http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=203945

Rabu, 28 Des 2005,


Wujud Kegagalan Perguruan Tinggi
Oleh Rika Kurniaty *


Tahun 2005 adalah tahun harapan dan kekecewaan datang silih berganti. Banyak 
harapan akan penghidupan yang lebih baik, tapi segera disusul realitas yang 
memancing keputusasaan. Realitas kadang terlahir dalam bentuk kebijakan 
pemerintah dan di lain waktu muncul dalam bentuk bencana alam sampai bencana 
kelaparan yang tragis.

Semua kenyataan itu seperti menguji kekuatan moral bangsa ini, apakah bisa 
menjadi bangsa yang lulus ujian dan siap menjadi bangsa besar atau bangsa 
keropos yang tidak bisa keluar dari krisis multidimensi. Pada 2005, kekuatan 
moral coba dipertahankan untuk dipercayai dengan menempatkan sosok-sosok 
pemimpin baru yang diharapkan dapat membuat suatu perubahan signifikan, 
sosok-sosok yang dalam istilah Antonio Gramsci merupakan kaum intelektual 
organik yang siap menjadi poros utama perubahan bangsa.

Ketidakpercayaan terhadap moralitas wajah-wajah lama memberikan kesempatan bagi 
wajah-wajah baru untuk muncul di kancah perpolitikan bangsa. Yang diharapkan 
menjadi gudang tokoh-tokoh intelektual itu adalah perguruan tinggi. Akibatnya, 
dalam penentuan posisi atau jabatan tertentu, orang-orang perguruan tinggi 
selalu diperhitungkan untuk muncul ke permukaan. 

Munculnya tokoh-tokoh dari perguruan tinggi diikuti pencapaian berbagai 
prestasi dalam perjuangan moralitas, baik terbongkarnya beberapa kasus korupsi, 
suap, maupun usaha penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Hal itu 
memperkuat citra positif kaum perguruan tinggi di masyarakat. Apalagi, beberapa 
tokoh tersebut mendapatkan pengakuan dari dunia internasional melalui pemberian 
award dengan label pejuang moralitas.

Seiring kerusakan akibat bencana alam, kerusakan moralitas bangsa pada 2005 
ternyata juga belum bisa diatasi. Orang-orang perguruan tinggi yang semula 
dianggap bersih ternyata terbukti melakukan penyelewengan-penyelewengan moral, 
mulai korupsi, kolusi, suap, hingga kasus pelanggaran moralitas lain.

Ketidakpercayaan kembali mewarnai pandangan masyarakat terhadap kekuatan moral 
bangsa ini. Kaum intelektual, yang dibesarkan di institusi tempat moralitas 
menjadi ajarannya, tidak bisa berdiri tegar untuk tidak mengkhianati moralitas 
itu sendiri. 

Perguruan tinggi merupakan tempat ilmu pengetahuan dan moralitas dibangun, 
tempat yang semestinya menjadi centre of culture bangsa. Posisi mulia itu yang 
melahirkan harapan bahwa insan perguruan tinggi lebih dapat dipercaya untuk 
memikul amanah rakyat. Tapi, kepercayaan tersebut pada 2005 berkali-kali 
dikhianati dengan berbagai macam tindakan kebusukan moral insan perguruan 
tinggi.

Pada saat perguruan tinggi diharapkan dapat berperan lebih, fase awal 
insan-insan di dalamnya seperti menunjukkan taring moral untuk membuat sebuah 
perubahan, tetapi kemudian kepercayaan dan harapan itu harus berganti kembali 
dengan kekecewaan dan kemarahan.

Kalau kita mau jujur mengevaluasi wajah kekuatan moral pada 2005, kita akan 
menemukan bahwa 2005 adalah tahun kegagalan orang-orang perguruan tinggi 
menjadi poros utama bangsa untuk keluar dari krisis multidemensi. Pada 2005, 
perguruan tinggi hanya berhasil menjadi centre of culture bangsa dalam tataran 
konsep dan kritik, bukan dalam tataran perjuangan konkret penegakan supremasi 
kekuatan moral. 

Atau, memang kemampuan dan wilayah perguruan tinggi hanya layak berada di 
tataran konsep dan kritik sehingga orang-orang perguruan tinggi harus tahu diri 
untuk pamit dari berbagai jabatan yang disandangnya.

Mungkin juga krisis multidimensi bangsa ini sudah sampai ke tahap superparah 
yang tidak mungkin diobati, kondisi yang mencerminkan sekaratnya moral force 
bangsa ini. Kalau memang demikian, wajar bila ada ungkapan "jangankan insan 
perguruan tinggi yang masih manusia biasa, malaikat saja bila masuk ke 
kebobrokan sistemik bangsa ini bisa menjadi iblis".

Kondisi itu semestinya mencambuk kesadaran insan perguruan tinggi untuk segera 
berhenti menjadi menara gading yang melakukan penyimpangan moral justru dengan 
mengatasnamakan kekuatan moral. Kenyataan tersebut seharusnya membangunkan 
kekuatan moral sejati dari perguruan tinggi untuk segera bereaksi, tidak 
sekadar menjadi pembicara keboborokan moral tanpa usaha membenahi moral, tapi 
dalam wujud pembumian nilai menjadi amal saleh. Dengan demikian, kekuatan moral 
bangsa ini bisa sedikit tersenyum menyambut 2006. 

* Rika Kurniaty, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/t7dfYD/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke