Jurnal Toddopuli : LAKSMI PAMUNTJAK DI "SEPULUH JAM UNTUK SASTRA INDONESIA" DI PARIS 07 DESEMBER 2998 Dalam brosur yang dibagi-bagikan kepada para peserta oleh Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia "Pasar Malam"pada acara "Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia" pada 07 Desember 2008 yang lalu, terdapat keterangan biografis singkat para pembicara utama. Tentang Laksmi Pamuntjak yang sudah dua kali diundang oleh "Pasar Malam" dituliskan sebagai berikut: "LaksmiPamuntjak lahir pada tahun 1971 adalah seorang penulis, esaia, penyair, novelis, wartawan [terutama mengenai masalah kuliner]. Setelah menyelesaikan studinya dengan gemilang [mengenai masalah Oriental, opsi ilmu politik] pada Universitas Murdoch, Australia, ia kembali ke Jakarta. Sejak itu ia secara teratur menulis artikel-artikel politik, tentang filem, musik klasik , sastra dan soal-soal gastromi untuk koran-loran dan majalah seperti Tempo, The Jakarta Post, Harian Koran Tempo, Prisma [sebuah majalah sosio-ekonomi], Jakarta-Jakarta. Pada tahun 2001 ia turut serta mendirikan Aksara, sebuah perpustakaan di Jakarta . Laksmi Pamuntjak tergolong salah seorang penulis Indonesia kontemporer yang sangat jarang terdapat yang menulis dalam dua bahasa yaitu dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Selain sebagai penulis, Laksmi juga adalah seorang pianis yang sering tampil dalam perlombaan-perlombaan internasional. Sekarang ia tengah menyelesaikan roman pendeknya berjudul The Blue Widow dengan mengambil Pulau Buru, goulag tropikal, sebagai lokasi peristiwa. Sebagai penulis, ia sudah menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris karya Goenawan Mohamad "Tentang Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai" [On God and Oher Unfinished Things], Ed. Katakita,2007; The Anagram, Ed. Katakita, 2006; The Diary of R.S?: Musing on Art, renungan tentang seni -- ikhtisarnya sudah diterbitkan dalam bahasa Perancis diterbitkan dalam Majalah Le Banian, Paris, Juni 2007 -- Ed. Katakita,2006; Perang, Langit, dan Dua Perempuan, Ed. Nalar Publishing House, 2006; Goenawan Mohamad:Selected Poems, diterjemahkan oleh LaksmiPamuntjak, Ed. PLontar Foundation,2004; Celebrating Indonesia: Fifty Years with the Ford Foundation 1953- 2003. Sebuah karya kolektif dengan Goenawan Mohamad sebagai penulis utama; Jakarta Good Food Guiden 2001, 202, 2003, Ed. PT Jakarta Agung Offset. Pada acara "Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia", Laksmi sebenarnya sejak Jakarta sudah menyiapkan sebuah makalah yang sedianya mau ia sampaikan ke forum. Karena waktu tidak memadai dan harus berbagi waktu dengan pembicara-pembicara lain, maka makalah itu tidak bisa disampaikan. Dalam forum yang dihadiri oleh hampir 100 peserta itu, Laksmi membicarakan pâdat singkat masalah biografi dan otofiksi. Dengan izin Laksmi Pamuntjak, makalah yang tak sempat disampaikan di forum dan kemudian ia kirimkan ke alamat pribadi saya, makalah tersebut sekarang saya siarkan secara bersambung. Makalah terebut lengkapnya sebagai berikut: Oto-fiksi dalam Sastra Indonesia : Pramoedya Ananta Toer dan Nh. Dini Oleh Laksmi Pamuntjak Saya ingin membuka percakapan ini dengan mengutip penyair John Ashberry. Dan kalimat ini tidak terdapat dalam salah satu puisinya, melainkan muncul dalam sebuah ceramah di Columbia University . “ Ada saatnya kita sadar bahwa tak ada satupun laku manusia yang lebih dramatis dan meyakinkan ketimbang laku kita sendiri.” Saya sering merenungi kalimat ini. Nampaknya John Ashberry tak hanya membuat sebuah komentar estetik tentang hidup dan karya orang-orang di sekitarnya, tapi juga tentang masa sekarang, masa di mana kita hidup, dan juga tentang perubahan fundamental—yang tak selalu disadari—dalam bagaimana kita bercerita. Dengan kata lain, John Ashberry mempermasalahkan efektivitas narasi tradisional dalam membangun plot, dan dalam menjalin sejumlah aksi manusia melalui tokoh yang bukan diri kita sendiri—yang berhasil melampaui hukum alam dan mengambil alih baik diri mereka sendiri maupun kondisi yang mereka alami—dengan cara yang meyakinkan dan “nyata” bagi para pembaca. Izinkan saya bercerita tentang pengalaman saya sendiri. Suatu hari, saya mengirim pada teman saya 29 halaman cerita pendek saya lewat email, cerita pendek yang tadinya saya niatkan sebagai sebuah “novella.” Saya ingin mendengar pendapatnya mengenai tulisan yang berdasarkan hidup saya sendiri itu. Sembilan bulan lamanya saya bergulat dengan teks ini; ia membuat saya bahagia sekaligus tersiksa. Kadang saya merasa ia berada dalam kendali saya, tapi lebih sering ia menyeret saya ke dalam alurnya sendiri. Ia membebaskan sekaligus mememenjara. Teman saya ini seorang teman lama. Ia seorang pembaca yang cermat dan terlatih. Terhadap sebuah teks, ia kritis dan menuntut; ia terus ingin tahu, ingin tahu lebih banyak, mengenai hidup manusia yang terkandung dalamnya. Ia memilih subyek yang menarik minatnya, kemudian menyelaminya dengan ketekunan seorang ilmuwan. Ia menilik untuk mengerti, ia mengerti untuk puas. Entah berapa surat terlayang di antara kita. Tentu, ia juga bercerita mengenai dirinya, tapi yang mengalir, sesungguhnya, adalah sungai kenangan saya. Dan apa kata kawan saya itu, yang pagi itu menatapi saya tajam-tajam, tak ubahnya seorang guru terhadap muridnya? “Kamu menutup-nutupi begitu banyak hal mengenai dirimu.” katanya, “Sebagai orang yang cukup tahu apa yang telah kamu lalui, saya terus terang tak puas.” Masalahnya cukup sederhana, katanya: detailnya tidak cukup. Pada titik itu saya terhenyak. Ia memang buru-buru menambahkan bahwa pendapat ini berasal dari seseorang yang merasa mengenal saya; seseorang yang punya bias, yang mungkin menjadikannya “… bukan seorang kritik yang tepat, karena saya sudah terlalu masuk dalam detail kehidupanmu.” Tapi saya merasa bukan itu persoalannya: saya yakin ada sesuatu dalam struktur atau roh tulisan itu sendiri yang tak memadai, yang tak “menjadi”. Kecurigaan saya terbukti ketika ia menambahkan bahwa selama ini ia lebih sering membaca novel – novel dalam arti yang tersempit: yang punya awal, bagian tengah dan akhir, dengan titik di mana ia “selesai”. Siang itu saya pulang ke rumah dengan perasaan tak karuan. Saya merasa gamang, tercerabut. Saran kawan saya menghisap pengetahuan saya mengenai diri saya sendiri: benahi kronologinya, perjelas setiap lokasi, terangkan hubungan si ini dan si itu, perkenankan kita menemui lagi karakter ini … semuanya tuntutan bahwa yang diekspresikan harus juga dijelaskan. Pada akhirnya, saya tetap bertahan dengan struktur lama. Ini bukan karena saya tak bersedia menerima kritik, tapi karena saya yakin bahwa persepsi kita mengenai fiksi – apalagi fiksi yang berangkat dari otobiografi – tidak cocok. Saya tak mau terlalu jauh menyimpulkan bahwa latar belakang disiplin kita yang berbeda – ia ilmu pasti, saya humaniora – juga berperan dalam cara kita melihat apa yang relevan dalam kedirian seseorang. Tapi kehausan akan detail itu, akan yang “benar” dan yang sahih (dan ia bukan pembaca yang malas, atau yang tak imajinatif) mau tak mau adalah sesuatu yang kualitatif, sesuatu yang hanya bisa diukur dan diperiksa dari terjadi atau tidaknya sesuatu - kapan, bagaimana dan mengapa - sesuatu yang bisa dirunut sebab dan akibatnya. Dengan kata lain, sesuatu yang bersumber dari fakta. *** Masalah yang mendasar dalam fiksi otobiografi sebenarnya bukan dalam mengolah dan menyeimbangkan unsur fiksi dan fakta, tapi dalam memutuskan fakta mana yang harus disingkap dan mana yang tidak, antara “kebenaran” dan “setengah-kebenaran”. Dalam fiksi dan dalam otobiografi, narator orang pertama selalu memerlukan sebuah dalih, sebuah helat, untuk memulai. Sebelum abad ke 20, berbicara mengenai diri sendiri, baik dalam laku, lisan maupun tulisan, tak pernah merupakan sesuatu yang terpuji: novel-novel dan otobiografi-otobiografi klasik yang berpura-pura menjadi memoar orang lain rata-rata dimulai dengan apologia bagi si Aku. Zaman sekarang pun, ketika ke-aku-an tak lagi perlu dibela, sebuah buku telaah diri, sebuah novel mengenai pribadi penulis, senantiasa mengundang pembenaran. Mungkin akan “berguna” bagi orang lain. Saya harus menuliskan hidup saya. Ada sesuatu yang ingin saya gali, yang saya tak mengerti. Ini bukan mengenai saya, ini mengenai orang lain. Mengenai orang-orang banyak. Bagi banyak pengarang kontemporer, otobiografi - atau semi-otobiografi, pengadopsian yang imajinatif dari sebuah persona - adalah cara terampuh untuk membuat fiksi mereka berbicara, mengenai dan terhadap keterasingan dan kekacauan hidup modern. Mereka melekat, menyambalewa tak ubahnya sesosok bayangan abadi, di tapal batas nonfiksi dan otobiografi. Dan inilah yang sesungguhnya mengusik kawan saya, sang penggemar novel, beserta para tradisionalis lain. Mereka terusik karena mereka tak menyadari bahwa novel zaman sekarang tetaplah novel, bahwa sesuatu yang dihimpun dari ke-tak ada-an secarik kertas kosong dan kesunyian sebuah ruang tak kalah absahnya dengan sebuah cerita epik yang menghadirkan puluhan tokoh dan hamparan geografi yang luas. Betapapun, kecenderungan baru ini – yang tak begitu baru lagi di Eropa; usianya paling tidak sudah lebih dari satu abad – masih saja dipermasalahkan di Amerika, tak jarang dengan nada cemooh. Reaksi ini memang konsekuensi alamiah dari bagaimana fiksi dan otobiografi diajarkan secara tradisional: salah satunya melalui kontradiksi. Pertama, kita diajarkan bahwa penulis diharuskan menulis hanya mengenai apa yang ia ketahui. Kedua, bahwa otobiografi, memoar, jurnal dan surat-menyurat dianggap bentuk-bentuk artistik yang inferior terhadap novel tradisional. Tapi, dengan demikian, bagaimana kita bisa menilai Midnight’s Children, yang diakui sendiri oleh pengarangnya, Salman Rushdie, sebagai karya berlandaskan visi “cermin yang pecah”, sebuah dunia setengah nyata setengah maya yang riap dan lebat, yang disusun di atas ingatan yang “khilaf”? Kita semua tahu, Rushdie melewatkan separuh hidupnya di luar Bombay ; sebelum menulis Midnight’s Children, yang terbit tahun 1981, ia mengunjungi kota kelahirannya untuk “mengingat”: pakaian orang pada tahun 50 dan 60-an, poster film dan iklan, lagu-lagu lama. Karena, secara kuantitatif, “mengingat” adalah lain dari “mengetahui”, haruskah kita mempermasalahkan validitas dan otentitas penulisnya sesuai dengan diktum di atas, tanpa memedulikan pengaruh karya itu pada kesadaran kita? Pada saat yang sama, bagaimana kita menghargai jurnal Sylvia Plath, yang menyingkap sesuatu mengenai anatomi depresi (yang, kita semua tahu, berakhir dengan tragis?) James Joyce dengan The Portrait of an Artist as a Young Man? Rilke dengan The Letters of a Young Poet-nya (yang, hampir satu abad kemudian, dicontoh dengan brilian oleh satiris Vanity Fair Christopher Hitchens)? Bagaimana kita menjelaskan sekaligus menciutkan peran Grace Paley dalam sastra modern – ia yang selama karirnya berfiksi memakai tokoh Faith, seorang ibu beranak dua, sebagai alter-egonya? Atau Umar Kayam, dengan tokohnya Ki Ajeng dalam Manga Ora Mangan Kumpul, yang kita semua tahu adalah alter-egonya? Pergeseran fiksi dari kanvas-kanvas besar – mitos, laga, cerita epik – ke dalam narasi kehidupan sebagaimana hidup itu sendiri - sesuatu yang diinternalisasi, patologis, dan quotidian – berlangsung pada saat yang sama radio, majalah dan film menjadi bagian kesehari-harian kita. Begitu rupa hingga kita layak bertanya: mengapa, di zaman tabloid dan televisi, kisah-kisah heroik harus dibebankan pada para penulis? Kita tahu anasir-anasirnya: “Fakta lebih seru dari fiksi!”, “Kita bercerita kepada diri kita sendiri supaya tetap hidup.” Kita telah tiba di sebuah zaman di mana fantasi dan faktafiksi diborong oleh medium-medium elektronik yang membawa semacam kondisi kultural “keterasingan” di tengah apa yang sebut impuls elektronik. Kita membutuhkan sebuah suara yang dapat menembus dinding, semacam lorong kontak, di tengah deru informasi, eksibionisme, Oprah Winfrey, dan mekanisme pemasaran 24 jam yang kita kenal sebagai “seni komunikasi.” Dan oleh karena itulah para penulis mulai melongok ke peti diri, dan, dengan girang campur takjub, menemukan hal-hal yang kecil, intim tapi tak kalah menarik di dalamnya. Kita harus tahu, harus mencari tahu, bagaimana orang lain hidup—di balik pintu dan jendela tertutup rapat, di sisi weker yang tersetel pada jam-jam tertentu, di tengah suara-suara yang terbungkam, di dalam ruang-ruang yang terapit dan terancam. Psike sang individu, si “aku”, yang tercerabut dari segala apa dan senantiasa dirundung bahaya, adalah psike seorang dalam perjalanan; perjalanan tersebut, tanpa awal dan akhir yang jelas, dan tanpa garansi akan adanya perubahan, sesungguhnya adalah esensi Kisah Modern, atau “the modern story.” Dan dengan demikianlah, sejarah kita urai, helai demi helai. Chairil Anwar pernah mengatakannya: terbang dengan the only possible non-stop flight, sonder menemu, sonder mendarat. Saya rasa ini bukan saja sebuah pekik kemerdekaan, tapi juga pengakuan atas batas yang dihadapi manusia justru ketika ia mencari dirinya. Dalam sajak “Senja di Pelabuhan Kecil”, Chairil meloncat-loncat begitu saja ketika menghadirkan pelbagai benda-benda di depan matanya (“gudang”, “rumah tua”, “tali temali”) dan ia membaurkan semua itu, secara simultan, dengan baris-baris solilokui tentang isi hatinya; ia juga membawakan bunyi-bunyi kata yang sangat beragam dan perhentian yang tak terduga-duga di tengah kalimat. Realitas dari luar dan dalam dirinya mengalir, dan pertemuan terjadi dengan yang kebetulan, langsung, individual, sekaligus begitu jauh dan dekat, tanpa bisa diklasifikasikan. Pada akhirnya, di penghujung abad ke 20, sastra memang melakukan yang hanya bisa dilakukan oleh sastra: menyelusup ke dalam kepala orang lain, mengalami sejenak bagaimana rasanya menjadi seseorang yang bukan kita. Ia mengekspresikan, bukan menjelaskan; ia merupakan penyingkapan kehidupan interior yang tak habis-habis, di mana si aku adalah penghubung antara kenyataan dan imajinasi. Apabila abad ke 19 berpusat pada perkembangan sebuah keadaan, kata penyair Italia Cesare Pavese, abad ke 20 adalah mengenai esensi yang statis. Tapi, memang bukan tanpa masalah. Sebuah narasi orang ketiga, berbeda dengan orang pertama, dengan sendirinya mampu menciptakan ilusi bahwa cerita itu sedang berlangsung sekarang, saat ini. Kisah seorang narator orang pertama, tidak bisa tidak, harus mengenai masa lalu. Bercerita adalah menceritakan kembali. Dan pada saat itulah terbuka kemungkinan untuk salah. Salah karena satu atau lain hal: ingatan yang khilaf, jiwa manusia yang tak terbaca, jarak yang meniadakan antara masa lalu dan masa kini, keterbatasan bahasa. Javier Marias menulis, dalam kalimat-kalimat pertama Dark Back of Time: “Saya percaya saya masih belum pernah keliru dalam membedakan fiksi dan realita, meski saya telah mencampuradukkan keduanya lebih dari sekali, seperti halnya semua orang, tak hanya para novelis dan penulis tapi semua orang yang telah menceritakan sesuatu semenjak permulaan waktu, dan tak ada satupun orang di dalam waktu yang diketahui itu telah melakukan sesuatu di luar bercerita dan bercerita, atau menyiapkan, atau memikirkan sebuah cerita, atau merencanakannya. Siapa saja bisa menyampaikan sebuah anekdot mengenai sesuatu yang terjadi, dan karena menyatakan sesuatu adalah menyimpangkan dan memutarbalikannya, bahasa tak kuasa mereproduksi kejadian dan oleh karenanya tak perlu mencoba melakukannya sama sekali …” Dengan kata lain: menceritakan kembali sama saja dengan fiksi. *** Perjalanan Kembali, Musim Dingin, 2008 ------------------------------------------------------- JJ. Kusni [Berlanjut....] Keterangan foto: Laksmi Pamuntjak di acara "Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia" pada 07 Desember 2008 di Paris [Foto dan Dok: JJ. Kusni].
Get your preferred Email name! Now you can @ymail.com and @rocketmail.com http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/ [Non-text portions of this message have been removed]