Kata Al Waliy, yang terambil dari akar kata wau, lam, ya, makna dasanya adalah 'dekat'. Maksudnya dekat dengan Allah.
Wali Allah adalah orang-orang yang selalu dilindungi dan diberi pertolongan oleh Allah. "Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)." (Q.S. Al Baqarah 2:257). Allah akan melindunginya saat akan terjerumus pada jebakan setan sehingga terhindar dari bahaya yang akan merusak kehidupannya. "Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa, bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya". (Q.S. Al A'raf 7:201) Wali Allah adalah orang yang beriman dan bertaqwa sehingga hidupnya tidak ada kekhawatiran dan ketakutan karena yakin akan pertolongan dan perlindungan Allah. "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa." (Q.S.Yunus 10:62-63). "Sesungguhnya penolong-penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)." (Q.S. Al Maidah 5:55). Wali bukanlah turunan atau warisan dari orang tuanya yang menjadi wali. Siapa pun yang bersungguh-sungguh di jalan Allah dalam keadaan iman dan takwa, Allah akan selalu memberikan hidayah (petunjuk). "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (Q.S.Al Ankabut 29: 69). Orang yang mendapatkan hidayah dan anugerah Allah hidupnya senantiasa ada dalam kebaikan dan kebenaran (ada dalam keadaan fitrah/suci). Wali Allah adalah orang yang dicintai Allah, dan cinta Allah dapat diraih oleh orang yang menyucikan dirinya. "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri." (Q.S. Al Baqarah 2:222) Sebagian masyarakat beranggapan bahwa wali Allah itu biasanya memiliki kemampuan-kemampuan supranatural (kemampuan yang tidak biasa dimiliki oleh manusia keumuman), misalnya mampu berangkat haji tanpa naik pesawat, dalam sekejap sudah ada di tanah suci, bisa mengetahui kapan seseorang itu mati atau mendapat jodoh. Inilah keyakinan sebagian masyarakat kita tentang para wali. Barangsiapa menjalankan ibadah atau melakukan amalan-amalan saleh dengan sengaja ingin mencari kekuatan supranatural, amal-amalannya itu tidak diterima Allah swt. Sebab untuk diterima Allah, amalan apapun harus dilakukan dengan tulus ikhlas dan niat yang murni. "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus." (Q.S. Al Bayyinah 98: 5) Banyak penegasan dalam Al Quran bahwa para Nabi pun adalah manusia biasa yang pada mereka berlaku hukum-hukum kemanusiaan biasa seperti makan, minum, nikah, sakit, bahkan terbunuh. "Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Tuhanmu Maha Melihat." (Q.S. Al Furqan 25: 20) Nabi Muhammad sendiri beberapa kali diperintahkan Allah untuk menyatakan bahwa beliau sebagai manusia biasa, hanya mempunyai kelebihan sebagai utusan Allah yang menerima ajaran tentang kebenaran abadi. Kemudian Nabi sendiri melarang umatnya mengultuskan beliau sebagaimana kaum Nasrani mengkultuskan Isa putra Maryam. "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang murtad, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (Q.S. Ali Imran 3: 144) "Katakanlah, Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa." "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengejakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seoranghpun dalam beribadah kepada Tuhannya." (Q.S. Al Kahfi 18: 11) "Janganlah kamu mengultuskan aku sebagaimana kaum Nasrani mengultuskan Isa putra Maryam. Katakanlah, bahwa aku ini manusia biasa yang diangkat menjadi seorang Rasul" (H.R. Bukhari) Karena beliau seorang manusia biasa, terdapat logika bahwa beliau adalah teladan yang baik bagi umat manusia biasa, tidak logis kita sebagai umat biasa dituntut untuk meneladani seorang tokoh yang bukan manusia biasa. Peneladanan hanya terjadi dan berlangsung dengan baik antara dua pihak yang pada dasarnya memiliki kesepadanan. (Nurkholis Madjid, Masyarakat Religius, Paramadina, Jakarta, 2000, hal. 172). "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah saw itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Q.S. Al Ahzab 33: 21). "Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap pahala Allah dan keselamatan pada hari kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S. L Mumtahanah 60: 6). Bertolak dari penelaahan ini, jelaslah bahwa para nabi itu seperti kita manusia biasa. Kelebihannya, mereka diberi wahyu, tapi mereka tidak memiliki kemampuan-kemampuan mistik. Apalagi para wali yang kedudukannya di bawah para nabi, tentu mereka tidak identik dengan orang-orang yang mempunyai kekuatan mistik seperti yang banyak dipahami oleh sebagian masyarakat kita. [Non-text portions of this message have been removed]