KISAH PULAU LAIN:
 
 
SEKILAS PERKEMBAGAN SASTRA DI KALIMANTAN TENGAH
 
 
Saturday, 06 September 2008 




Sastra adalah cabang seni yang bergerak dan sekaligus menggunakan bahasa. Dalam 
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dinyatakan bahwa sastra adalah (1) bahasa 
(kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa 
sehari-hari); (2) kesusastraan; (3) kitab suci Hindu; kitab ilmu pengetahuan; 
(4) kitab; pustaka; primbon (berisi ramalan, hitungan, dsb); (5) tulisan; 
huruf. Dari penjelasan tersebut, arti yang pertama adalah bahasa, dan arti 
kedua adalah kesusastraan. Ketika saya menjadi siswa kelas  satu di SMA Negeri 
1 Jurusan Sastra, di Yogyakarta, saya mendapat penjelasan dari guru, bahwa 
kesusastraan berasal dari susastra yang mendapat imbuhan ke-an; su adalah 
imbuhan yang berarti indah, sastra berarti tulisan. Jadi, kesusastraan adalah 
perihal tulisan yang indah.
Kesusastraan mempunyai arti yang lebih sempit dari kesastraan. Yang 
mempersempit arti tersebut adalah su-, yang berarti indah. Tentang keindahan 
dari kesusastraan  itu sendiri sulit dijelaskan karena indah pada prinsipnya 
adalah suatu yang bersifat relatif. Masing-masing orang mempunyai pandangan 
tentang keindahan. Karya sastra bertemakan kritik atau pengkritisan meski tetap 
mempunyai keindahan. Namun, barangkali orang yang terkena kritikan akan 
mengatakan bahwa karya yang dimaksud tidak indah. Kritik sendiri ditulis atau 
diungkapkan sebagai sesuatu yang mengandung maksud, yang bagi masyarakat umum 
baik atau indah.
Arti sastra yang pertama diberikan oleh KBBI adalah bahasa, ini berarti bahwa 
sastra dan bahasa tidak dapat dipisahkan, sebab sastra adalah tulisan yang 
menggunakan bahasa. Bahasa adalah alat atau sarana untuk berpikir. Orang yang 
tidak mengenal satu bahasa pun ia tidak akan dapat berpikir. Bahasa juga 
merupakan alat untuk  mengkspresikan pikiran atau ide yang tersimpan. Orang 
yang belum mempunyai bahasa yang dikuasai belum dapat mengungkapkan isi 
hatinya. Ini pernah saya alami waktu anak pertama saya baru belajar berbicara. 
Hampir tiga tahun ia belum dapat berbicara. Saya konsultasikan kepada seorang 
dokter apakah anak saya tersebut bisu. Dokter mengatakan bahwa anak itu tidak 
bisu, sebab bisu itu disebabkan karena tidak dapat mendengar dan tentunya tidak 
dapat menirukan apa yang diucapkan oleh seseorang. Pendengaran anak saya baik 
dan tidak ada gangguan. Akhirnya, saya konsultasi dan mohon petunjuk kepada 
Prof. KMA.M. Usop, M.A. Beliau menanyakan
 kepada saya apa bahasa yang saya gunakan di rumah, apa bahasa yang dipakai 
istri saya, dan bahasa apa pula yang dipakai oleh teman-teman bermainnya. Saya 
mengatakan kepada beliau bahwa bahasa sehari-hari saya berbeda dengan istri 
saya dan berbeda pula dengan bahasa yang dipakai teman-temannnya. Akhirnya, 
beliau menjelaskan kepada saya bahwa anak saya tersebut tidak mengalami 
kesulitan dalam menyerap bahasa, karena bahasa yang bermacam-macam yang dialami 
oleh anak tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Beliau mengatakan agar saya 
tidak perlu cemas karena anak tersebut hanya sedang mencari dan memilih bahasa 
yang akan dijadikan pegangan. Ternyata apa yang beliau katakan adalah benar, 
karena begitu anak saya dapat berkata-kata, ia langsung dapat membedakan bahasa 
apa yang harus disampaikan kepada ibunya, kepada saya, dan kepada teman-teman 
bermain-mainnya dalam waktu yang bersamaan. Ini adalah pengalaman saya yang 
sangat berharga  dan penjelasan Pak
 Usop tersebut adalah sesuatu yang sangat berharga dan tidak pernah saya 
lupakan. Pak Usop adalah dosen saya yang banyak membantu saya baik dalam studi 
saya maupun dalam penulisan skripsi dan bahkan hal-hal lain seperti organisasi.
Saya menyukai sastra terutama puisi sejak saat masih duduk di SMP Jurusan A 
(Sastra Budaya) di Yogyakarta. Saya mulai mengarang puisi mulai kelas 1 SMA di 
Yogyakarta dan puisi itu saya kirimkan ke redaksi majalah siswa. Betapa 
gembiranya saya karena karya pertama saya dimuat di majalah Tifa Siswa, begitu 
nama majalah itu. Sayang, saya tidak dapat mengingat karya tersebut. Majalahnya 
pun hilang. Pada tahun 1955, SMA Sastra Negeri di Yogyakarta telah memiliki 
majalah siswa yang bernama Rakta Pangkajia. Majalah itu bukan lagi berbentuk 
majalah dinding, tetapi sudah berupa majalah terbitan tercetak yang dikelola 
oleh para siswa dengan rapi. Ini barangkali kelebihan SMA Sastra dari SMA-SMA 
umum lainnnya. Penyajian pengajaran bahasa Indonesia dan sastra banyak 
disampaikan dalam bentuk diskusi dan terbimbing (guided discussion). Dari 
diskusi itulah saya menjadi tahu betapa luasnya makna dan maksud yang dikandung 
oleh karya sastra, dari makna sebenarnya, kiasan,
 majasi, dan metaforis atau perbandingan dan perumpamaan. 
Kepengarangan saya terhenti ketika saya menekuni ilmu dan pengetahuan hukum di 
Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Namun, saya kembali menekuni 
dunia kepengarangan setelah saya menjadi guru di SMA Negeri Pangkalanbun, 
Kalimantan Tengah. Saya mulai mengajarkan sastra dengan  cara yang seperti saya 
peroleh. Kami mulai mengadakan lomba baca puisi pada hari-hari penting seperti 
Hari Sumpah Pemuda dan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
 Demikian halnya ketika saya mengajar di SMA Negeri 1 Palangkaraya, Kalimantan 
Tengah, tepatnya tahun 1971. Kami mengadakan lomba baca puisi pada Hari 
Pendidikan Nasional. Sejak saat itu, sekolah-sekolah lain di Palangkaraya juga 
mulai mengadakan lomba baca puisi. Dari kegiatan lomba tersebut, saya juga 
menjadi tahu betapa miskinnya perbendaharaan puisi di kalangan siswa dan 
sekolah. Ini yang mendorong saya untuk melakukan kegiatan bimbingan sastra, 
baik dalam kegiatan ”Tebaran Sastra di RRI Palangkaraya” maupun ”Tabib (Taman 
Bina Ide dan Bakat) Puri Damai”. Tebaran Sastra adalah acara yang dulu diasuh 
Bang Jack F. Nahan. Disela-sela kegiatan itu saya sering berdiskusi dengan Bang 
Badar Sulaiman Usin (BSU) almarhum. 
Selanjutnya kami menyelenggarakan Baba (Baca-Bahas) Puisi bersama Mas Eko 
(Yulianto Eko Sunugroho = YES) dan mendirikan Kelompok Teater Senjang. Saat itu 
Teater Senjang menampilkan M. Razi, Mahmudah, dan Elsi Suriani Titin. 
Sebenarnya Baba Puisi direncanakan sebagai program tahunan dan sudah berjalan 
sampai lima tahun. Namun, akhirnya kegiatan ini harus kandas karena tidak 
adanya dana pendukung, sementara saat itu sangat sulit mencari sponsor untuk 
kegiatan sastra. Kelompok Baba Puisi juga diramaikan oleh  teman-teman yang 
berteater tersebut dan teman-teman lain diantaranya Mirza Wanara Fitri kakak 
beradik. Salah satu yang ikut aktif di dalamnya adalah Siti Nafsiah yang 
sekarang berkarya politk bersama Golkar dan duduk sebagai  Ketua Komisi C DPRD 
Kalimantan Tengah. Pada waktu Kanwil Dekdikbud dipimpin oleh Bapak Hengki 
Sumuan dan Drs. Taya Paembunan. Saat itu puisi sangat diperhatikan sehingga 
tiap-tiap ada kegiatan baik intern Kanwil maupun kala ada
 kunjungan pejabat dari Pusat baik itu Dirjen, Sekjen maupun menteri P dan K 
selalu disuguhkan bacaan puisi. 
Pernah suatu saat, ada kegiatan yang tidak menampilkan bacaan puisi, Bapak H 
Sumuan dan Pak Taya menanyakan kepada saya perihal ketiadaan baca puisi. 
Sehingga pada saat Pisah Sambut kepindahan Pak Taya kembali ke Jakarta, kami 
juga mengadakan acara baca puisi, khusus untuk Pak Taya. Salah satu kalimat 
dalam puisi itu berbunyi” Selamat jalan Pak Taya, jangan lupakan kami, jangan 
lupakan Kalimantan Tengah”. Puisi ini memberi kesan tersendiri di hati beliau 
sehingga beliau menuliskan sebuah buku tentang Kalteng dan diluncurkan di 
gedung Aula Kanwil Depdikbud. Menurut beliau puisi tidak boleh dipandang hanya 
sebagia hiburan, tetapi juga sebagai media yang dapat dititipi pesan apa saja, 
dari masalah pendidikan agama sampai masalah pembangunan.
Kepindahan Bung Yohanes Djoko Santoso Passandaran dari Kuala Kapuas ke 
Palangkaraya menjadi dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Indoensia FKIP 
Universitas Palangkaraya memberikan dorongan kegiatan sastra di Palangkaraya, 
Kalimantan Tengah. Ia membukukan sendiri beberapa puisinya dalam kumpulan puisi 
Sajak- Sajak Kecil Perjalanan. Saya sering berdiskusi dengan beliau tentang 
bagaimana mendorong dan mengajak para siswa berkarya puisi dan meningkatkan 
karangan serta kualitasnya. Lewat Tabib Puri Damai, beliau ikut 
menyelenggarakan lomba Baca Puisi. Bang HABSU (Haji Ahmad Badar Sulaiman Usin, 
Saapan Badar Sulaiman Usin setelah menunaikan ibadah haji). Saya maupun 
teman-teman yang lain termasuk sastrawan yang kurang produktif dalam hal 
penerbitan buku, karena kemampuan finansial yang sangat terbatas. Kami baru 
menuangkan karya-katrya dalam buku setelah ada pihak yang  berkenan 
mensponsori. Keadaan agak berubah setelah buletin sastra Dermaga terbit.
 Buletin ini digagas oleh Bang HABSU dan didukung Ikatan Pecinta Seni Sastra 
Palangkaraya (IPSSP). Buletin ini dimotori oleh Wansel Eryanatha Rabu, Barthel 
Usin dan Sutran. Ketiga orang ini memang bergelut dalam bidang jurnalistik. 
Selain itu ada pula Dini Sofian serta Bambang Juniarto yang sejak tamat kuliah 
sampai sekarang belum terlacak keberadaannya. Selain menerbitkan Dermaga, IPSSP 
juga pernah menerbitkan antologi puisi penyair Palangkaraya, sayang saya tidak 
memiliki arsipnya.
ISASI (Ikatah Satrawan Indonesia) daerah Kalimantan Tengah kemudian ikut 
bergabung bersama IPSSP. Saat itu ISASI dipimpin oleh Bang Jack F. Nahan. 
Kehadiran ISASI ikut memperkuat buletin Dermaga. Meskipun baru berupa 
stensilan, HABSU berani mengirimkan beberapa edisi ke teman-teman seniman 
sastra  di daerah lain, juga ke pusat dokumentasi sastra HB Yassin. HABSU lalu 
membukukan puisinya dalam kumpulan puisi yang berjudul Rambahan. Buku ini 
disponsori oleh Mas Dapi Fajar Raharjo, Mohammad Alimulhuda, Samsul Munir, 
Suyitno BT, dan teman-teman yang tergabung dalam ISASI. Saat itu ISASI berada 
di bawah koordinasi Dr. J.J Koesni selaku Ketua ISASI. Setelah kumpulan puisi 
ini terbit, lalu terbit pula kumpulan puisi yang disponsori oleh Kantor Wilayah 
Pariwisata Seni dan Budaya (Parsenibud) Kalimantan Tengah. Kumpulan puisi ini 
berjudul Tiga Sosok Berpadu Takdir, memunculkan puisi-puisi bertemakan 
pariwisata karya HABSU, Makmur Anwar M.H, dan Andi Burhanuddin.
 Saat itu Kantor Parsenibud berada di bawah kepemimpinan Bapak Drs.H Hamdulilah 
Salim. 
Setelah Tiga Sosok Berpadu Takdir, Aliemha (sapaan Mohammad Alimulhuda) dan 
kawan-kawan dari ISASI Kalteng menerbitkan Negeri Bekantan, sebuah antologi 
puisi para penyair Kalimantan Tengah. Di dalamnya memuat karya-karya Lukman 
Juhara, Dra. Nani Setiawati, M.Si., Sujudi Akbar Pamungkas, M. Anwar M.H., 
Alifiah Nurahmana, Supardi, R. Bagaspathi, Suyitno BT, Titin Nafsiah Rafles, 
Amang Bilem, Esa Sukmawijaya, Padmi Sando Eraini, S.Pd., Samsul Munir, 
Qomaruddin Asss’adah SP, Harland S. Muhammad, Wansel Eryanatha Rabu, Drs. Fajar 
Siddiq, Ariel Abuhasan, Lamatsyiah M Tiong, Tutur Krishandojo, Ruslimah, Surya 
Wira Buana, Yohanes C Karambut, Priyatna, Misnawati, Yuliati Eka Asi, Ad 
Rahmayanti, dan Nor Hasanah. Dari sekian banyak nama itu ada beberapa yang 
memang sudah dikenal sebelumnya dan ada pula yang baru dikenal. Beberapa di 
antaranya kini sudah tidak terdengar gaungnya, namun ada pula terus berkarya, 
hidup dan berkibar benderanya.
            Tabib diminati oleh adik-adik yang masih kecil diantaraya Elis, 
yang dulu sering ditampilkan di layar TVRI, Herawati, Citra, Pahit, Amy, dan 
Sekar yang sering pula tampil di RRI Palangkaraya membaca puisi dan bermain 
sandiwara udara, menyosialkan program Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Citra 
dan Amy sempat diundang ke Jakarta oleh IKAPI di bawah ibu Upi Tuti Sundari 
Azmi yang akrab dipanggil Bu Upi, untuk membacakan pusi di acara pembukaan 
Pameran Buku Internasional. Acara itu dibuka oleh Menteri Pendidikan dan 
Kebudayaan saat itu, Bapak Sumantri Brodjonegoro di Balai Sidang Senayan, 
Jakarta. 
Tabib juga memunculkan adik-adik yang kemudian ikut dalam kegiatan-kegiatan 
lain baik dalam berteater maupun berpuisi bersama dengan teman-teman yang lain. 
Tabib, Baba Puisi dan Teater Senjang sering mengadakan kegiatan lomba baca 
Puisi. Bahkan para anggota Teater Senjang berhasil menang dalam Lomba Menulis 
dan Baca Puisi bertemakan Pancasila yang diselenggarakan oleh BP-7. Lomba 
menulis Essai bertemakan Pancasila memunculkan Mamahut, permunculan nama lain 
dari M Anwar MH,  juga anggota teater Senjang sebagai juara pertama. Selain itu 
masih banyak prestasi yang berhasil diraih oleh para anggota teater Senjang. 
            Bersama redupnya Baba Puisi, Teater Senjang pun mulai tenggelam dan 
pulas dalam tidurnya. Sejak itu muncullah Teater Kharisma di bawah pimpinan 
Drs. Puji Santoso. Tetapi kehidupannya juga tidak mampu bertahan lama, walaupun 
sempat berkiprah meramaikan panggung teater Palangkaraya. Namun, Alhamdulillah. 
setelahnya muncul sanggar teater yang baru yang sampai sekarang masih 
menunjukkan keaktifannya, yaitu Srikandi Tiung Gunung Balamping Emas di bawah 
pimpinan Rr. Tri Rahayuningsih. Pemain utama dan seniornya adalah Aliemha. 
Teater ini banyak melibatkan adik-adik mahasiswa, siswa-siswi SMP, SMA, 
Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. 
Sememtara itu di kampus Universitas Palangkaraya juga berkembang Teater Tunas 
sebagai ajang berkiprah bagi para mahasiswa-mahasiswi FKIP Program Studi Bahasa 
Indonesia dan sastra Jurusan Bahasa Indonesia dan Daerah. Bersamaan dengan 
aktifnya sanggar-sanggar teater ini, muncullah satu lagi teater dan sastra 
kampung (Terapung) di bawah kepemimpinan Aliemha. Teater ini diminati banyak 
pihak untuk bergabung dan bekarya di bidang teater, bahkan adik-adik kita yang 
kecil ikut bermain di dalamnya, salah salatunya adalah melakonkan ”Ember”. 
Teater Terapung sangat menarik perhatian karena membina anak-anak untuk cinta 
teater, juga dengan kehadiran teater bocahnya (diberi nama teater Ember). 
Sampai sekarang sanggar ini masih aktif dan terus aktif bahkan sering 
bermuhibah ke beberapa daerah lain. Terakhir bulan Juli lalu mereka ke 
Pontianak, Kalimantan Barat. Di era aktifnya, sanggar-sanggar teater ini 
berhasil menjadi tuan rumah dalam adu kreasi pekan teater
 dengan menghadirkan Group Teater dari Banjarmasin, Malang, Jombang, Jatim, dan 
Sampit. Kelompok Sampit yang aktif melalui studi Art Sampit sering mengundang 
Teater Terapung dan sebaliknya mereka juga bermain di Palangkaraya dan 
mengikuti program-program Terapung.
            Dengan dibukanya Kantor Bahasa Palangkaraya pada tahun 2000 di 
Kalimantan Tengah, kegiatan sastra semakin marak saja. Kantor Bahasa 
Palangkaraya ini sering mengadakan Bengkel Sastra di SMA-SMA di Palangkaraya 
dan daerah-daerah lain di Kalimantan Tengah dengan melibatkan tenaga-tenaga 
yang ada seperti Mas Eko, Aliemha, Dapi Fajar Raharjo, M. Anwar MH, dan para 
dosen Bahasa Indonesia dan Sastra Unpar. 
Setelah Kantor Bahasa Palangkaraya berubah menjadi Balai Bahasa Provinsi 
Kalimantan Tengah pada tahun 2003, mereka pun semakin meningkatkan peranan dan 
partisipasinya dalam membina mengembangkan serta menggerakan para seniman 
sastra dan teater di wilayah ini. Di antaranya adalah seminar sastra yang 
menampilkan Tokoh Budayawan Prof. K.M.A.M. Usop, M.A., dan dihadiri pejabat 
dari Pusat Bahasa, Drs. Abdul Rozak Zaidan, M.A. Saat itu Balai Bahasa Provinsi 
Kalimantan Tengah berada dibawah kepemimpinan ibu Jatiwati, S.Pd., Di sini, 
tampak kesastrawanan dan kebudayawaman Pak Usop di tengah masyarakat luas 
Kalimantan Tengah.
Dalam waktu dua tahun terakhir, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah semakin 
menggiatkan program kesastraannya dengan mengadakan Lomba Baca Puii bagi Guru 
SD, Lomba Bertutur/Mendongeng atau Bercerita bagi Siswa SD, Lomba Mengarang 
Cerita Pendek, Lomba Musikalisasi Puisi, Sayembara Penulisan Cerita Rakyat, 
Bengkel Sastra, Penulisan Kreatif Cerpen, temu sastra, dialog sastra, seminar 
pengajaran sastra, bedah buku sastra, bimbingan penulisan sastra, dan lain-lain 
(maaf, saya tidak mampu menghafalnya). Ini merupakan momen yang sangat 
menggairahkan bagi keatifitas para sastrawan di daerah Kalimantan Tengah ini. 
Ucapan terima kasih tentunya pantas saya sampaikan kepada Bapak Dra. Puji 
Santosa, M.Hum selaku Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah dan 
segenap stafnya atas kegiatan-kegiatan kesastraan yang diadakannya ini. Satu 
hal yang sangat mengejutkan adalah adanya acara Pemberian Penghargaan kepada 
Tokoh Kebahasaan dan Kesasatraan. Ini baru untuk
 pertama kalinya terjadi di wilayah Kalimantan Tengah ini. Kalau program ini 
tidak terhenti dengan pemberian penghargaan kepada kami sekarang ini, saya 
yakin akan dapat membawa dampak positif untuk peningkatan karya dan kreatifitas 
para sastrawan dan tokoh kebahasaan di daerah Kalimantan Tengah ini.
            Saya juga mengucapkan selamat kepada Bapak Prof. K.M.A.M Usop, M.A. 
atas terpilihnya beliau sebagai tokoh Kebahasaan Kalimantan Tengah. Selain itu, 
saya juga pantas memantapkan ucapan terimakasih saya karena bimbingan beliaulah 
saya dapat bertahan dan berkarya di bidang kesastraan sampai sekarang ini. 
Beliaulah yang menyarankan agar saya membukukan puisi-puisi saya. Bagi saya, 
beliau adalah dosen pembimbing dan seorang tokoh yang menjadi idola saya. 
Terima kasih Pak Usop. (Makmur Anwar M.H.**) 
 
                                                                                
                                                          Palangkraya, 27 
Agustus 2008 


      Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.com
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke