Jurnal Toddopuli: 
  
  
  
FILEM DJENAR MAESA AYU  
DI "SEPULUH JAM UNTUK SASTRA INDONESIA",  PARIS 
07 Desember 20 
  
  
Acara akhir temu sastra internasional "Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia" pada 
07 Desember 2008 yang berlangsung di Maison des Cultures du Monde, 101 
Boulevard Raspail, 75006, Paris berupa pemutaran  filem  "Mereka Bilang, Saya 
Monyet" karya Djenar Maesa Ayu. Filem  sepanjang 93 menit ini diikuti dengan 
penuh perhatian oleh para peserta temu sastra yang dari awal hingga akhir boleh 
dibilang relatif tidak berkurang. Demikian pula Laksmi Pamnutjak dan saya yang 
duduk berjejeran kursi,  selama 93 menit saling tak berbicara agar fokus 
mengikuti filem Djenar ini.  
  
Melalui filem ini Djenar yang lahir pada tahun 1973 bertutur  tentang seorang 
perempuan muda penulis yang dibayangi oleh masa silamnya.  Ia menjalani dua 
hidup paralel , yaitu kehidupan di klub-klub malam [les boites de  nuits, 
night-clubs] di mana ia bersikap agresif terhadap teman-temannya dan 
kekasihnya. Kemudian kehidupan lain, yaitu sifat pasifnya di hadapan sang ibu.  
Apakah Adjeng, tokoh utama filem, bisa membebaskan diri dari tindasan sang ibu, 
dan bisa berdamai dengan "setan-setan" masa bocahnya? Inilah pertanyaan yang 
diolah Djenar dalam filem ini. Pertanyaan ini dijawab dengan teriakan Adjeng 
dalam bentuk flash-back bagaimana ia diperkosa oleh teman lelaki ibunya ketika 
ia sedang mandi. Ketika sang ibu menyaksikan adegan ini, ia memukul kepala 
lelaki kekasihnya itu. Darah segar pun mencurat ke mana-mana dan Adjeng 
menjerit. Djenar menutup filemnya dengan kata-kata "ibuku memelihara seekor 
lintah". Dalam filem ini , tentu saja Djenar tanpa
 kekikikukan sedikit pun mempertotonkan adegan-adegan ranjang dan ciuman -- - 
hal yang pada periode pemerintahan Soekarno, misalnya merupakan adegan tak 
terbayangkan. Pertanyaan yang segera menyusup benakku dalam diam:  "Inikah 
kehidupan angkatan baru tingat masyarakat tertentu negeriku sekarang?". Tapi 
yang jelas, saya merasa, dalam filem ini,  Djenar bersikap sangat jujur pada 
dirinya. Melalui teriakan Adjeng di akhir filem, saya seperti mendengar jerit 
kebuntuan suatu angkatan anak negeri dan kalangan tertentu masyarakat yang 
nampak penuh glamur tapi galau tak tahu mau apa dan ke mana. Kehidupan pun 
nampak sangat garang tak berbelas kasihan.  Sangat berdarah. Bahkan peradaban 
dan manusia berada di pinggiran. Saya tidak tahu pasti, apakah benar demikian 
pesan Djenar, jika ia memang mau menyampaikan pesan kepada penontonnya melalui 
pengungkapan berbau sperma, alkohol dan asap rokok? Pertanyaan ada tidaknya 
pesan sadar yang mau disampaikan oleh
 Djenar karena menurut pengamatan seorang indonesianis Perancis, Henri 
Chambert-Loir -- yang juga anggota "Pasar Malam", bahwa "Hal yang mencengangkan 
dalam sastra Indonesia yaitu adanya perhatian selalu akan kenyataan". "Sastra 
seakan merupakan sebuah forum, sebuah tempat menyatakan 
kesaksian".  Barangkali, kata-kata Henri Chambert-Loir ini juga bermakna bahwa 
tema apa pun yang digarap seniman, merupakan hal yang syah-syah saja. 
Masalahnya terletk bagaimana tema itu diolah dan diungkapkan sebagaimana Balzac 
menyusup masyarakat borjuasi Perancis pada zamannya dan menuangkannya ke dalam 
karya-karya sastranya. Atau Sade yang juga mengolah tema-teman seks. Apa yang 
diajukan oleh Henri Chambert-Loir ini , saya pandang hanya varian dari 
pandangan Lu Sin -- pengarang Tiongkok pada tahun 30an,  ketika berbicara soal 
tema olah suatu karya, sehingga rasanya menilai seorang seniman dari tema 
olahan, barangkali kurang kena. Prinsip ini pun barangkali, juga
 berlaku terhadap filem Djenar Maesa Ayu "Mereka Bilang,  Saya Monyet" ini -- 
filem yang menggantikan ketidak hadirannya di temu sastra internasional ini. 
  
Usai pemutara filem, Jacqueline CAMUS, salah seorang anggota redaksi MajalahLe 
Barnian, organi resmi "Pasar Malam", penulis dan pemerhati sastra 
Indonesia, tampil ke panggung menyampakan kesan singkatnya  oleh keterbatasan 
waktu, terhadap filem Djenar. 
  
Jacqueline memandang karya Djenar ini termasuk sebagai yang ia golongkan 
sebagai salah satu karya feminis Indonesia yang memperjuangkan kesetaraan 
jender. Kebebasan perempuan. Ia memandang bahwa Djenar merupakan penulis 
feminis Indonesia generasi berikut sesudah Ayu Utami dengan novel Saman-nya.  
Jacqueline lebih banyak berbicara tentang karya-karya tulis Djenar daripada 
tentang filem ini sendiri, termasuk tentang "sastra-wangi"  yang diangkat oleh 
Hélène Poitevin-Blanchard melalui artikelnya "Sastrawangi" ou les femmes dans 
la littérature indonésienne contemporaine" di  Majalah Le Banian  No.6, Paris, 
Desember 2008. 
  
Benarkah bahwa tujuan gerakan feminisme bertujuan menyeterakan lelaki dan 
perempuan dalam segala bidang kehidupan, membebaskan perempuan dari imperium 
lelaki, memotong belenggu paternalisme,  sehingga mereka menjadi salah satu 
tenaga produksi dalam hubungan produksi baru di masyarakat yang maksimal serta 
menjadi "penyangga separo langit"? Apabila benar demikian, bagaimana  
menjelaskan pencapaian tujuan ini dari penonjolan keluasaan berhubungan intim 
dan semacam "keliaran" hidup dari satu klub malam ke klub malam lain, dan 
teriakan di hadapan cipratan darah dari kepala kekasih sang ibu di filem 
"Mereka Bilang, Saya Monyet" Djenar? Sementara saya melihat bahwa teriakan 
ngeri, bingung  dan galau di hadapan kegarangan kehidupan dari Adjeng - tokoh 
utama -- bukanlah sebagai bentuk pembebasan  tapi lebih merupakan klimak dari 
sebuah karya secara tekhnis dan bukan secara substansi atau konsepsional.  
Teriakan Adjeng bukan suatu konsep jalan keluar.
 Kalau pun dianggap sebagai wacana maka barangkali wacana itu adalah the 
emptiness, la vide,  konsep kekosongan , jika menggunakan istilah sosiolog 
Perancis AlainTouraine. Tidakkah wacana dan tekhnis seniscayanya padu pada 
suatu karya?  Dengan keterbatasan pengetahuan saya sebagai pelajar awal di 
dunia sastra-seni, saya tidak mendapatkan wacana alternatif dan pembebasan 
perempuan yang ditawarkan oleh  Djenar Maesa Ayu melalui filem ini. Jacqueline 
Camus yang sangat mengagumi dan menyokong gerakan feminisme pun dalam  
komentarnya, tidak terdengar menyentuh soal demikian. Kecuali menuding para 
lelaki yang umumnya, baik tertutup atau terbuka, adalah pelaku  poligami.  
  
Saya tidak tahu , apakah paduan serasi wacana dan keterampilan tekhnis 
artistik, tetap perlu dipikirkan oleh mereka yang disebut seniman-seniman 
feminis. Saya juga tidak mengatakan, tanpa mengurangi penghargaan pada usaha 
kreatif mereka,  bahwa secara tekhnis filem-filem  para seniman feminis ini 
khususnya adalah filem-filem yang cukup tinggi tingkatnya ditakar dari standar 
internasional. Pergulatan pemaduan serasi antara wacana dan tingkat artistik 
adalah sesuatu yang permanen bagi seniman. Di dalam pembicaraan diluar forum, 
saya mendengar misalnya bahwa filem Koper karya Richard Oh memang baik tapi 
secara pengungkapan membuat penontonnya lelah.  Dan saya pun tidak melihat 
adanya hal luar biasa secara konsepsional pada filem Djenar Maesa Ayu: "Mereka 
Bilang, Saya Monyet" kecuali keheranan adegan sanggama bisa ditoleransi oleh 
kalangan tertentu yang mau menyeragamkan Indonesia dengan konsep tertutup tanpa 
jendela dan pintu. Tentu saja adegan
 demikian, hanyalah satu ilustrasi untuk mencoba mencari kebaruan dan berburu 
fulus, dari suatu substansi kosong tentang esok yang manusiawi. Teriakan galau, 
ngeri dan bingung adalah substansi konsepsional solusi manusiawi? Dan lintah 
yang dipelihara sang ibu apakah keadaan ideal untuk angkatan sekarang dan esok? 
Hanya terasa, bahwa Djenar mencoba mengeksplorasi cara pengungkapan baru. 
Kepaduan teknis dalam pengungkapan pun nyata. 
  
Jika demikian, salahkah pertanyaan: Quo vadis Djenar Maesa Ayu dan 
penulis-penulis yang disebut feminis seangkatannya? Apakah yang bisa diharapkan 
oleh bangsa, negeri ,tanahair dan kemanusiaan dari  dari "angkatan lintah"? 
  
Laksmi Pamuntjak, 
Dengan ini saya lebih lanjut menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba kau 
ajukan  begitu filem karya Djenar Maesa Ayu  usai diputar  dan lampu-lampu 
dinyalakan menerangi seluruh ruang. Sedangkan  aku masih tenggelam dalam proses 
mencernakan apa yang baru kulihat untuk pertama kalinya. Sementara pertanyaanmu 
, pertanyaan dari seorang Laksmi atau siapa pun, tak boleh kujawab sesuka hati 
dengan sikap orang gundah dan teriak seperti Adjeng yang kalut. Kata adalah 
diri kita jikaia keluar dari mulut kita dan ditulis oleh jemari kita. Lebih 
dari diriku, kau  tahu benar makna kata.Bahwa kata adalah gantang dan kaca. 
Maka diam,  pada saat tertentu bermakna sebagai kosakata dari suatu bahasa.**** 
  
Perjalanan Kembali,  Musim Dingin 2008 
------------------------------------------------------- 
JJ.Kusni 
  
Keterangan foto:  
Jaqueline CAMUS sedang melakukan notulen terhadap isi pembicaraan di "Sepuluh 
Jam Untuk Sastra Indonesia" di Paris 07 Dsember 2008 [Foto dan Dok.:JJ. Kusni].

 


      Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.com
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke