http://pjvermonte.wordpress.com/2007/04/15/soal-ipdnstpdn/


Ramai sekali pembicaraan soal IPDN/STPDN setelah tewasnya Cliff Muntu, seorang 
siswa di sana, di tangan para seniornya. Kematian Cliff Muntu malah membuka 
kasus lama, ternyata penganiaya dalam kasus sebelumnya tidak pernah di eksekusi 
secara hukum alias belum menjalani masa tahanan.

Kasus IPDN/STPDN ini hanya kembali memperlihatkan carut marutnya birokrasi, 
penegakan hukum, dan dunia pendidikan kita. Di samping itu, budaya kekerasan 
masih berakar dan ditoleransi. Kalau lagi iseng, silahkan tengok saja 
friendster page yang dimiliki mahasiswa IPDN/STPDN. Di friendster page-nya, 
para praja IPDN/STPDN membela diri bahwa tindak kekerasan hanya dilakukan 
'segelintir' orang alias oknum. Memang khas orang kita, 'oknum' adalah pelarian 
terbaik untuk menutupi kelemahan. Kalau kejadian berulang, korbannya pun 
maksimal (alias kematian), tentu bukan oknum lagi penyebabnya.

Apalagi melihat cuplikan rekaman yang disiarkan Metro TV (saya lihat di 
youtube), acara 'pembinaan' dengan kekerasan dalam rekaman itu dilakukan tengah 
hari, terang benderang, di lapangan terbuka di dalam kampus. Artinya, kegiatan 
itu diketahui, dilihat semua orang, dan dianggap sebagai sesuatu yang biasa di 
sana.

Ulah para senior di IPDN/STPDN ini sebetulnya adalah cerminan budaya menindas 
yang ada dalam diri banyak orang kita juga. Sangat umum diantara kita ketika 
memiliki 'kekuasaan' sedikit saja, maka potensi menindas kepada mereka yang 
lebih lemah posisinya dari kita akan meningkat.

Bukan cuma di IPDN/STPDN, di kampus perguruan tinggi negeri juga begitu. Senior 
merasa berkuasa di banding junior, banyak dosen 'menindas/mempersulit' 
mahasiswa, petugas imigrasi yang meminta uang pada aplikan pembuat paspor, 
polisi lalu lintas menilang supir metromini, angkot atau ojek kadang tanpa 
alasan jelas.

Rumus tentang kekuasaan sederhana, setiap mahasiswa ilmu politik tahu persis. 
Adagium dari Lord Acton bilang: power tends to corrupt. Dari jaman dulu hingga 
sekarang, kekuasaan sangat mungkin disalahgunakan.

Wajah kekerasan ada dimana-mana, watak militeristik juga terpelihara. Hampir 
semua ormas punya sayap 'kekerasan' dengan pemuda sebagai tulang punggungnya. 
Bahkan, dua organisasi Muslim terbesar di tanah air, Muhammadiyah dan Nahdlatul 
Ulama, punya Kokam dan Banser. Lalu, cerita tentang organisasi Pemuda Pancasila 
bukan lagi rahasia. Partai-partai politik juga punya sayap 'kekerasan', seperti 
PDI-P dan lain-lain. Baik berafiliasi formal dan non-formal.

Saya sendiri pernah diundang menjadi pembicara seminar yang diselenggarakan 
oleh siswa IPDN/STPDN di kampusnya di Jatinangor. Lupa, kalau tidak salah tahun 
2003 atau 2004. Yang jelas acara itu diselenggarakan tidak lama setelah kasus 
tewasnya praja STPDN bernama Wahyu Hidayat. Topik seminarnya soal hubungan 
sipil militer. Sebagai panelis, waktu itu saya dipasangkan dengan Wakil 
Komandan Sesko TNI Angkatan Darat (Seskoad), yang saya lupa namanya. 
Penyelenggara acara ini, ya mahasiswa IPDN/STPDN. Bukan pihak rektoratnya.

Saya senang hari itu datang ke sana. Saya ingin tahu juga, bagaimana kehidupan 
di dalamnya. Seminarnya sih masih bergaya mobilisasi, semua praja wajib hadir 
di aula besar IPDN/STPDN. Jadi mungkin hari itu saya bicara di depan lebih dari 
1000 siswa, rasanya seperti sedang kampanye partai politik..he..he.

Sepanjang interaksi saya hari itu, saya merasa bahwa mereka adalah 
praja/mahasiswa yang pandai. Dari cara mereka mengemukakan pertanyaan dan 
menanggapi kami sebagai pembicara, saya bisa meraba bahwa mereka serius belajar 
dan banyak membaca. Juga kritis pada TNI. Walhasil, saya tidak perlu kerja 
keras meyakinkan para siswa IPDN/STPDN yang notabene adalah calon birokrat 
sipil ini bahwa TNI itu harus dikontrol oleh pihak sipil sebagai prasyarat 
demokrasi yang sehat.

Saya ingat moderator hari itu adalah seorang dosen muda perempuan mereka. Dari 
caranya menjadi moderator, mengulas dan ikut serta dalam diskusi, saya yakin 
dia adalah dosen yang luas bacaannya.

Hingga beberapa waktu lalu, saya masih sering menerima email dari para siswa 
IPDN/STPDN ini. Mereka sering bertanya banyak hal, mulai kajian sosial politik 
hingga berkonsultasi tentang bagaimana caranya mendapatkan beasiswa untuk 
melanjutkan studi ke luar negeri. Saya baru sadar, bahwa email-email itu sudah 
berhenti, mungkin mereka-mereka itu sudah lulus sekarang dan ditempatkan di 
daerah masing-masing.

Sederhananya, saya mau bilang bahwa pendidikan di IPDN/STPDN saya rasa 
diperlukan. Yang harus dilakukan adalah menghilangkan elemen kekerasan. Memang 
kalau dibayangkan, negara seluas Indonesia membutuhkan aparat birokrasi yang 
cakap dan memang dididik untuk itu. Yang perlu dilakukan adalah menanamkan 
doktrin baru, bahwa mereka adalah birokrat pelayan masyarakat, bukan pemimpin.

Birokrasi kita menakutkan, karena malah mempersulit, bukan melayani. Malah, 
masyakarat yang lebih sering terpaksa melayani para birokrat ini. Ada tiga 
tempat yang saya suka keringat dingin kalau harus datang. Pertama, kantor 
semacam kelurahan atau kecamatan untuk bikin kartu keluarga, KTP atau 
semacamnya. Kedua, tempat bikin SIM. Ketiga, kantor imigrasi. Menyebalkan. 
Setiap ke tempat-tempat itu, belum sampai ke sana pun yang ada dibenak saya 
adalah bahwa saya akan dikerjai dan dipersulit. Kalau IPDN/STPDN terutama 
diarahkan pada pendidikan birokrat yang kompeten dan bermental melayani, tentu 
baik sekali.

Sepengamatan saya, ada yang salah dalam mentalitas para siswa dan lulusan 
IPDN/STPDN. Mereka merasa sebagai orang-orang terpilih dan calon pemimpin. 
Kalau terpilih, ya memang iyalah. Kan memang diseleksi, sama seperti mahasiswa 
di kampus negeri yang harus melalui UMPTN.

Tetapi, kalau calon pemimpin, ya jelas bukan. Yang betul, mereka adalah calon 
birokrat, pelayan masyarakat. Saya rasa perasaan sebagai calon pemimpin ini 
adalah sisa jiwa Orde Baru, dimana birokrasi dulu adalah mesin politik 
kekuasaan. Maka tidak heran bila birokrat dianggap sebagai pemimpin.

Mungkin harus kita pahami, bahwa dalam konteks demokrasi pemimpin harus 
mendapat legitimasi lewat pemilihan (umum). Sementara mereka dari IPDN/STPDN 
ini disuplai, dijamin pekerjaannya setelah lulus di birokrasi hingga struktur 
pemerintahan di bawah. Salah besar kalau lalu mereka menganggap dan dianggap 
sebagai pemimpin, wong untuk mendapat jabatannya itu mereka tidak melalui 
pemilihan untuk meyakinkan apakah masyarakat menghendaki mereka jadi 
pemimpinnya kok.

Konon kabarnya, siswa IPDN/STPDN terutama dipersiapkan menjadi camat. Camat di 
Indonesia adalah sayap birokrasi, tidak melalui mekanisme pemilihan umum. 
Dibanding Camat, para kepala desa justru lebih pantas dianggap pemimpin, karena 
sebagian besar mereka sekarang dipilih langsung oleh masyarakat desa.

Jadi, hancurkan doktrin yang ditanamkan pada siswa IPDN/STPDN soal pemimpin 
ini. Juga hancurkan doktrin soal eksklusifitas. Eksklusifisme dimana-mana akan 
mengorbankan transparansi, dan membuat orang merasa lebih baik daripada yang di 
luar lingkaran mereka. Baju seragam, potongan cepak, sepatu hitam mengkilat 
hapuskan saja, dari sini juga mungkin rasa eksklusifisme dipelihara (walaupun 
ini juga susah, pasti ada kepentingan bisnis dari penyedia segala atribut baju 
seragam, sepatu, tas dan semacamnya untuk ribuan siswa IPDN/STPDN setiap 
tahunnya..he..he). Kalau masih mau pakai seragam, yah kasih celana kain hitam 
dan kemeja putih saja yang lebih netral. Atau pakai seragam merah putih 
sekalian?

Karena merasa eksklusif, ada potensi siswa IPDN/STPD terlalu tinggi menilai 
diri mereka sendiri (yang membuncah dalam diri senior-senior brutal itu). 
Merasa bahwa mereka adalah 'trah' terbaik, siap jadi pemimpin. Pinjem kata-kata 
si Tukul lagi: gundul mu!.he..he.

Kalau perlu bubarkan juga mekanisme asrama itu. Calon birokrat ya sebaiknya 
tinggal berbaur saja dengan masyarakat di sekitar. Beasiswa mereka toh bisa 
jalan terus. Sekalian, buka juga pendaftaran bagi pihak umum yang ingin belajar 
di IPDN/STPDN. Kajian soal pemerintahan, otonomi daerah, dan pemerintahan 
daerah adalah kajian umum. Program otonomi daerah yang berjalan di Indonesia 
adalah salah satu yang paling masif di seluruh dunia. Karena itu, lulusan 
perguruan tinggi yang paham soal pemerintahan daerah dan otonomi juga 
diperlukan oleh pihak swasta. Juga oleh pihak luar negeri yang akan berhubungan 
dengan pemerintah daerah.

Dengan demikian, kajian IPDN/STPDN akan lebih kaya dan bisa ditujukan untuk 
kepentingan yang lebih luas untuk memajukan daerah, bukan hanya untuk 
birokrasinya. Jadi saya bersetuju bahwa IPDN/STPDN layaknya diatur oleh 
Depdiknas, bukan oleh Depdagri. Walaupun, untuk calon siswa IPDN/STPDN yang 
masuk melalui jalur seleksi Pemda, tetap bisa diberi ikatan dinas dengan 
Depdagri dan dipersiapkan memasuki birokrasi.

 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke