Dewan
Suro

Catatan
Edy Supratno

 

DEWAN
suro. Yang dimaksud dewan suro dalam
tulisan ini bukan sebuah posisi strategis seperti yang ada di sebuah partai
politik. Dewan suro di sini adalah sekadar sebutan bagi sebagian orang. Yakni
orang yang tidak bisa meninggalkan rokok alias suka rokok (suro).

Sebagai konsumen rokok, belakangan ini mereka
ikut-ikut jadi pembicaraan. Ini terkait dengan fatwa pengharaman rokok. Respons
juga diberikan produsen. Mereka ini tentu saja jadi pihak yang amat terkena
imbasnya atas fatwa tersebut.

Adanya ulama yang mengharamkan rokok sesungguhnya
sudah bukan barang baru. Tapi reaksinya
memang tidak sehangat seperti sekarang ini. Disebut hangat ukurannya sederhana.
Media massa
–khususnya lokal Kudus dan sekitar– banyak memberitakan tentang pandangan yang
pro dan yang kontra. Ini tidak lain karena di Kudus termasuk pusatnya pabrik
rokok di Indonesia. Ada ratusan ribu jiwa yang terkait dengan perusahaan ini.

Jalaluddin Rakhmat dalam buku Menjawab
Soal-Soal Islam Kontemporer halaman 163 menjelaskan, Imam Khomeini juga
mengharamkan rokok, tapi hal itu berlaku bagi yang sama sekali belum pernah
merokok. Sedangkan bagi yang sudah pernah merokok hukumnya makruh.

Pengertian makruh sangat berbeda dengan haram.
Kalau makruh perintahnya adalah sebaiknya rokok ditinggalkan. Sedangkan kalau
haram, perintahnya lebih keras lagi, rokok wajib ditinggalkan.

Bagaimana
pandangan umat Islam terhadap status sebuah fatwa? Ini juga disikapi 
berbeda-beda.
Ada sebagian yang menganggap statusnya penting dan tidak bisa diabaikan. Bahkan
ada fatwa yang mulzim yang berpengertian fatwa tersebut wajib ditaati.
Meski demikian, ada juga yang menganggap status fatwa tidak seperti pandangan
pertama.

Kelompok ini memandang fatwa bisa diabaikan.
Alasannya fatwa adalah sebatas pendapat hukum ulama. Ulil Abshar Abdalla, tokoh 
Jaringan Islam Liberal
(JIL) salah satunya yang ’mengampanyekan’ hal ini. Tokoh muda yang sering
dituding kontroversial ini, dalam sebuah tulisannya di Majalah Tempo edisi
April 2008 mengatakan, fatwa statusnya seperti pendapat dokter. Bisa saja
antara dokter A dan B berbeda pendapat dalam satu hal. Dan pendapat itu tidak
bisa saling menjatuhkan.

Untuk
itu tidak heran, di satu sisi rokok diharamkan, tapi di sisi lain, banyak tokoh
agama yang tidak bisa mundur dari dewan suro. Seperti yang kita lihat di pondok
pesantren-pondok pesantren. Sedangkan Ahmadiyah, dari dulu kelompok ini lebih
memilih tidak merokok.

Di milist,
pro kontra rokok haram juga hangat. Tapi yang saya bagikan di sini bukan
tentang setuju atau anti terhadap rokok, melainkan kisah seorang dewan suro.

Suatu
hari secara tidak sengaja tiga pemuda menemukan sebuah lampu wasiat.
Iseng-iseng, mereka meniru yang dilakukan Aladdin. Dasar nasib lagi mujur,
begitu lampu dielus-elus dari dalamnya muncul jin. Merasa sudah dibebaskan,
sang jin mau memberikan hadiah pada tiga pemuda mujur tadi.

Pemuda
pertama minta hadiah sebuah tempat karaoke dan pemandunya. Tak
tanggung-tanggung dia diminta disediakan pemandu karaoke (PK) yang ’mantapnya’ 
melebihi
dari yang ada di Pati, kota pusat hiburan malam di eks Karesidenan Pati. ”Saya
minta jaminan. Selama kami bersenang-senang, kami harus bebas dari razia
polisi,” pesan pemuda pertama.

Pemuda
kedua lain lagi. Dia minta disediakan minuman keras dari berbagai merek.
Permintaan itu pun disanggupi sang jin. Sama dengan pemuda pertama, dia minta
pesta mirasnya terbebas dari razia polisi, satpol PP atau ormas.

Pemuda
ketiga permintaannya lebih sederhana. Kebetulan dia hanya dewan suro. Maka yang
diminta hanya rokok. Dia minta rokok terkenal dengan jumlah yang melimpah. Sadar
sedang jadi sorotan sebagian ulama, dia juga minta tempat yang aman. ”Kalau 
begitu,
saya akan siapkan tiga gua spesial. Selama 10 tahun Anda bisa menikmati
kesenangan tersebut tanpa razia,” kata sang jin.

Singkat
cerita, 10 tahun berikutnya sang jin menyambangi tiga pemuda tadi. Saat ditemui,
pemuda pertama sudah letoi alias loyo. Pemuda kedua perutnya buncit. Sedangkan
di gua pemuda ketiga, sang jin penasaran karena gua tersebut bebas asap rokok.

”Jin
sialan. Kakuati,” pemuda tadi marah dengan umpatan khas warga Kudus.

”Apa
persembunyian ini diketahui wartawan?” tanya jin.

”Tidak,”
jawab pemuda singkat.

“Orang
MUI datang?”

Si pemuda geleng kepala.

”FPI?”

Si pemuda geleng kepala lagi.

”Dasar jin kurang gaul. Saya disediakan rokok
paling enak dan bejibun. Tapi
bertahun-tahun saya malah tersiksa.”

”Lho,
kok?,” tanya jin penasaran.

”Lho, kok? Lho, kok? Koreknya
mana?!!!” kata si dewan suro jengkel.

Kembali
pada persoalan fatwa haram, efektifkah fatwa tersebut? Waktulah yang akan
membuktikan. Yang jelas, orang awam perlu diberi pemahaman atas pengertian
fatwa dan statusnya. Ini untuk mencegah efek negatif dari fatwa tersebut. 
Mengingat hal ini
terkait dengan jutaan orang.

Jangan sampai, ratusan ribu buruh yang
menggantungkan hidup di perusahaan rokok resah karena merasa ikut terlibat
dalam produksi barang yang jadi perdebatan. Jangan
sampai pedagang, dari pengasong hingga grosir resah atas perasaan yang sama. 
Dan yang tak kalah
menarik adalah pendapatan negara dari cukai rokok. Bagaimana status hukumnya?
Apakah ikut haram juga?

Soal efektivitas sebuah fatwa atau seruan jadi
teringat sebuah seruan yang sudah berlangsung ratusan tahun. Yakni ketika
Ja’far Shodiq atau yang lebih terkenal dengan Sunan Kudus menyerukan agar umat
Islam Kudus tidak memotong hewan sapi. Tapi memakannya tetap boleh.

Status seruan ini tentu kadarnya beda dengan
fatwa. Apalagi, secara hukum Islam memotong dan memakan daging sapi hukumnya
halal. Mengapa Sunan Kudus yang hidup pada abad XVI itu mengambil kebijakan
tersebut? Tidak lain karena faktor etika semata, yakni menghormati umat Hindu
yang banyak mendiami Kudus.

Hingga sekarang, apa yang diserukan pemimpin Kudus
yang pernah menjadi panglima perang Kesultanan Demak itu masih dipegang teguh
oleh sebagian besar masyarakat Kudus. Ini bisa dilihat jika musim Hari Raya
Kurban datang, masyarakat lebih memilih berkurban kerbau daripada sapi.

Hal
ini kian jelas ketika membaca data dari Dinas Pertanian Kudus. Selama ini, untuk
kebutuhan konsumsi daging sapi, dinas terkait perlu ’mengimpor’ dua ton per
hari. Sedangkan daging kerbau hanya tiga kuintal. Ini bukti betapa efektifnya
seruan tokoh yang pernah menjabat hakim di Demak tersebut.

Adapun soal fatwa rokok apakah bisa efektif? Jawabannya
ditentukan banyak faktor. Namun yang jelas salah satunya tergantung pada sikap 
dewan
suro. Akhirnya, selamat berpuasa bagi umat Muslim. Termasuk bagi mereka yang
buka puasanya dengan rokok. (*)

[EMAIL PROTECTED]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 




      
___________________________________________________________________________
Nama baru untuk Anda! 
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. 
Cepat sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke