Catatan Bantimurung: TRAGEDI BUDAYA [Surat untuk anakku: Andri Galesong Tambun] Sedang berada di kawasan sunyi dipenuhi wangi bunga memabukkan kupu-kupu dan angin mengelana dari teluk melampaui kilometer demi kilometer luas pulau, aku terkenang akan kata-kata suami-istri Belanda pelanggan setia Koperasi Restoran Indonesia Paris yang turut kudirikan 25 tahun silam, bersama sejumlah teman-teman Indonesia dan Perancis. Pasangan suami-istri Belanda yang sudah berkepala tujuh ini, menjadi pelanggan setia, ketika mula pertama mereka datang makan malam, pulang-pulang dompetnya ketinggalan. Dalam dompet itu terdapat KTP, paspor, uang, kartu-kredit, dan lain-lain surat penting. Seperti diketahui Eropa Barat adalah "negeri kertas". Kertas-kertas dokumen merupakan hal yang penting dan tidak boleh tidak ada, jika mau dipandang sah dalam arti sesuai hukum. Tentu saja mereka segera menelpon dan kawan kami yang menerimanya segera meyakinkan pasangan Belanda yang secara bercanda disebut oleh teman-teman sebagai "bapak-ibu mertuaku" itu agar tidak usah khawatir. Segalanya akan kami jaga sebaik mungkin. Besok Anda bisa datang mengambil dompet Anda tanpa kehilangan secarik kertas dan selembar uang apa pun. Benar, esoknya mereka datang dan cahaya gembira luar biasa memancar dari mata kedua mereka. Sejak itu, pasangan suami-istri Belanda ini saban minggu secara teratur makan di Koperasi Restoran kami. Tanpa kecuali, siapa pun yang bekerja, kami senantiasa memperlakukan keduanya secara khusus dan pasangan tua ini nampaknya merasa "at home". Dari Bantilurung dengan layangan ingatan pada pasangan tua Belanda ini, aku pun mengenang pernyataan bermakna, prihatin dan merasa ada keterikatan emosional, berbentuk kalimat tanya: "Mengapa gerangan saban berita datang dari Indonesia yang terdengar dan terbaca hanyalah berita-berita buruk semata?" Pernyataan berbentuk tanya ini kembali mengiang di telingaku seperti disuarakan oleh angin yang mengusik hamparan bunga dan sayap kupu-kupu Bantimurung, ketika aku menemani anak perempuanku yang lincah nakal, mencoba menangkap kupu-kupu warna-warni di bunga-bunga. Ia kembali mengiang bagai sipongang di lembah menyahut suara kita sendiri, saat membaca berita Tempo Ineteraktif, bahwa di Katingan, Kalimantan Tengah, sungai kelahiran dan pengasuh masa kanakku terjadi penggusuran atas rumah betang [rumah panjang, long house]dan sandong [makam leluhur] oleh yang disebut pemilik lahan perkebunan kelapa sawit. Pemilik lahan perkebunan kelapa sawit ini telah merusak enam rumah betang yaitu betang Gantung, Sangkuwu, Sabira, Marayak, Salabutan, dan Sungai Hangoi. Keseluruhan rumah betang itu berada di pedalaman desa Rantau Asem, Kecamatan Katingan Tengah, Kabupaten, Provinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan sandong yang dirusak adalah Sandong Tunggal dan Sandong Belaya. Penggusuran! Lagi-lagi penggusuran kuburan leluhur dan perusakan peninggalan budaya serta lingkungan seperti yang dilakukan pada masa Orba. Dengan Proyek Lahan Sejuta Hektar di daerah Kapuas, danau jadi mengering, kuburan leluhur dan apa saja yang terletak di daerah "proyek" itu ditraktor tanpa menghiraukan maknanya bagi penduduk Dayak. Ketika "proyek" ini gagal, yang tertinggal adalah kerusakan alam dan penghancuran budaya lokal. Saat tersebar isu bahwa akan ada ganti rugi maka para penguasa lokal rebutan mengatakan bahwa daerah ini dan itu adalah "petak ayungku" [tanah milikku]. Tragedi begini pun terjadi pada saat dilaksanakannya pengusahaan liar hutan melalui HPH. Kebun-kebun rotan penduduk oleh Jakarta tidak diakui sebagai kebun rotan, tapi sebagai lahan belantara dan dimasukkan sebagai lahan bagi pemilik HPH. Apa saja yang ada di kawasan HPH, menjadi legal untuk dihancurkan. Bahkan orang Dayak yang memungut kayu bakar di hutan yang menjadi lahan HPH dipandang sebagai "maling". Keadaan yang mengingatkan aku akan ungkapan Tiongkok Kuno: "raja boleh membakar rumah, penduduk dilarang menyalakan tungku". Tidak kalah parahnya, ketika orang-orang tahu bahwa Kalteng kaya akan emas. Akibat pengusahaan buas atas hutan, maka hutan berobah jadi padang pasir. Sungai yang melayani hajat penduduk akan air, dipenuhi oleh airraksa yang berdampak sangat buruk untuk kesehatan orang lokal. Melihat dengan mata kepala sendiri keadaan ini, aku bertanya pada diriku dengan rasa getir dan luka apakah hal begini bukannya suatu masakre massal oleh anak negeri secara massal pula? Bukan hanya masakre fisik tapi juga psikhologis, masakre terhadap alam dan budaya. Orang-orang bertanya padaku: Apa sih dampak globalisasi di Tanah Dayak? Jawabku dengan kepedihan: Jika Anda punya mata , lihat saja keadaan hutan dan sungai, tanpa usah memasuki bidang-bidang lain. Di bidang budaya adalah penghancuran betang, kuburan leluhur, sapundu, dan kebudayaan. Sansana kayau digantikan oleh dangdut yang erotis dan rock n'roll menyusup jauh ke pedalaman melalui parabola. Sansana kayau larut di sungai bersama buré [busa artus sungai]. Dalam kegalauan ketika berhadapan dengan perusakan alam, yang tadinya merupakan ibu yang pengasih dan ramah, rang-orang Tanah Dayak, orang lokal lari ke narkoba yang disalurkan oleh suatu geng mafia tingkat tinggi. Judi menjadi-jadi, sampai anak-anak SD turut berjudi. Pencuri kaliber teri, dikejar dan dihukum berat, sementara maling kaliber besar seperti burung elang leluasa terbang di langit Kalimantan. Geng-geng preman dibentuk untuk mengawal kekuasaan. Kekerasan secara nyata dijadikan suatu bahasa dan budaya menyelesaikan masalah pada saat "uang adalah raja". Jabatan atas nama pemilihan legal dikendalikan oleh "sang raja" ini pula berdampingan dengan kawalan geng preman. Dalam artian harafiah, uang berjuta-juta dihamburkan oleh pemenang pemilu ketika para pemuda menagih janji calon jika menang akan memberikan mereka uang. Uang dan kekuasaan bersaudara kandung. Uang, kekuasaan dan kriminalitas serta kekerasan mempunyai hubungan darah. Sementara program yang dipublikasikan ke pemilih dan penduduk lokal masih saja berjudul sama yaitu pembangunan. Agama pun terpercik darah. Perusakan dua sandong leluhur dan enam betang yang sekarang terjadi sekarang di Katingan , hanyalah pengulangan dari yang sudah berkali-kali terjadi semenjak Orba berkuasa. Dalihnya juga sama: Pembangunan dan Pembangunan. Untuk Kalteng hal ini akan terbaca jelas dari program Gubernur Teras Narang. Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kalteng tidak bisa luput dari tanggungjawab Teras Narang dan wakilnya. Tidaklah terlalu sulit memahaminya secara nalar jika Regina , sebagai ahli waris telah melayangkan puluhan surat kepada pihak perusahaan sawit tersebut. Namun belum ada jawaban. Surat juga sudah dilayangkan kepada Gubernur Kalimantan Tengah, Teras Narang untuk memfasilitasi pertemuan antara ahli waris dan perusahaan sawit itu. "Namun, belum juga ada jawaban." Perusakan 6 rumah betang dan dua sandong yang terjadi di Katingan, yang bupatinya adalah orang-orang Teras Narang [PDIP]Regina, ahli waris telah melayangkan puluhan surat kepada pihak perusahaan sawit tersebut. Namun belum ada jawaban. Surat juga sudah dilayangkan kepada Gubernur Kalimantan Tengah, Teras Narang untuk memfasilitasi pertemuan antara ahli waris dan perusahaan sawit itu. "Namun, belum juga ada jawaban". Aku memahami bahwa perusakan 6 betang dan dua sandong di Katingan, yang bupatinya adalah orang-orang separtai dengan Teras Narang, hanya merupakan hasil dari pilihan politik "pembangunan" Teras Narang dan wakilnya. Perusakan 6 betang dan dua sandong leluhur, selain merupakan pelecehan terhadap manusia Dayak, penegasian hak orang kampung akan tanah, hak melindungi makam leluhur, juga merupakan suatu masakre budaya serta tragedi budaya. Ironinya bahwa Dayak menghancurkan Dayak. Barangkali di hadapan keadaan begini, Kalteng, perlu melahirkan tokoh-tokoh sendiri yang terasah dan menjadikan "rakyat sebagai poros". Bukan dibebalkan dan dirabunkan oleh uang sang raja. Barangkali. Perusakan 6 betang dan dua sandong di Katingan hanyalah isyarat tentang kian menggawatnya keadaan. Dari Bantimurung aku seakan mendengar jerit siamang luka kampungku. Siamang luka itu adalah Katingan yang terpuruk dan makin terpuruk sehingga perusakan sandong leluhur pun tidak bisa mereka bela dan lindungi. Katingan bukan lagi Katingan dahoeloe di mana terdapat putera-puteri "mamut meteng pitar harati, mameh ureh"[gagah-berani, cerdik, arif bijaksana serta urakan dan tekun]. Nilai ini pun agaknya larut entah ke mana di sungai dan jiwa yang polusi. Sebuah tragedi budaya sedang terjadi! Andri Galesong Tambun, anak lanangku, Apakah kau mau jadi budak dan manusia tertakluk di Katingan dan kampung-halaman Indonesia?! Jika demikian, percuma kau bernama Galesong Tambun, dan aku pun akan malu sebagai ayah dan Dayak. Aku memang seorang tua, batuk-batuk dan jalan pun sudah tertatih-tatih, tubuhku pun sudah bongkok bagai pohon lentur tanpa daun di makan rayap waktu, tapi masih menolak jadi budak [jipen] kekinian. Kampung ini kampungku, kampung lahirku, anak muda! Kalau seorang penulis Jerman, dahulu, pernah berkata: "Go to east young men!" dan kau Tambun saudara Bungai, abang si Ken, kau mau ke mana?*** Paris, Akhir Musim Dingin 2008. --------------------------------------------- JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia Paris. LAMPIRAN: http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/02/26/brk,20080226-118161,id.html
Cagar Budaya Dayak Dirusak untuk Lahan Kebun Sawit Selasa, 26 Pebruari 2008 | 19:06 WIB TEMPO Interaktif, Jakarta:Sebanyak enam rumah betang__rumah adat suku Dayak__ berusia ratusan tahun berikut makam leluhur telah dirusak oleh perusahaan sawit. Padahal rumah dan makam tersebut sebagai cagar budaya. Keenam rumah betang yang dirusak itu adalah Gantung, Sangkuwu, Sabira, Marayak, Salabutan, dan Sungai Hangoi. Keseluruhan rumah betang itu berada di pedalaman desa Rantau Asem, Kecamatan Katingan Tengah, Kabupaten, Provinsi Kalimantan Tengah. Makam leluhur warisan kepercayaan asli suku Dayak yakni Kaharingan yang dirusak itu adalah Sandung Tunggal dan Sandung Belaya. Menurut Regina Aris Rogas, ahli waris rumah betang itu, situs-situs cagar budaya itu dirusak sejak 2005. Pemilik perusahaan sawit itu beralasan lahan tersebut miliknya. Lahan tempat berdirinya enam rumah betang dan makam leluhur suku Dayak itu mencapai 104 ribu hektar berubah jadi kebun sawit. "Kami selaku ahli waris merasa keberatan dengan hilangnya betang, kuburan tua," ujarnya kemarin. Seharusnya, kata Regina, rumah betang dan makam leluhur itu dilindungi dan dirawat sesuai Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah nomor 10 Tahun 1993 tentang perlindungan cagar budaya. Menurut Regina, ahli waris telah melayangkan puluhan surat kepada pihak perusahaan sawit tersebut. Namun belum ada jawaban. Surat juga sudah dilayangkan kepada Gubernur Kalimantan Tengah, Teras Narang untuk memfasilitasi pertemuan antara ahli waris dan perusahaan sawit itu. "Namun, belum juga ada jawaban," katanya. Kepala Dinas Pariwisata Kalimantan Tengah, Anung Setiyadi kepada wartawan mengatakan segera melakukan kordinasi dengan pihak Kabupaten Katingan soal pengrusakan cagar budaya itu. "Bila hal ini betul terjadi, kami jelas sangat menyayangkan," ujarnya kemarin. "Ini situs peninggalan yang harus kita pelihara." Karana WW . --------------------------------- Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel [Non-text portions of this message have been removed]