Kronik  Bulan Pambelum* :
 
 
JERITAN SUMARAH
 
 
Sampai detik ini monolog "Balada Sumarah" karya Tenterem Lestari, tentang nasib 
seorang TKW, anak seorang lelaki sederhana yang dituduh PKI, yang dibawakan 
oleh Luna Vidya dalam acara ulta ke-26 Koperasi Restoran Indonesia SCOP 
Fraternité Paris, masih terbayang-bayang dimata ingatanku. Jerit kepahitan, 
setengah histeris dan putus-asa tapi sekaligus memprotes ketidakadilan, 
penyingkiran hak-hak dasarnya sebagai seorang anak manusia, gugatan pada 
kesewenang-wenangan dalam masyarakat yang mendekati "hukum rimba", 
berdermagakan dalil "survival ofthe fittest"dengan dalil ,  tudingan terhadap 
masyarakat timpang tidak manusiawi, ..... ngiang lengkingnya masih mengisi anak 
telinga serta lembah padang nuraniku.
 
Setelah menghunjam ulu hati majikannya sampai mati dengan pisau bela diri, 
ketika ia mau diperkosa, Sumarah yang merasa dirinya berada di puncak deretan 
perbukitan derita, menjerit  sekuat-kuatnya sambil menelungkup di 
lantai: "Ayahhhhhhhhhhhhhhh... ayahhhhhhhhhhhh". Jeritan ini merupakan klimaks 
monolog, menyimpulkan pesan yang bagai riam di hulu-hulu sungai , serupa  air 
lepas bendungan mnegalir deras menyerbu hati penonton.Membuat mereka 
terbungkam, mengatup kuat bibir mereka menahan ledakan haru mendapat pesan 
monolog lalu menggenang di air mata. 
 
Ketika aktris bangkit dari telungkup derita dan gugat Sumarah,  membongkok 
berkali-kali  memberi hormat kepada para penonon yang menyesaki ruang 
restoran, tepuktangan tidak juga segera terdengar. Gzmuruh tepuk  tangan baru 
terdengar mengisi ruang beberapa detik kemudian ketika sang aktris 
menyampaikan  terimakasih.
 
Kau tahu, teman-temanku tahu, bahwa aku termasuk seorang lelaki lemah karena 
terlalu peka. "Seni amat" jika menggunakan ungkapan anak muda sekarang. Sering 
aku merasa bahwa senivitas begini sering membuatku muncul sebagai orang lemah, 
garang dan meledak di hadapan yang kurasakan sebagai ketidakadilan. Ditambah 
lagi aku yang diasuh sebagai anak alam dalam lingkungan, dan  melalukan masa 
kanak di lingkungan keluarga gerilyawan melawan Jepang dan Belanda Belanda, di  
tengah etnik yang dihina-hina,  kepekaan ini pun mendapat lahan hitam subur. 
Apalagi kemudian Orde Baru, memaksaku jadi seekor "enggang hilang sarang", 
"naga"1]  hilang lubuk.Dihalau paksa jadi pengembara. Untuk mengambil kembali 
hak warga negara Republik Indonesia harus menuliskan surat janji menertawakan 
"setia pada Republik Indonesia" Paadahal aku tidak pernah 
mengkhianatinya.  Ketika menjelajah tanahair dari ujung barat hingga timur, 
dalam perjalanan ini pun, aku selalu saja  dekat
 pada kepapaan. 
 
Kepahitan adalah lingkunganku. Khianat , dusta dan kepongahan orang tak tahu 
diri juga mengitariku. Hanya bayangan Yesus , pejuang kemanusiaan dan pemimpin 
besar tahan waktu dengan filsafat kasihnya, yang sering membuatku belajar 
mengendalikan kepekaan dan rasa berontak sebagai anak Dayak "utus panarung". 
 
Secara umum, sehubungan dengan masalah kepekaan ini, aku ingin kembali 
menanyakan apakah seorang seniman perlu memiliki kepekaan sosial dan 
manusiawi?  Bagaimana mungkin seorang seniman bisa mencapai taraf menjadi jiwa 
bangsa jika tidak mempunyai kepekaan sosial dan manusiawi? Tanpa kepekaan 
begini, aku membayangkan yang menyebut diri seniman akan asyik dan sibuk dengan 
diri sendiri dalam era globalisasi. Sebuah pertanyaan belaka, untuk  menjawab 
tuduhan kepadaku "kok sensi amat sih jadi orang", mempertanyakan ketepatan  
pernyataan ini. Pertanyaan yang jika dilihat dari segi perkembangan masyarakat 
negeri ini, merupakan umum tapi sekaligus mencerminkan tingkat pemikiran dan 
gaya hidup yang didominasi pola pikir dan mentalitas "mie instant".
 
Kehidupan Sumarah, kurasakan sebagai bagian dari kisah diriku sendiri. 
Sepenggal dari kehidupan anak bangsa dan negeri bermula dari Tragedi Nasional 
September 1965. Sumarah meakili kehidupan 1 dari 10 anak bangsa yang dipinggir 
paksakan yang bahkan pada suatu saat pernah dipandang "lebih rendah dari 
tinja", seperti "dajakers" , lambang dari segala  nista, keburukan dan 
kejahatan". Sumarah merupakan suara dari anak cucu  dari tiga juta nyawa yang 
dimasakare oleh Orde Baru semenjak Tragedi Nasional September 1965.  Tokoh 
Sumarah bukanlah tokoh yang "Mencoba Tidak Menyerah" 2] tapi memang tokoh yang 
menolak menyerah. Dengan mengatakan bahwa korban Tragedi Nasional September 
1965, sebatas "mencoba tak  menyerah", aku kira, penulisnya tidak mengangkat 
tokoh tipikal seperti yang dikatakan oleh Lu Sin, pengarang Tiongkok tahun 
30an. Ia belum  mengkhayati masalah Tragedi Kemanusiaan dan Nasional ini. Tapi 
betapa pun simpatinya , bukan empati, patut
 dihargai. 
 
Sumarah, yang ditulis oleh  Tenterem  Lestari, seorang TKW merupakan tokoh yang 
jauh lebih  mewakili masalah. Lebih tipikal. Sumarah mengingatkan aku akan  
tokoh cerita filem Holywood yang diperankan oleh Susan Hayward, ketika akan 
digantung mati, masih berkata lantang : "I want to live!". "Saya tidak 
bersalah!". "I'm not guilty!". 
 
"Aku ingin hidup", adalah suara dari sekian juta orang dari segala etnik dan 
warganegara yang dipinggir paksakan sekarang ini di negeri kita. Jeritan yang 
digaungkan oleh Sumarah. Jeritan ironis dan sarkastik untuk Republik Indonesia. 
Terlalu politiskah pandangan ini? Wahai, tuan-tuan dan puan-puan, mengapa pula 
sastrawan-seniman takut dan mengelak atau menghindari dari soal politik, ketika 
kenaikkan harga BBM langsung menyentuh periuk nasi dan menyala tidaknya dapur 
keluarga? Barangkali pandangan menolak memahami politikn peran politik,  pada 
seniman merupakan hasil dari politik depolitisasi rezim terdahulu yang sudah 
lama secara dunia sudah kadaluwarsa. Tapi sikap apapun yang kita pilih, 
pandangan apa pun yang kita anut dan yaini, adalah hak tak 
tergugat masing-masing sesuai tingkat pemikiran masing-masing pula.Karena 
memang sering terjadi, kita menghidupi hari ini tapi masih menapakinya dengan 
pandangan kadaluwarsa sambil menepukdada modern
 sebagai baju dan asesoris.
 
Tokoh Sumarah yang diciptakan mewakili nasib sekian juta orang anak negeri dan 
bangsa kita, termasuk diriku yang dipaksa jadi "enggang hilang sarang", "naga 
hilang lubuk".  Dan dibawahkan oleh Luna Vidya secara berhasil. Monolog Luna di 
Koperasi Restoran Indonesia secara teater berhasil mengangkat cerita Tenterem 
Lestari ini. Sepnuhnya berhasil menghidupkan tokoh Sumarah sehingga membuat 
orang-orang jujur manusiawi tersentuh dan digugah kemanusiaan mereka. 
Orang-orang terhalang pulang merasakan pikiran dan perasaan mereka disuarakan 
oleh Luna Vidya, artis kelahiran Sentani yang menolak Sentani dibawa-bawa dalam 
penulisan tentang dirinya.  Padahal ketika aku menyebut nama Sentani, sama 
sekali tidak terlintas pada benakku untuk mengeksploatasi "keterbelakangan" dan 
"keprimitifan" seperti yang diduga. Secara antropologis pun aku aku bukan 
penganut konsep antropologi awal. Ketika menyebut nama Sentani, aku punya 
hitungan sendiri di tingkat nasional dan
 internasional serta koseptual. Tak usah digugat, tak usah diprotes, aku masih 
tidak terlalu dungu untuk tak bisa memahami bahwa keheberhasilan seorang 
seniman tidak ditentukan oleh tempat  lahir.  Bahwa ada yang mundur dan 
meninggalkan konsep sastra-seni kepulauan yang kuanggap pengejawantahan konsep 
republik dan Indonesia serta bhinneka ika, yang diingkari selama sekian 
dasawarsa, tentu hak mereka yang menolaknya. Aku masih melihat bahwa konsep ini 
masih relevan. "Indoesia bukan hanya Jzawa,bukan hanya Bali,Jakarta dan 
pusat-pusat sastra-seni yang dikenal mancanegara", ujarku pada Johanna Lederer 
dari "Pasar Malam"  di depan !sitor Situmorang, ketika merekomendasi 
pengundangan daerah-daerah dan pulau-pulau untuk acara sastra "Pasar Malam" 
bulan Desember 2008. Rekokemndasi perlu dasar teori dan data. Seberapakuat sih 
rekomendasi dengan menyebut nama pribadi betapa lama pun mereka berkegiatan? 
Tap aku memahami bahwa kesalahpahaman ini barangkali dari
 latarbelakang mimpi dan pengalaman serta lingkup geografis budaya yang 
berbeda. Aku berterimakasih pada LembagaPersahabatanPerancis-Indonesia "Pasar 
Malam" membuka telinga akan rekomendasiku. Pernialain pihak lain selanjutnya 
menjadi kaduk bagiku. Aku sudah lakukan yang bisa kulakukan untuk mimpiku dan 
tanahair, tanpa mengharapkan apa-apa dari siapa pun.  Dan hal begini bukan 
pertama kali kulakukan, tanpa usah kurinci. Pertanyaan "Apa yang kalian lakukan 
di luar negeri untuk tanahair", pernah diajukan kepadaku ketika peluncuran 
bukuku di Solo, dipandu oleh Hali HD. Halim HD tentu masih ingat, bagaimana aku 
menjawab pertanyaan bodoh ini. Setengah terpaksa aku menulis baris-baris ini 
karena terkesan ada semacam serangan padaku. "My Way" ujar lagu Eddie Michel, 
penyanyi Perancis yang diinggriskan. "You have your own way".  Kita bertemu 
saja di dunia sastra-seni republiken dan berkeindonesiaan yang mengisi mimpiku 
di kembara panjang sekali pun dengan
 segala resiko kutanggung.
 
Aku memang menangis menyaksikan monomog  Luna di Paris. Orang-orang lain pun 
menangis dan berpikir, termasuk tiga atase KBRI yang dikirim oleh Kuasa Usaha 
Maruli Tua Sagala untuk mewakilinya. Cerita Tenterem Lestari berhaisl 
penuh diangkat oleh Luna sehingga aku sempat berpiikir karya Lestari mungkin 
menjadi suatu karya klasik dan jika Luna bisa mempertahankan tingkat pentasnya 
seperti yang di Paris, ia bisa  berada senantiasa di hati penonton di mana 
pun.  "Jerit Sumarah" yang dijeritkan Luna adalah jerit gugatan sekian juta 
warga yang dipinggir paksakan, jerit 3 juta nyawa yang dimasakre, jerit 
perlawanan anak manusia yang menolak kalah dan mau hidup.Jerit harga diri dan 
membela martabat manusiawi. 
Karena itu aku dan orang lain tak bisa menahan tangis. Nurani kemanusiaan, 
suara kami diperdengarkan, derita kami dikisahkan melalui teater, melalui karya 
sastra-seni. Gugatan kami dilantangkan.  Aku melihat monolog Luna dan "Balada 
Sumarah" Tenterem Lestari memperlihatkan sastra-seni mengambil tempat wajarnya 
di kehidupan. 
 
Seusai pertunjukannya aku menyalami Luna memuji suksesnya dalam kata-kata: "Kau 
jahat" yang tak ia mengerti. Kukatakan "jahat" karena ia berhasil membuatku 
kembali menangis sementara jejak kemnaraku penuh airmata. Iniklah "pisuhku" 
itu? Aku merasa ketika aku dibilmang "misuh" ada suatu salah paham dan 
komunikasi terpenggal oleh latar yang beda, termasuk ketika aku dibilang 
"tuabangka berkelebihan", serta "mabuk" Kata-kata emosional lepas kekang hingga 
menelajangi diri sendiri di depan publik. Keadaan dan tudingan ini pun turut 
mengisi jerit Sumarah dari bibir Luna sebagai aktris yang kudengar di monolog 
Paris-nya.
 
Jerit Sumarah adalah jeritku sendiri.Jerit 3 juta orang yang dimasakre.Jerit 
anak-cucunya. Mengapa ditanya "untuk apa kami menjerit dan menangis" 
menyaksikan Sumarah menyuarakan diri kami? Ataukah tangis kami dan jerit kami 
merupakan sesuatu yang bisa dipandang sebagai terlalu "sensi". Aku jujur pada 
diriku tanpa mengemis sensivitas, empati dan simpati siapa pun. 
 
Orang Jawa percaya pada keadilan Batara Kala, sejarah juga memperlihatkan ia 
selalu tak diam. Masakre di Yunani Kuno masih ditelaah. Spanyol mengangkat 
korban Franco do  Perang Saudara tahun 1936. Pinochet dari Chile dinilai 
seadanya. Aku percaya sebagai anak Dayak Katingan, bahwa bumi niscayanya adalah 
tempat hidup anak manusia secara manusiawi tapi harus berlaga. Sumpah-serapah 
seperti halnya ketidak pekaan dan kejahatan hanyalah sampah dan busa  di 
sungai. Inilah "My Way" ujar Eddie Michele.
 
"Balada Sumarah" dan monolog Luna, apalagi jika terus ditingkatkan, kukira bisa 
menjadi suatu klasik di dunia sastra dan seni pertunjukan kita. Klasik karena 
paduan harmonis isi dan bentuk. Mencapa taraf "dua tinggi". Menyarikan keadaan 
bangsa dan negeri.  Barangkali saya bekelebihan. Tapi tingkat klasik bukanlah 
taraf yang tak mungkin didaki.
 
Sumarah , jeritmu adalah jerit berkepanjangan. Jerit pemberontakan abadi mereka 
yang ingin hidup dan menjadi manusia yang manusiawi. Menolak kalah. Sipongang 
yang menggaung mengisi ruang dan hati. Hatiku.
 
"Ayahhhhhhhhhhh.......ayahhhhhhhhhhhhhh".
 
Kau dengarkah jerit abadi ini? Ataukah kau kiga turut berkata: Untuk apa 
menjerit, begitu saja menjerit. Untuk apa menjeritkan masa silam dan soal-soal 
kaduk? Untuk apa menjerit dan menangis untuk "penjaahat"
 
"Ayahhhhhhhhhh.... ayahhhhh"?
 
 
****
 
 
Seekor camar putih  terbang sendiri di langit kelabu  Sungai Seine. Matahari 
tumpul redup di atas di ufuk timur. Tapi matahari tetap ada betapa pun redupnya 
di langit musim menggigit sungsum. Jeritmun Sumarah masih kudengar dari hulu 
mengalir di bawah 36 jembatan menyertai arus. Aku  melihat jalan kembaraku di 
terbang camar putih Sungai Seine pagi itu. Montmarte lengang dan sepi 
mengenangkan aku akan baris-baris Federico Garcia Lorca dalam puisinya Cordoba:
 
"Cordoba sayup dan sepi
Buah dalam zaitun dalam pelana
...........................................................
Ajal menanti di Cordoba
 
Tanahair! Aapakah kau bernama Cordoba?Sumarah kah yang berada di punggung kuda 
itu  dengan zaitun mimpi di kantong pelana  menuju Cordoba? Cordoba sayup dan 
sepi. Camar Seine terbang sendiri.
 
"Ayahhhhhhhhhh, ayahhhhhhh....."****
 
 
Montmartre, Musim Dingin 2008
---------------------------------------------  
JJ. Kusni
 
 
Keterangan:
* Bulan Pambelum, bahasa Dayak Kalteng, berarti bulan kehidupan. Lengkapnya 
kata-kata yang terdapat dalam sastra lisan Dayak ini berbunyi: "bulan pambelum 
panutung matan andau: bulan kehidupan penyulut matahari". Ungkapan ini sampai 
sekarang masih sering digunakan dalam puisi-puisi lisan yang disebut sansana 
kayau.
 
1]. Dayak Katingan dalam sastra lisan  menamakan diri sebagai "rengan tingang 
nyanak jata", anak enggang putera-puteri naga", "utus panarung", turunan 
panarung atau pelaga, bukan jipen atau budakbelian. "Rengan tingang nyanak 
naga", sekaligus merupakan konsep hidup mati manusia Dayak dahulu yang 
diujudkan dalam berbagai bidang, termasuk dalam soal yang sekarang disebut 
jender oleh para feminis yang banyak mengacu pada konsep Barat, lupa 
konsep-konsep lokal. Berhala pindah ke Barat. 
 
2]. "Mencoba Tidak Menyerah" adalah judul novel Masardi Yudhistira tentang 
keluarga PKI. 
 
3]. Foto terlampir memperlihatkan Luna Vidya, pemonolog dari Makassar,  dalam 
kostum Sumarah; Luna Vidya bersama tiga atase dariKBRI Paris dan 
penanggungjawab Koperasi Restoran Indonesia; Louis Joinet, mantan penasehat 
hukum lima Perdana Menteri Perancis, sekarang pejabat tinggi PBB di Jenewa yang 
turut hadir dalam acara ulta ke-26 Koperasi Restoran Indonesia SCOP 
Fraternité,Paris  [Dok. JJ. Kusni].


      Yahoo! Toolbar is now powered with Free Anti-Virus and Anti-Adware 
Software.
Download Yahoo! Toolbar now!
http://sg.toolbar.yahoo.com/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke