Jurnal Sairara:
   
   
  "SEKARANG SAYA MENGERTI MENGAPA"
   
   
  Jurnal ini merupakan lanjutan rekaman subyektifku tentang pertemuanku dengan 
Akmal N. Basral, November 2008 lalu di Jakarta, sejenis catatan yang telah 
kubuat tentang perjumpaanku beberapa kali dengan Saut Sitomurang di Yogyakarta. 
   
   
  Kenanganku berjumpa Akmal terangkat kembali ketika kemarin petang, aku 
membaca puisinya di bawah ini: 
   
   
  "SEKARANG SAYA MENGERTI MENGAPA"
   
                    oleh: akmal n. basral
   
  sekarang saya mengerti mengapa
  indonesia (selalu) porak poranda
  : kejujuran tak lagi diletakkan di tempat utama
   
  rasa toleran dan perkawanan membuat
  permaafan dengan mudah diberikan
  simpati dengan mudah dihamburkan
   
  pemihakan diberikan kepada pelaku kejahatan
  bukan menyelami perasaan korban
   
  sekarang saya mengerti mengapa
  indonesia (selalu) porak poranda
  : apa yang kita kira cinta sesungguhnya
  adalah justa yang dipelihara
   
  ~a~
   
  cibubur, 31.01.08





   
  Keistimewaan puisi ini, kukira  terletak pada kesederhanaan kata-kata dan 
ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh penyair -- sekali pun ia lebih dikenal 
sebagai novelis dan wartawan. Kata-kata terakhir ini kuimbuhkan, karena kukira, 
cara ungkap puisi dan prosa, rada beda [untuk menggunakan istilah yang lunak].  
Uraian prosa, entah cerpen, novel dan apalagi roman, jauh lebih rinci, 
sedangkan puisi merangkum soal-soal besar secara bernas dan puitis. Nampaknya 
jarak kedua bentuk yang tadinya berjauhan didekatkan oleh bentuk puisi-prosa, 
misalnya pada karya Linus Suryadi tentang Pariyem,   si gadis desa Jawa; dan 
bentuk prosa-puisi seperti yang dicoba oleh Toha Mochtar dalam "Pulang" atau 
Ita Siregar dalam novelnya "Mencari Daniel" atau bentuk "reportase literer" 
yang pada suatu ketika intensif digunakan oleh Amarzan Ismail Hamid, dan juga 
dieksploatasi dan diekspolrasi oleh Martin Aleida. Kalimat-kalimat novel dan 
cerpen Martin dan Ita mengesankan padaku mencoba hadir secara
 puitis, sehingga membuat kalimat-kalimat mereka, selain indah, juga menjadikan 
kalimat-kalimat mereka "berwayuh makna". Bukankah selain puitisitas, "wayuh 
makna" merupakan salah satu ciri puisi? Dengan mengeksploatasi dan 
mengeksplorasi kemungkinan ini maka kulihat ada usaha mendekatkan jarak antara 
puisi dan prosa.  Kebesaran puisi, terletak pada kemampuannya meringkaskan 
hakekat masalah besar secara bernas dan puitis. 
   
   
   
  Puitisitas tidak terdapat pada "ndakik-ndakik"nya  ungkapan sehingga 
cenderung membawa puisi ke tempat gelap dan terasing untuk kalangan terbatas. 
Dengan mengatakan ini, aku tidak serta-merta memandang puisi berungkapan 
"ndakik-ndakik" sebagai bukan puisi. Yang ingin kukatakan terutama masalah 
lebih komunikatif tidaknya sebuah puisi.   Puisi-puisi Rendra atau Tan Lioe Ie, 
kudapatkan sebagai puisi-puisi yang gampang dicerna sehingga lebih komunikatif. 
Apalagi kedua penyair ini menggunakan latar dan dasar budaya lokal. Yang satu 
menggunakan latar dan dasar budaya Jawa, sedangkan yang terakhir menggunakan 
latar dan dasar budaya etnik Tionghoa-Indonesia. Yokki, panggilan akrab Tan 
Lioe Ie, mengeksploatasi dan mengeskplorasi latar dan dasar budaya etnik 
Tionghoa sebagai pangkalannya tinggal landas ke angkasa sastra yang tak 
berbatas. Sebagaimana dulu dilakukan oleh Udin, pemimpin Ansambel Tari Nyanyi 
Maju Tak Gentar,  Medan, dalam dunia musik. [Di mana dan bagaimanakah nasib
 Udin dan penyanyi-penyanyi Maju Tak Gentar sekarang seperti Amir Siregar 
sekarang? Setelah Tragedi Nasional September 1965, aku sama sekali tak 
mendengar lagi keadaan mereka dan sastrawan-seniman Lekra lainnya. Aku hanya 
mengetahui bahwa Evy Tjoa, soprano lulusan Konservatori Roma, Evlyne Tjiauw, 
soprano bintang radio nasional RRI,  berada di Hong Kong, Kondar Sibarani, 
komponis dan bintang radio juga,  berada di Jerman. Sedangkan Wen Peor, pelukis 
dan pencukil kayu terkemuka pada zamannya, baru kuketahui setelah ia meninggal 
di Hong Kong. Mereka seperti dedaunan hutan yang diaduk badai besar beterbangan 
ke segala penjuru ].
   
   
  Aku kembali terkenang pada seniman-seniman ini setelah membaca puisi Akmal 
"Sekarang Saya Mengerti Mengapa", terutama oleh larik-larik berikut:
   
   
  "pemihakan diberikan kepada pelaku kejahatan
  bukan menyelami perasaan korban"
   
   
  karena, lanjut Akmal:
   
   
    ": apa yang kita kira cinta sesungguhnya
  adalah justa yang dipelihara"
   
   
   
  Membaca puisi Akmal yang kuat karena kesederhanaannya dan gampang dicerna 
serta membicarakan soal besar bangsa dan kemanusiaan,  kudapatkan ia sebagai 
keluar penaka  arus mengalir lancar dari nuraninya. Judulnya "Sekarang Saya 
Mengerti Mengapa",  mengesankan padaku bahwa selama sekian puluh tahun atau 
lebih, mungkin Akmal pun, menduga "justa" benar sebagai "cinta sesungguhnya". 
Jika benar dugaanku, bahwa puisi ini merupakan hasil pergelutan dalam [intern] 
yang sengit dan kerinduannya akan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan, maka 
proses penciptaan puisi ini memakan waktu sekian puluh tahun. Kukatakan sekian 
puluh tahun, karena baru kemudian ia bisa ditulis setelah Soeharto mati 27 
Januari lalu. Lahirnya puisi sederhana mendalam dan menyeluruh,  Akmal ini 
mengingatkan aku akan lirik sebuah lagu  penyanyi Rinto Harahap: 
   
   
  "cari dan selalu kucari jalan terbaik 
  agar tak terjadi penyesalan 
  dan airmata"
   
   
  lirik yang sejalan dengan kata-kata bahwa : 
   
   
  "yang mengetok akan dibuka
  yang mencari akan mendapat"
   
   
   
  Betapa pun panjangnya jalan yang ditempuh oleh renungan pencarian,  akhirnya 
Akmal menemukan jawab pertanyaannya sehingga ketika melihat keadaan negeri dan 
bangsanya, dua hari lalu ia berkata "Sekarang Saya Mengerti Mengapa".  
   
   
  Tidak mengerti bukanlah suatu kesalahan, asalkan seseorang itu tidak berlagak 
mengerti dan kemudian mencoba mencari. Sikap ini adalah tanda kejujuran, dan 
kadar seorang sastrawan-seniman kukira , antara lain terletak pada kejujurannya 
, terutama kejujuran pada diri sendiri dan kemanusiaan. Sebab tanpa unsur ini, 
apalah yang bisa diharapkan dari seorang sastrawan-seniman, kecuali menyaksikan 
ia sibuk dengan diri sendiri dan  bermain dengan "berindah-indah" tanpa 
memahami benar apa arti indah itu sendiri secara konsepsional. Memisahkan 
hubungan keindahan dari  tautan  sosial dan kemanusiaan dengan dalih estetika 
murni -- sekali pun kemudian jika diusut menjadi tidak murni benar. 
   
   
   
  Barangkali  juga akan menarik untuk membandingkan  seruan "Lawan!" dari Wiji 
Thukul, yang merupakan semangat  umum di masyarakat pada periode represi paling 
berdarah, dengan ketercengangan Akmal di tahun 2007 ketika Soeharto mati,  
sehingga berkata oo, "Sekarang Saya Mengerti Mengapa".
   
   
  Seruan "Lawan!" dari Wiji merupakan jalan tunggal menghadapi penindasan. 
Secara teoritis hal ini bisa dilihat dari apa yang dikatakan oleh Mao Zedong 
bahwa "di mana ada penindasan maka di situ akan ada perlawanan".  Perlawanan 
pada masa Wiji Thukul merupakan keperluan urgen zamannya. Urgensi ini pun 
sangat diperlukan guna menjawab "budaya takut", "cari selamat", "tiarap" , 
kebiasaan hanya mengucapkan "ya" sebagai produk dari pendekatan "keamanan dan 
stabilitas nasional"  , "desa mengambang", dan lain-lain metode penindasan  
Orba.  Apa bagaimana sesudah melawan, dan Orba tumbang, tidak menjadi hitungan 
utama. Pokoknya "Hanya ada satu kata: Lawan!", walau pun perlawanan itu masih 
bersifat spontan seperti halnya dengan perlawanan petani tebu dan tembakau di 
Klaten sampai pada pemerintah Soekarno.
   
   
   
  Sedangkan Akmal agaknya melalui puisi "Sekarang Saya Mengerti Mengapa" 
menyarikan keadaan di mana represi jauh lebih berkurang dibandingkan pada masa 
Thukul menyerukan semangat zamannya: "Lawan". Reformasi --yang kukira merupakan 
hasil perlawanan --  sedikit melonggarkan tekanan dan penindasan berdarah. 
Ketakutan mereda, yang tiarap mulai bangkit berdiri dan bersuara. Orang-orang 
lebih berani dan makin  banyak berani  mengatakan "tidak" pada ketidakadilan, 
menyatakan aspirasi. Kelonggaran situasi politik ini memberi syarat kepada  
orang-orang untuk merenung tentang apa yang sudah dan masih terjadi sehingga 
"indonesia (selalu) porak poranda" .
   
   
   
  Jika pemahamanku benar atas puisi singkat Akmal dan proses lahirnya, maka 
puisi ini  agaknya merumuskan secara terpusat keadaan pemikiran dan spiritual 
angkatan yang tumbuh pada masa Orde Baru. Data-data rincian rumusan terpusat 
Akmal melalui puisinya ini, kiranya dengan mudah kita perolehi dari entah 
berapa banyak terpajang di suratkabar, majalah dan media elektronik berbentuk 
tulisan tentang kematian Soeharto. Pertentangan pendapat dan penilaian tentang 
Soeharto kupandang sebagai kegelisahan anak negeri dan bangsa dalam proses 
pencariannya mengejawantahkan rangkaian nilai-nilai republiken dan 
keindonesiaan.  Tidak ada yang menakutkan dari silang pendapat begini asalkan 
kita camkan apa yang dicanangkan oleh Akmal agar menempatkan kejujuran di 
tempat utama, justa jangan dipelihara dan jangan berpihak pada kejahatan serta 
pelaku kejahatan. Dengan syarat demikian silang pendapat bisa turut 
mendewasakan kita dalam hidup berbhineka. 
   
   
  Kalau Wiji Thukul melalui baris puisinya "Hanya ada satu kata:Lawan!",  
kalimat sanjak yang ia bayar dengan nyawa,  menjurubicarai periode perlawanan 
terhadap Orde Baru, maka puisi Akmal "Sekarang Saya Mengerti  Mengapa" ini, 
boleh jadi menandai mulai muncul berkembangnya suatu kesadaran di kalangan 
masyarakat, terutama angkatan Akmal, kesadaran paska Orde Baru.  Walau pun 
sementara penulis melihat bahwa matinya Soeharto tidak menandai lenyapnya Orba, 
tapi munculnya "Orba Seri ke-II". 
   
   
  Dari segi ilmu militer, barangkali matinya Soeharto  memperlihatkan adanya 
syarat untuk memasuki tingkat strategis baru, jika syarat kekuatan yang tadinya 
merupakan arus bawah bersama-sama "contre  elite"nya memang tersedia. Keadaan 
ini sebenarnya secara tersirat tertuang dalam puisi Akmal "Sekarang Saya 
Mengerti Mengapa".  
   
   
  "Sekarang Saya Mengerti Mengapa" , kukira menunjukkan kita berada di mana, 
pertanyaan yang oleh Taslima Nasreen, sastrawan Bangladesh yang nyawanya 
terancam oleh kaum "fundamentalis Islam" India, ketika menerima hadiah Simon 
-de-Beauvoir,  9  Januari  2008 lalu, untuk kemerdekaan perempuan,  disebut 
sebagai pertanyaan penting [Harian Le Monde, Paris [Harian Le Monde, 12 Januari 
2007].  "Aku di mana", tahu kita sedang berada di mana , tentu saja tidak cukup 
kalau kita sepakat bahwa mengenal keadaan dan tempat di mana kita berada hari 
ini hanyalah langkah berikut untuk mengobah keadaan: Mau ke mana dan mau apa. 
Dan bagaimana menuju ke mana serta mewujudkan mau apa itu.  Barangkali 
pertanyaan-pertanyaan  inilah sekarang yang menanti jawaban anak bangsa dan 
negeri ini. Termasuk para sastrawan dan senimannya. 
   
   
  Lahirnya puisi "Sekarang  Saya Mengerti Mengapa" , dari segi lain 
memperlihatkan metode berkreasi Akmal yaitu menyatukan diri dengan kehidupan 
secara totalitas, membaca kehidupan itu. Kehidupan merupakan sumber ilhamnya, 
dan dengan tingkat kemampuan bacanya  ini, kemudian ia berkarya. Mentautkan 
diri dengan kehidupan, berusaha membaca kehidupan dengan seksama,  merupakan 
tahap persiapannya sebelum berkarya. 
   
   
  Demikianlah pemahaman sederhanaku sebagai peminat sastra-seni dalam  membaca 
puisi Akmal "Sekarang Saya Mengerti Mengapa".***
   
   

  Paris,  Musim Dingin 2008
  ------------------------------------
  JJ. Kusni,  pekerja biasa Koperasi Restoran Indonesia Paris.

       
---------------------------------

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke