Catatan Bantimurung :
   
   
   
  MASIHKAH BESOK ADA KUPU-KUPU? 
   
   
   
  Puas dengan kegiatan hobbinya potret-memotret, Ken Prita segera mencari dan 
mencium pipi puterinya.
   
   
  "Maaf ya Rara. Mama tinggalkan lama" .
   
   
  "Aku kan sama Papahku, Mah. Kami juga asyik deh". Melihat aku membungkuk, 
Rara seperti biasa tiba-tiba menerkam punggungku sambil ngekek. Dengan kedua 
tangannya yang kecil memeluk leherku. Dan tak mau turun-turun lagi dari 
punggungku. Rara tidak bisa melihat ayahnya jongkok. Ia pasti menggunakan 
kesempatan itu untuk digendong.
   
   
  "Ayo, Pah berdiri!". Ken Prita melihat ulah puterinya yang manja dengan 
geleng-geleng.
   
   
  "Papahmu kan capek, nak".
   
  "Biarin. Ini kan Papahku sendiri. Hanya Papahku seorang", sambil berkata 
demikian, Rara mencium pipiku gemas. Terkadang bahkan mencubitku. Jawaban ini 
adalah jawaban standar Rara pada siapa saja yang berkomentar melihat 
kemanjaannya pada sang ayah.
   
  Sambil berjalan menuju jurusan air terjun untuk mendapatkan kesegaran air di 
tengah terik, Ken Prita bercerita apa yang baru terjadi ketika ia sedang 
motret-motret.
   
   
  "Aku didekati oleh seorang  lelaki penangkap kupu-kupu. Ia menanyai Mama, 
apakah Mama mau kupu-kupu langka?"
   
   
  Rara yang berada di punggungku menoleh ke ibunya dengan rasa ingin tahu lebih 
jauh. 
   
  "Terus gimana,Mah" tanya Rara.
   
  "Aku tanya kupu-kupu langka itu?"
   
  "Kupu-kupu yang sangat sangat jarang, Bu", jawab penangkap kupu-kupu itu.
   
  "Berapa lama untuk mendapatkan kupu-kupu langka?"
   
  "Paling tidak seminggu lah".
   
  "Lama sekali".
   
  "Tentu saja. Namanya saja barang langka".
   
  "Berapa harganya kira-kira?"
   
  "Barang langka mana ada yang murah, Bu. Apalagi aku kan juga hidup dari 
kupu-kupu. Kupu-kupu menghidupi aku dan keluargaku".
   
  "Berapa kupu-kupu langka yang akan Bapak tawarkan?"
   
  "Lha, ibu mau berapa? Tentu waktunya pun jadi bukan seminggu". 
   
  "Bapak tawarkan berapa seekor kupu-kupu langka?"
   
  "Barang langka ya harganya langka juga".
   
  "Berapa?"
   
  "Ibu benar mau?"
   
  "Kan tanya dulu?"
   
  "Dua juta seekor".
   
  "Mahal amat ya Pak".
   
  "Begitu memang barang langka itu, Bu"
   
  "Lalu Mamah bilang apa pada penangkap kupu-kupu itu?" tanya Rara dari 
punggungku.
   
  "Pah, aku turun Pah. Papah capek kan?"lanjut Rara. Aku jongkok membiarkan 
Rara turun dari punggungku.
   
  "Pegel ya nak"
   
  "Tapi aku kan gak capek".
   
  "Papah yang capek".
   
  "Biarin, kan Papahku sendiri".
   
  Rara berjalan sambil memegang tanganku. 
   
  "Terus,apakah Mamah jadi pesan kupu-kupu langka itu?", tanya Rara pada ibunya.
   
  "Darimana Mamah punya uang sebanyak itu? Dan pula untuk apa buang duit untuk 
seekor kupu-kupu, betapa pun langkanya? Kita kan bukan orang kaya , Nak. Mamah 
kan hanya ingin tahu saja. Ada apa yang lain di bawah  ada di bawah sayap 
ribuan kupu-kupu Bantimurung. Ingin tahu berapa lama keindahan Bantimurung ini 
bertahan?".
   
   
  "Bayangkan aku pernah dapat info bahwa untuk siaran iklannya, sebuah tivi 
swasta memerlukan seribu kupu-kupu Bantimurung. Satu iklan seribu kupu-kupu. 
Ditambah dengan adanya barisan penangkap kupu-kupu yang berpatokan pada uang 
dan karena memang hidup dari kupu-kupu", lanjut Ken Prita bercerita kepada 
anaknya. 
   
   
  "Kalau begitu, kupu-kupu Bantimurung ini akan habis dong, Mah? Sayang sekali. 
Padahal aku suka sekali kupu-kupu dan Bantimurung yang sekarang", ujar Rara 
polos.
   
   
  "Pah, kira-kira besok, masihkah akan ada kupu-kupu di Bantimurung", tanya 
menanyaiku sambil minta digendong lagi dengan alasan lelah berjalan kaki.
   
   
  "Entahlah, Nak. Hutan Kalimantan dekat kampung Papah saja sudah gundul jadi 
padang pasir. Papah kan pernah ajak Anak melihatnya", jawabku sambil 
membayangkan nasib hutan Hampalit -- sebuah tambang emas terbuka di Katingan.
   
   
  "Ya, ya , aku masih ingat, Pah. Aku masih kecil sekali waktu itu. Sekarang 
aku kan sudah besar. Aku ingat , Pah", ujar Rara dari punggungku sambil mencium 
pipiku yang basah keringat.
   
   
  "Ihhh, pipi Papah asin ihh", katanya lagi sambil mengusap bibirnya. Ngekek . 
Geli sendiri. Aku hanya diam membiarkan anakku girang di punggungku menikmati 
masa kanaknya yang hanya sekali sepanjang hidup. Masa yang tak akan pernah bisa 
terulang kecuali melekat di kenang. Hijau tandusnya, riap rimbunnya masa kanak 
anak adalah tanggungjawab orangtua. Jika kurang disadari, maka masa kanak itu 
akan seperti hutan Hampalit yang menjelma padang pasir putih hingga cakrawala 
di mana kepahitan berkeliaran garang dan liar. Di padang pasir putih ini tak 
lagi kudengar suara enggang dan suara kijang berlari seperti dahulu. 
   
  Bantimurung! Besok masihkah kau punya kupu-kupu?***
   
   
   
  Paris, Akhir Musim Dingin 2008
  ------------------------------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia Paris.
   

       
---------------------------------
 
 Real people. Real questions. Real answers. Share what you know.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke