Catatan Andri Galesong Tambun:
   
   
   
  LAWAN SENTRALISME NILAI "PUSAT-PUSAT LEGITIMASI"
   
   
   
  Saya akan mencoba sederhana dalam penjelasan singkat dan sekedarnya ini. Saya 
membedakan benar dua istilah yaitu "sentra kegiatan" dan "pusat-pusat 
legitimasi" kesastrawanan-kesenimanan seseorang.
   
   
  Dalam pemahaman saya, "sentra kegiatan", boleh diartikan  sebagai lembaga 
yang menangani kegiatan bersastra dan berkesenian. Sedangkan "pusat-pusat 
legitimasi" adalah sejenis "lembaga" yang melegitimasikan, mensyahkan seorang 
kreator sebagai sastrawan atau seniman.  Ini sungguh tidak masuk nalar saya, 
sementara lembaga yang disebut sebagai "legitimator" belum tentu terdiri dari 
orang-orang kreatif.  Seorang sastrawan-seniman menjadi sastrawan-seniman 
ketika ia berkarya. Apabila ia berhenti berkreasi maka ia pun berhenti sebagai 
seniman.  Tidak sedikit seniman dan sastrawan ketika masih hidup tidak 
diindahkan orang, tapi setelah ia meninggal , karya-karyanya disanjungpuja.  
Seniman dan sastrawan demikian terus berkarya tanpa indahkan diakui orang atau 
tidak.  Gantang penakar  yang disebut "pusat-pusat legitimasi" ini sangat 
subyektif, penuh pertimbangan ini dan itu seperti halnya pemberian hadiah 
Nobel. Lihat saja dalam sejarah saastra Indonesia berbahasa Indonesia. Apakah
 sastrawan-seniman Lekra diakui sebagai sastrawan-seniman oleh pemerintah dan 
yang merasa diri sebagai "legitimator"? Pandangan tentang adanya "pusat-pusat 
legitimasi" , agaknya dekat dengan konsep NKRI yang sentralistis dan 
otoritarianistik, bertolak belakang dengan konsep dan politik budaya republiken 
serta berkeindonesiaan yang bhinneka tunggal ika .
   
   
  Saya selalu menganggap bahwa bahasa, termasuk istilah,  merupakan terjemahan 
dari pola pikir dan mentalitas. Cerminan dari suatu budaya dominan pada suatu 
kurun waktu. Sastra-seni daerah dan kepulauan adalah desentralisasi nilai dan 
pusat-pusat kebudayaan yang syarat-syaratnya makin ditopang oleh adanya 
universitas-universitas di berbagai propinsi. Ide tentang adanya "pusat-pusat 
legitimasi" sebenarnya paralel dengan konsep UUD '45 yang mengatakan bahwa 
"kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah". Yang jika diusut 
akhirnya berujung pada dominasi budaya etnik mayoritas yang terkadang sangat 
feodal dan kadaluwarsa. Saya tidak anti etnik manapun. Saya juga tidak ada 
alasan untuk anti Jawa dan Jakarta. Bahwa Jawa dan Jakarta berkembang dalam 
banyak hal, saya akui, tapi jangan lupa bahwa perkembangan ini pun tidak lepas 
dari sumbangan daerah melalui sistem sentralistik sehingga daerah-daerah dan 
pulau-pulau penghasil devisa hanya mendapat remah-remah dari
 yang mereka hasilkan. Adanya sentra-sentra kegiatan budaya seperti sekarang 
ini sebenarnya , jika penglihatanku benar, tidak lain dari ungkapan menentang 
sentralisme nilai dan  yang disebut "pusat-pusat legitimasi" hanyalah perujudan 
dari sisa-sisa ide sentralistik ini.   
   
   
  Kalau saya berbicara tentang ide desentralisasi nilai dan menolak adanya 
"pusat-pusat legitimasi" tidak berarti saya menolak keniscayaan saling belajar 
dan belajar dari kelebihan serta kekurangan siapa pun, daerah, pulau dan negeri 
mana pun. Apakah Barat menjadi "pusat legitimasi" karya bangsa-bangsa lain? 
Jika merasa dan berpandangan demikian, apakah namanya pandangan dan sikap ini 
kalau bukan pola pikir dan mentalitas orang terjajah yang tak disadari. 
Pandangan dan mentalitas buah dari sistem feodalisme dan neo-feodalisme serta 
otoriatianisme?
   
   
  Secara kongkret berkreasi dan mengembangkan sentra-sentra kegiatan 
berkesenian dan bersastra di berbagai pulau dan daerah adalah jawaban paling 
tepat dalam menjawab sentralisasi nilai, untuk mewujudkan nilai-nilai budaya 
yang  republiken dan berkindonesiaan. Daerah dan pulau-pulau mempunyai syarat 
material dan SDM untuk melaksanakan hal ini. Dan dari hari ke hari makin 
mempunyai syarat. 
   
   
  Pengembangan sastra-seni diberbagai pulau dan daerah adalah suatu perspektif 
lama yang diabaikan di negeri ini. Seperti Barat, Amerika bukan segalanya, 
demikian juga Jakarta dan Jawa, bukan segalanya, walau pun kita perlu belajar 
dari mereka. Renaissance daerah dan  pulau-pulau adalah renaisssance Indonesia. 
 Barangkali demikian. ***
   
   
  Paris, April 2008
  -----------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris.
   
   
   
  LAMPIRAN:
   
   
  
From: La Lune <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Thu, Apr 17, 2008 at 5:15 PM
Subject: Re: Sentra Kegiatan dan Legitimasi,
To: [EMAIL PROTECTED]



    JAWABAN LUNA KEPADA LY DAN PACE KUSNI
  teman-teman
  Ketika Ly, yang tinggal di Tokyo , menangkap kecenderungan seniman/sastrawan 
daerah bermental "menunggu" undangan dari pusat, dan pace Kusni, yang tinggal 
di Paris, bicara tentang indipendensi  yang seharusnya dimiliki oleh 
sastra-seni kepulauan, maka ijinkan saya co'do' (nimbrung, artinya pace J, 
bahasa Makassar) soal sikap menunggu dan independensi  "seni-sastra kepulauan" 
dalam skala yang sangat kecil, di Makassar.  Mungkin ada yang berpendapat, 
apalah Makassar itu, kok dijadikan kasus?  Tapi saya berani mengajukannya 
karena ada sesuatu yang sedang bergeliat disana, dengan karakter yang 
dibicarakan oleh dua orang penulis yang saya kagumi ini: mental menunggu dan 
independensi. 
  Sepakat dengan Ly, sentra-sentra legitimasi itu ada. Sentra legtimasi 
seni-sastra di Makassar itu ada, tidak banyak, kalau ditarik dalam skala 
Indonesia,  tapi ia ada. Eksis. Di wakili oleh "komunitas" Sociteit de Harmony 
(SdH). Gedung kesenian di Makassar.  Komunitas dan kemudian "aura" –saya 
memilih memakai kata ini,- legitimasi Sociteit de Harmony  ini tidak dibentuk 
oleh keinginan seseorang , atau beberapa orang.   Tidak hadir begitu saja.  
Aura itu adalah "warisan".  Aura ini terbentuk oleh kegigihan orang-orang  
seperti Arsal Alhabsy alm., Husni Jamalludin alm, Rahman Arge,  Aspar Paturusi 
dan nama-nama lain  dalam kepengurusan Dewan Kesenian Makassar, untuk membangun 
atmosfir kecerdasan budaya di sana. 
   
   Atmosfir kecerdasan budaya ini, mereka –tentu saja tidak sebagai individu- 
hadirkan  lewat diskusi-diskusi  dengan melibatkan nara sumber yang karya dan 
pemikirannya didengar pada level bangsa –sekali lagi, pada waktu itu-.  Umar 
Kayam,  Halim Said, Cak Nur,  Cak Nun, bukanlah wajah yang asing di diskusi 
bulanan DKM itu. Diskusi yang membahas isu-isu budaya dan sosial, selain sastra 
tentu saja
   
  Dan sebagai  anak bawang, pendengar yang baik dalam diskusi-diskusi itu, 
merupakan kebanggan tersendiri buat teman-teman jika isu-isu budaya dan sosial 
itu, kemudian bisa diselipkan dalam tulisan-tulisan di media lokal. Apalagi 
jika tulisan itu kemudian dikomentari oleh para "tetua dunia persilatan" itu.  
Pada masa saya, adalah Moh. Hasymi Ibrahim , Dg. Nyonri , dalam deretan anak 
bawang itu. 
   
  Upaya-upaya pencerdasan diri, SERTA memperkenalkan karya , didorong dengan 
motivasi sederhana: untuk bisa memasuki arena diskusi di DKM dengan kepala 
tegak itulah, yang barangkali telah membangun aura legitimasi SdH.  Hanya itu 
tiketnya: cerdas dan memiliki karya. Diskusi bulanan menjadi  ajang seleksi 
alam. Ketika secara alami proses ini berjalan, mereka yang tidak bisa bertahan 
dengan aktualisasi diri dan karya tersingkir.  Otomatis menjadi semakin kuatlah 
aura legitimasi itu, semakin tercekamlah para penggembira seni-sastra  di 
"pedalaman " dan "pulau-pulau" di sekitar SdH, oleh aura legitimasi itu. 
   
  Di sisi lain pada masa itu, banyak sekali sanggar terbentuk di Makassar, dan 
di hampir semua sanggar ada kegiatan teater. Aura legitimasi Sdh yang 
dikokohkan oleh karya-karya teater Rahman Arge, Aspar Paturusi, membuat 
kegiatan teater-teater ini lalu mengacu pada program-program TVRI.  
Fragmen-fragmen. Tidak berani hadir di panggung gedung kesenian dengan karya 
sendiri. Karena merasa tidak selevel, asumsi saya. Dibutuhkan seorang 
"pemberontak" seperti Dg. Nyonri untuk mendobrak aura legitimasi itu. Dengan 
menulis dan menyutradarai naskah teaternya sendiri: Sang Guru. 
   
  Hal yang sama berulang saat ini. Hampir di setiap kampus ada kelompok teater, 
mereka mengagendakan kegiatan-kegiatan apresiasi sastra, tapi agenda-agenda ini 
melempem karena "aura" legitimasi SdH itu. Padahal, upaya-upaya fasilitasi 
kepada pencerdasan, aktualisasi diri dan karya  telah menjadi cerita masa lalu. 
Itu yang saya maksud dengan "warisan". Warisan yang tersia-sia. 
   
  Hilangnya upaya-upaya itu, yang mendorong terbentuknya Forum Tenda Kata.  
Dengan pikiran sederhana, daripada menunggu "pedalaman" dan "pulau"  di sekitar 
aura legitimasi SdH itu tumbuh pe-de-nya, kenapa tidak mendatangi komunitas 
sastra di kampus dan kafe-kafe, atau atas nama apa saja dan memfasilitasi 
mereka kepada dua ticket terbentuk nya legitimasi, dalam versi kami: komunitas 
yang cerdas dan berkarya. Bukan sekumpulan pemburu proyek yang bersembunyi di 
"pernah berkarya".  Forum Tenda Kata, meski belakangan ini tersendat-sendat 
kegiatannya, berusaha keras mendorong terbentuknya atmosfir dialog berbasis 
karya ini. Upaya yang lagi-lagi harus membagikan (bagi aja ya , mas..) kepada 
Halim HD kredit point , karena dukungan yan ia berikan.  Dukungan untuk 
mengeluarkan komunitas "seni-sastra kepulauan" di sekitar SdH, dari intimidasi 
legitimasi SdH. Supaya komunitas-komunitas di luar SdH ini, tidak perlu merasa 
tidak selevel, dan terdorong membuat karya yang dapat diapresiasi
 oleh public yang lebih luas, bukan cuma jadi jagoan kandang. 
   
  Melihat bagaimana legitimasi ini terbentuk, dalam skala yang sangat kecil, 
saya berasumsi, itu pulalah barangkali yang terjadi dengan TIM, atau Jakarta 
atau tempat lain.  Sentra-sentra ini, mungkin tidak mengklaim dirinya sendiri, 
tapi pada tempat-tempat ini ada "upaya-upa ya" historis yang pada suatu masa 
merupakan hal yang sangat seksi. Hal yang membuat seseorang terbakar oleh 
inspirasi, memiliki orietasi, jika bukan untuk komunitasnya, setidaknya 
orientasi untuk dirinya sendiri.  
   
  Sayangnya, mungkin seperti pada suatu masa, hal-hal yang seksi dari diskusi 
bulanan di Dewa(n) Kesenian Makassar itu berhenti, tidak cukup banyak orang 
yang cukup arif mengakui hal itu, bahwa yang tersisa hanya agenda  dan upacara 
rutin, tanpa jiwa. Dalam keadaan itu sayangnya lagi, tidak ada orang yang cukup 
berani mengatakan kepada dirinya sendiri: "ini saat untuk menyusur jalan kita 
sendiri." 
   
   Pace Kusni, sentra legitimasi itu ada, menurut saya. Tidak definitif memang. 
Sehingga kita punya kesempatan untuk mempertanyakan: barangkali itu hanya 
tipuan kosong nama besar beberapa orang yang kebetulan telah lebih dulu 
berjalan. Mungkin itu " warisan" gelar semata. Karena itu aura legitimasi ini 
harus ditelanjangi. Karena inferioriti adalah sikap kita terhadap diri sendiri, 
menurut saya
   
  Bagaimana menelanjanginya? Dengan kerja indipenden yang sedang bersama kita 
lakukan, memperkenalkan sastra Indonesia di Perancis seperti  pace Kusni dan 
teman-teman, Tour de Java Sastra dari Makassar yang dilakoni Aan,  Makkunrai 
Project yang sedang di lobby Ly dari Tokyo, dan yang saya kerjakan dengan 
teman-teman di kota Makassar, dalam skala yang jauh lebih kecil dan sederhana 
lewat Forum Tenda Kata. Sesungguhnya kita sepaham, seide, seperahu, seiring 
sejalan, bukan?
   
  (kalimat terakhir ini, saya cari-cari untuk bisa mengakhirinya dengan tanda 
tanya juga seperti anda berdua.. J).***


       
---------------------------------
 
 Real people. Real questions. Real answers. Share what you know.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke