam, seperti Ernest Renan di Prancis di abad 19, sudah tidak lagi. AA: Tapi bagaimana dengan tuduhan bahwa orientalisme dilatarbelakangi oleh hasrat kapitalisme, hasrat penjajahan Ulil: Salah satu kritik yang paling tajam kan datang dari Edward Said. Tapi kritik semacam itu menurut saya tidak fair, dalam banyak hal. Bagi para penulis kritis itu, orientalisme adalah alat kontrol yang dipakai Barat untuk menguasai Islam. Saya tidak setuju. Saya anggap, hasrat mengetahui adalah hasrat inheren dalam diri manusia. Memang hasrat mengetahui bisa digunakan untuk menguasai orang lain, tapi itu bukan kecenderungan yang intrinsik dalam manusia. Saya percaya bahwa hasrat mengetahui sebenarnya adalah impuls dasar manusia untuk mengetahui segala hal. Penyalahgunaan pengetahuan untuk menguasai datang kemudian. Bila Anda memandang orientalisme bukan sebagai abstrak, bukan sebagai sebuah kategori besar, dan Anda berhadapan orang per orang, Anda akan tiba pada kesimpulan berbeda. Tidak mungkin kita melihat Annemarie Schimmel sebagai orang yang berhasrat menguasai Islam. Mungkin saja ada sebuah institusi di luar sana yang memanfaatkan karya Schimmel untuk menguasai, tapi itu isu lain. AA: Tapi tidakkah Anda melihat bahwa tumbuhnya studi tentang Islam yang berlangsung di pusat-pusat penelitian, universitas- unversitas Barat ini turut dipengaruhi hasrat untuk memahami Islam demi kepentingan ekonomi dan politik. Ulil: Oh ya, itu pasti ada, karena bukankah penelitian-penelitian itu sebagian dananya datang dari negara? Tetapi hasrat kekuasaan yang datang dari luar masyarakat akademis ini tidak akan sepenuhnya dapat mengendalikan pengetahuan. Kalaupun pengetahuan hendak diarahkan untuk melayani kepentingan tertentu, akan ada pemberontakan. Dan itulah yang terjadi dalam studi Islam di Barat saat ini. Kritik-kritik terhadap kebijakan luar negeri Bush saat ini datang dari profesor-profesor yang mengajarkan Islam di universitas Barat. Daniel Pipes, seorang ilmuwan AS yang sangat sinis pada Islam, membuat sebuah website bernama Campus Watch, untuk antara lain memonitor profesor-profesor di AS yang anti Israel dan anti kebijakan AS. Ternyata sebagian besar profesor yang masuk kategori itu ada di Departremen of Islamic Studies. Dan itu profesor-profesor kulit putih, bukan orang timur tengah. Jadi pengetahuan bisa diselewengkan untuk kepentingan kekuasaan, tapi pada akhirnya disiplin ilmu pengetahuan memiliki otonominya sendiri. Dia bisa dipakai, tapi pada akhirnya kalau dia diperlakukan semacam itu, dia akan memberontak. Kekuasaan punya batas. Studi Islam punya otonomi yang non-faith based, yang terus mengkoreksi dirinya sendiri. Dan apa yang dihasilkan oleh masyarakat peneliti di sana bukan hanya bermanfaat bagi studi Islam tapi juga memberi masukan berharga bagi para policy makers dalam memandang dunia Islam. Saya percaya bahwa kalau ilmu pengetahuan dilepaskan dari beban non-ilmiah, termasuk di dalamnya beban iman, maka ia akan membawa kemaslahatan yang besar bagi seluruh masyarakat. AA: Anda berada di sana, Anda tidak melihat semacam konspirasi? Ulil: Kalau saya duduk di kelas, saya memandang seorang profesor, ... ya dia adalah seorang sarjana, ilmuwan yang bekerja dengan data, menggunakan teori, berusaha menjelaskan fakta dengan teori-teori tersebut, dan kemudian bisa dichallenge oleh siapa saja. Saat ini semakin banyak orang seperti Esposito, Karen Armstrong yang sangat bersimpati pada Islam. Sedemikian banyak, sehingga sekarang terjadi pendulum balik. Ada kekuatiran bahwa sekarang kok studi Islam maunya memuji-muji Islam saja. Kok tidak ada kritik? Ada semacam kerisauan bahwa ada sikap berlebihan untuk menjaga political corectness. Seolah-olah kalau ada mengkiritik Islam, Anda menjadi politically incorrect. Sekarang ini, kecenderungan itu dikritik kembali oleh sejumlah sarjana karena dianggap mulai tidak sehat. Tapi ya memang begitulah. Iklim pengetahuan di sana sangat dinamis -- lari ke kiri kekanan, tapi at the end of the day, dia terus mempebaiki dirinya sendiri. AA: Anda melihat studi di AS menjadi lebih baik daripada Eropa? Saat ini memang yang terbaik di AS. Banyak sekali sarjana terkemuka Eropa pindah ke AS. Baik karena dana riset di AS yang jauh lebih besar, maupun karena iklim akademik AS jauh lebih baik. Studi Islam di AS pelan-pelan melampaui Eropa. Walaupun masterpiecenya masih di Eropa, peninggalan dari masa lalu. Dan yang berkembang bukan cuma perguruan tinggi yang non-faith based, namun juga yang berbasis agama. Saat ini di beberapa tempat, lahir sekolah-sekolah tentang Islam yang berbasis agama. Tapi pendekatannya juga terbuka. Dan ini yang menurut saya juga merupakan pengaruh dari studi-studi Islam yang non-faith based tadi. Kesimpulan-kesimpul an ilmiah yang dilahirkan dan disebarkan lembaga pengetahuan akan mengkoreksi keyakinan-keyakinan umat bergama yang ternyata tidak memiliki dasar ilmiah.. Corak pemahaman keagamaan Islam di AS mau tidak mau memperhitungkan kesimpulan2 ilmiah yang masuk akal. Mereka menjadi lebih toleran, lebih terbuka lebih menggunakan akal ... AA: Interaksi itu turut mengubah corak keberagamaan kaum imigran? Ulil: Imigran generasi pertama tentu tidak. Tapi anak-anak mereka kan bersekolah?. Bahkan sebagian dari mereka mengikuti studi Islam di perguruan tinggi. Itu berpengaruh terjadap komunitas Islam. Karena itulah saya berharap banyak pada pertumbuhan Islam di Barat. Karena mereka tumbuh dalam peradaban yang mewarisi renaissance, maka Islam yang berkembang di Barat pasti akan bicara dalam semangat renaissance. Mereka harus menginkorporasikan buah pikiran Immanuel Kant, Rosseau; dan tidak bisa semata-mata bicara filsafat Al Ghazali, Ibnu Rusy, .. . Saya menunggu dengan berdebar2 corak Islam seperti apa yang akan lahir dari peradaban. AA: Anda sudah melihat lahirnya corak2 baru itu? Ulil: Ya, itu berlangsung. Sebagai contoh Irshad Mandji. Dia seorang wanita muda yang sangat aktif bicara soal Islam, keturunan India berasal dari Uganda, cantik, mendirikan sebuah projek bernama projek ijtihad. Dia mengaku muslimah tapi sekaligus lesbian. Ini tidak mungkin terjadi di luar Amerika. Dia menyuarakan pesan2 Islam, deeply comitted to Islam. Sangat konfrontatif. Dia mengkritik keras para ulama. Dia buat acara di televisi PBS, berjudul Faith Without fear. Dia membaca Quran dengan cara rasional tanpa mengabaikan aspek2 spiritual dalam Islam. Bahkan di sana sekarang ada komedi muslim. Ada standup comedian yang mengkomedikan Islam. Mengejek Islam, tapi juga mengejek cara orang AS memandang Islam. Semua disampaikan secara santai .... AA: Jadi Anda menunggu dengan berdebar-debar dan optimistis? Ulil: Saya opitmistis, karena infrastruktur yang ada memungkinkan lahirnya renaissance dalam Islam. AS berbeda dengan Eropa. Di Eropa kan kebanyakan imigran Islamnya adalah pekerja kasar, ekonomi rendah. Di AS, kebanyakan kan datang ke AS untuk sekolah. Sebagian memang imigran dari masa lalu yang meninggalkan tanah kelahirannya karena situasi politik atau perang, tapi sekarang kan sudah generasi kedua dan ketiga yang sudah sekolah di AS juga. AA: Anda bicara infrastruktur pendidikan juga,..perpustakaan? Ulil: Perpustakaan memang penting. Tapi yang lebih penting adalah publikasi. Produksi buku tg Islam di sana luar biasa mengagumkan. Setiap bulan terbit buku baru tentang Islam. Ini dimungkinkan karena kultur akademik yang baik. Dalam hal studi Islam misalnya, mereka memiliki bahan-bahan yang dapat dieksplorasi secara berkelanjutan. Di Barat, perpustakaan bukan hanya menyimpan buku-buku tercetak, tapi juga manuskrip-manuskrip klasik asli dalam tulisan tangan yang berabad-abad usianya. Melalui manuskrip-manuskrip itulah, lahir berbagai studi verifikasi teks. Dengan ketersediaan teks yang berlimpah, para sarjana melakukan studi mengenai misalnya, apakah teks ini memang benar ditulis oleh Al Ghazali; atau kalaulah benar, apakah ini ditulis oleh penyalin yang memang berusia dekat dengan usia Al Ghazalli, apakah penyalinan ditulis dengan lengkap dan utuh.. Dengan demikian, sebuah teks, sebuah manuskrip memiliki sejarahnya sendiri. Teks bisa diuji dengan hukum2 yang objektif. Dan itu kemudian berlaku untuk semua teks, termasuk pada Alquran juga. Studi manuskrip menjadi salah keunggulan Barat. Yang baru belakangan dikuti oleh dunia Islam. Dalam hal jumlah manuskrip, perpustakaan besar seperti di Princeton University AS, mungkin kalah dari perpustakaan Islam di Turki atau Mesir, misalnya. Tapi orang yang bekerja mempelajari, memverifikasi manuskrip-manuskrip itu lebih banyak di AS. AA: Apakah Anda bisa membayangkan studi serupa berkembang di Indonesia. Ulil: Sebenarnya studi Islam di sini perlahan-lahan berkembang menjadi kesarjanaan non-faith based. Tapi tidak bisa sepenuhnya. Beban keimanan itu tidak akan bisa hilang. Karena itu saya rasa studi Islam di dunia Islam tetap membutuhkan studi Islam di dunia barat. Sebagaimana studi Hindu di India tidak bisa melepaskan diri dari komitmen kehinduan. AA: Anda sudah dua tahun di AS. Bagaimana Anda memandang perkembangan Indonesia dari jauh? Ulil: Satu hal yang saya lihat adalah bahwa sekulerisme itu akan sangat dirasakan manfaatnya ketika Anda menjadi minoritas. Ketika Anda mayoritas, Anda tidak benar-benar menyadari manfaatnya. Orang2 Islam di AS saya rasa pelan-pelan mengakui betapa enaknya hidup dalam sebuah negara yang menganut sekulerisme, daripada kalau AS pelan-pelan menjadi negara Kristen sebagaimana yang diagendakan kaum Evangelical. Saya rasa kaum Islam akan mengapresiasi renaissance, persis karena mereka di sana. Sekulerisme di AS kan bukan hostile secularism melainkan religion-friendly secularism. Karena itu terpaan sekulerisme pada kaum Islam sebagai minoritas itu penting sekali. Saat ini kosa-kosa kata yang digunakan aktivis Muslim AS sudah kosakata sekuler. Misalnya civil liberty, hak-hak sipil. Itu kosakata sekuler. Orang berjenggot Wahabi di sana pun menggunakan kata civil rights. Ya, memang pertama-tama mereka menggunakan kosakata itu berdasarkan asas manfaat, karena menguntungkan kaum muslim minoritas. Tapi perlahan-lahan saya percaya mereka akan meyakini itu. Saya mereka akan secara tulus menghayati norma-norma hak sipil. AA: Jadi semakin Anda di AS, Anda semakin sekuler? Ulil: Hmmm saya rasa saya semakin mengapresiasi. -- Posted By mediacare to zamanku at 12/28/2007 09:39:00 AM blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com --------------------------------- Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search. [Non-text portions of this message have been removed]