Jurnal Toddopuli: [Cerita Untuk & Anak-anakku] MENJELANG 07 DESEMBER 2008 DI PARIS Dengan akan menyelenggarakan kegiatan "Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia" di Paris, Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia 'Pasar Malam' yang dimotori oleh Johanna Lederer, seorang sarjana sastra Amerika lulusan Sorbonne, dan mantan balerina, kelahiran Malang, Indonesia, kembali dan lagi-lagi menggunakan pendekatan kebudayaan untuk memperkenalkan Indonesia dalam usaha menggalang persahabatan antara kedua rakyat dan bangsa. Hasil usaha ini, walau pun tidak spektakuler tapi paling tidak, berhasil memperkenalkan sastra Indonesia berbahasa Indonesia kepada masyarakat Perancis melalui pedekatan terhadap penerbit-penerbit besar Perancis seperti Flammarion dan Gallimard. Hal ini dimungkinkan berkat lobby "toddopuli" [menyasar segala arah] yang dilakukan oleh Johanna selaku orang pertama "Pasar Malam", ditopang oleh para Indonesianis dan para pakar sastra dari berbagai negeri. Pakar-pakar sastra dan Indonesianis inilah yang merekomendasi karya-karya sastra Indonesia kepada para penerbit besar Perancis. Kecuali itu, peranan yang dimainkan oleh "Le Banian", majalah dua bulanan berbahasa Perancis,organ resmi "Pasar Malam", barangkali tidak bisa dilihat dengan sebelah mata atau hanya lirikan sepintas. Le Banian [Pohon Beringin] merupakan kawan seiring dari Majalah ilmiah tentang Indonesia dan Nusantara:l'Archipel. Teebitnya karya Ayu Utami, Seno Aji Gumira dan segera akan menyusul karya Laksmi Pamuntjak, besar atau kecil, kiranya tetap ada jasa usaha-usaha yang dilakukan oleh kegiatan-kegiatan budaya dan lobby "Pasar Malam". Lobby dan prakarsa adalah modal utama "Pasar Malam". Bukan uang. Uang diperoleh hanya dari yuran anggota dan hasil penjualan buku atau makanan yang dilakukan saban ada kegiatan. Yuran dan hasil jualan tak seberapa ini dikelola dengan ketat,sampai-sampai "Pasar Malam" bisa menymbang korban tsunami di Aceh secara nyata. Dari segi diplomaasi, barangkali adanya lembaga-lembaga seperti "Pasar Malam"ini seniscayanyadirangkul oleh KBRI kita di luar negeri, untuk melaksanakan juklak titik [point] pertama Kementerian Luar Negeri [Kemlu] RI, tentang "dipomasi kerakyatan". Juklak titik pertama Kemlu RI ini, aku pahami sebagai anjuran atau nasehat kepada para diplomat kita untuk merangkul semua potensi yang ada di luar negeri untuk kepentingan diplomasi RI. Di Perancis sendiri, cq. Paris, ketika di Koperasi Restoran Indonesia Paris, diperagakan pakaianhasil karya perancang-perancang Indonesia dan Perancis, aku tercengang-cengang sendiri melihat potensi "tidur" yang bisa dibangunkan serta dimanfaatkan oleh para diplomat kita. Apalagi Paris dari segi posisi arti pentingnya di dunia internasional, tidak bisa dipandang rendah dari Washington, Moskow, , Lonon dan Beijing. Apakah benar dalam acara "Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia" di Paris pada 07 Desember 2008 nanti diplomat teras KBRI di Paris akan hadir dan menyampaikan sambutan? Jika benar, maka sebagai anggota "Pasar Malam", aku ingin bertepuktangan dan membuka topi musim dinginku menyambutnya sebagaimana selalu kulakukan untuk Dubes Adian Silalahi, Lusi Rustam [sekarang Dubes RI di Bern, Swiss] dan Yuli Mumpuni [sekarang Dubes di Alger, Aljazair]. Atau Mohamad Irsan, mantan Dubes RI untuk Neger Belanda. Aku tidak ragu menyebut mereka sebagai diplolmat-diplomat yang merakyat -- walau pun dubes seperti ujar Salim Said , Dubes RI untuk Republik Ceko hanya pelaksana garis diplomasi Presiden. Tapi diplomat yang kreatif akan senantiasa mencari celah untuk berkreasi dan berdiplomasi manuasiawi. "Pasar Malam" sebagai LSM kecil dan Lembaga Persahabatan, juga selalu mencari celah mendkati KBRI. Dalam hal ini , aku selalu hormat pada Johanna yang kreatif dan gigih. Plus berwawana. Sebagai contoh bahwa ia adalah seorang yang berwacana, ketika bertemu Sitor Sutmorang, aku jelaskan padanya perkembangan sastra-seni dan komunitas-komunitas di luar Jawa sekaligus menjelaskan konsepku tentang "sastra-seni kepulauan". Johanna segera menanggapku dengan gairah serta berusaha menindaklanjutkan kesetujuannya antara lain dengan mengundang Lily Yulianti dan Luna Vidya dari Makassar ke Paris. "Siapa lagi sastrawan-seniman yang kau kenal dari luar Jawa?", tanyanya hangat. "Benar, bahwa Indonesia bukan hanya Jawa. Aku saja yang tidak kenal mereka karena keterbatasanku", tambahnya. Melalu dialog-dialog begini, aku makin mengenal wawasan terbuka Johanna tanpa lupa mengucapkan terimakasih atas segala jerih-payahnnya selama ini dansampai sekarang untuk kepentingan sastra-seni Indonesia dan menggalang persahabatan antara rakyat Indonesia Perancis melalui pendekatan budaya. Aku melihat pada Johanna suatu potensi belum maksimal digunakan oleh KBRI. Aku yakin benar bahwa jika KBRI bekerjasama dan memobilasi orang-orang danlembaga begini, seperti yang dilakukan oleh Viêt Nam pada masa Perang Viêt NammL, Le Du Tho dengan orang-oranghaêt Nam melawan agresi Amerika Serikat dulu, aku serasa pasti diplomasi kerakyatan kita akan mendapatkan hasil besar. Le Duc Tho dalam konfrensi Paris ketika menghadapi Kissinger, pada tahun 1968, ditopang oleh hasil diplomasi kerakyatan begini. Ooo, barangkali aku sedang bermimpi atau antara mimpi dan bangun. Seperti pernah kkatakan sebelumnya dalam acara "Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia", yang berlangsung pada 07 Desember 2008, di Masion de la Culture du Monde [Rumah Budaya Dunia] , 111 Boulevard Raspail, Parisl akan hadir dan berbicara Sitor Situmorang, Laksmi Pamuntjak, Richard Oh. Diharapkan juga sastrawan-seniman dari Makassar, Lily Yulianti dan Luna Vidya , aktor -penyair kelahiran Sentani , Papua. Mereka diundang resmi oleh "Pasar Malam" sebagai ujud perhatian dandukungan pada sastra kepulauan.Undangan resmi ini kuanggap sebagai gerbang terbuka bagi sastra-seni kepulauan -- hal yang disambut hangat penuh semangat oleh Goenawan. Mohamad, ketika ia kuberitahu saat jumpa di Paris. Bahkan topik yang dibicarakan dalam kegiatan kali ini pun sebenarnya tidak jauh-jauh juga dari "sastra-seni kepualaun". Para pembicara yang berasal dari latar daerah yang berbeda, diharapkan berbicara tentang perkembangan diri mereka dari seorang yang berlatar daerah khusus lalu menjadi sastrawan-senimman berawawasan universal. Dan kukira budaya lokal lebih menunjukkan warna d ari sehelai "bénang dinding" budaya manusia sehingga sebagai secarik kain dari "bénang dinding" budaya manusia . tidak seniscayanya carikan itu dipertentangkan dengan helai "bénang dinding itu". "Kebudayaan itu majemuk" tapi "kemanusiaan adalah tunggal". "Kemanusiaan" inilah yang kusebut dan kumetaforakan dengan "bénang dinding". Sastra dan buku adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Karena itu di setiap kegiatannya , "Pasar Malam" selalu memamerkan dan menjual buku-buku tentang Indonesia, termasuk karya-karya sastra. Pada acara 07 Desember 2008 nanti, Prof . Harry Poeze, penulis buku tentang Tan Malaka, dari Belanda di mana ia tinggal dan bekerja, akan membawakan buku-buku penerbitan KITLV yang dikenal sebagai lembaga Belanda yang mengkhususkan diri bekerja tentang masalah Indonesia. Di antara buku-buku yang akan mengisi koper bawaan Poeze saat menghadiri acara ini, antara lain sebagai berikut: Reimar Schefold, et al (eds): Indonesian houses. *Volumes 1& 2*
Peter J.M. Nas and Martien de Vletter (eds): The Past in the Present; Architecture in Indonesia John H. McGlynn, et al (eds): Indonesia in the Soeharto Years Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken (eds): Renegotiating boundaries; Local politics in post-Suharto Indonesia -Peter Boomgaard (ed.): A world of water; Rain, rivers and seas in Southeast Asian histories -William P. Cummings: A chain of kings; The Makassarese chronicles of Gowa and Talloq -Katherine McGregor: History in uniform; Military ideology and the construction of Indonesia's past -M.C. Ricklefs: Polarising Javanese society; Islamic and other visions (c.1830-1930) -Catharina Purwani Williams: Maiden voyages; Eastern Indonesian women on the move -K. van Dijk: The Netherlands Indies and the Great War, 1914-1918 -Karel Steenbrink: Catholics in Indonesia 1808-1942; A documented history. *Volumes 1& 2* -Russell Jones (ed.): Loan-words in Indonesian and Malay Susan Rodgers, et al: Gold Cloths of Sumatra -Henk Schulte Nordholt: Bali: an open fortress, 1995–2005. Regional autonomy, electoral democracy and entrenched identities -Joost J. Coté (ed.): Realizing the dream of R.A. Kartini; Her sister's letters from colonial Java -Barbara Hatley: Javanese theatre on an Indonesian stage; Contesting culture, embracing change -**DVD** Fridus Steijlen & Henk Schulte Nordholt (comp.): Percakapan bahasa Indonesia / Conversations in Indonesian [DVD, taalonderwijs Indonesisch] -Victoria M. Clara van Groenendael: Jaranan; The horse dance and trance in East Java -Klarijn Loven: Watching Si Doel; Television, language, and cultural identity in contemporary Indonesia -Ravesteijn, Wim and Jan Kop (eds): For profit and prosperity; The contribution made by Dutch engineers to public works in Indonesia, 1800-2000 -Ien Courtens: Restoring the balance; Performing healing in West Papua -Boomgaard, Kooiman, Schulte Nordholt (eds): Linking destinies; Trade, towns and kin in Asian history -Richard Chauvel: Nationalists, soldiers and separatists [re'print': 2nd impression=PoD] -Terwiel, B.J.: A traveler in Siam in the year 1655; Extracts from the journal of Gijsbert Heeck -Peter Carey: The power of prophecy; Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855, 2nd ed. -Stuart Robson: Arjunawiwaha; The marriage of Arjuna of Mpu Kanwa -Jacqueline A.C. Vel: Uma politics; An ethnography of democratization in West Sumba, Indonesia, 1986-2006 -Ab Massier: The voice of law in transition; Indonesian jurists and their languages, 1915-2000 -J. Thomas Lindblad: Bridges to new business; The economic decolonization of Indonesia -Oostindie (ed): Dutch colonialism, migration and cultural heritage Buku-buku KILV dan buku-buku lain dari Perancis, pada kesempatan ini dijual dengan diskon 25 persen. *** Musim dingin makin menguasai seluruh pojok kota. Menyengat telinga, pipi dan jari. Aku masih di sini berhadapan dengan dingin yang mengingatkan selalu jtentang betapa jauh dan lamanya sudah kembara kujalani dan jauhnya sudah terbang seeekor anak enggang sebagai akibat dari suatu perkembangan sejarah. Rindu dan kenangan menguntit seperti bayang yang hanya mengeraskan tulang-belulang dan mengentalkan kasihsayang . Olehnya darah yang mengalir di nadi menjadi sairara. Dingin, panas, duka dan luka tidak menghentikan kehidupan. Tidak meremukkan mimpi dan cinta. Matahari tanahair seperti halnya kalian masih saja tak terganti yang selalu mengingatkan aku pada baris-baris penyair Klara Akustia dalam Rukmanda-nya: "Sebutkan segala penjara dan itu adalah aku Sebutkan segala badai kepahitan pembuangan kerinduan pada kecapi kesunyian malam sepi kenangan pada Priangan dan kelayuan dari menanti. ................................................. Sebutkan segala penjara dan itu adalah aku tapi sebutkan juga kesetiaan kegairahan dan kepahlawanan itulah aku!" "Aku" yang tak mau mati selagi hidup. Kegiatan demi kegiatan adalah salah satu detak jantung orang hidup. Acara 07 Desember 2008 kelak pun adalah salah detak jantung kehidupan para pencinta, yang mencintaimu:Indonesia. Yang mencintaimu kehidupan betapa pun garangnya kau menoreh parit-parit duka di dahi. "Isen mulang" [tak pulang jika tak menang], orang Dayak bilang. Aku masih seorang Dayak.*** Perjalanan Kembali , Musim Dingin 2008 --------------------------------------------------------- JJ. Kusni Kontak:Association franco-indonésienne Pasar Malam Association culturelle pour l'amitié entre les peuples français et indonésien 14 rue du Cardinal Lemoine 75005 Paris Tél. Get your preferred Email name! Now you can @ymail.com and @rocketmail.com http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/ [Non-text portions of this message have been removed]