Kalau kita perhatikan, setidak-tidaknya untuk
budaya indonesia, sudah jelas terjadi pergeseran
budaya hubungan antara orang-tua dan anak. Orang
tua generasi masa kini umumnya semakin "demokratis",
semakin memberikan ruang "partisipasi" bagi anak,
termasuk - mungkin - memberi toleransi jika mereka
ingin menyampaikan kritik/"masukan" kepada orang
tuanya ;-).

Itu mungkin bisa dibedakan dalam hubungan orang-tua
dan anak-anak yang sudah mulai remaja, atau yang
sudah dianggap punya rasa "tanggung jawab".

***

Tetapi pola hubungan orang-tua dengan anak-anak
yang Balita ( yang belum bisa di "bebani" tanggung
jawab ) mungkin pada hakekatnya tidak banyak mengalami
perubahan. Sebagaimana kita maklumi, anak Balita
umumnya belum waktunya untuk di "marahin" orang
tua. Yang ada adalah ungkapan kasih-sayang, pujian
{ "pinter, cakep, cantik, dll. :) }. Tapi juga
kadang-kadang di sini orang tua sudah mulai banyak
memperkenalkan "Rule" ( harus begini dan harus
begitu, tidak boleh begini dan tidak boleh begitu ).

Sudah tentu itu sudah semestinya dilakukan. Bahkan
di dunia hewan, se-ekor kijang pun sudah harus
memperkenalkan pada anaknya apa saja yang berbahaya
bagi keselamatannya. Masalahnya di sini adalah pada
"cara" memperkenalkan itu. Menurut para ahli, jika
cara mengajari anak terlalu "otoriter", misalnya
terlalu sering "menyalahkan/mengkoreksi" secara
frontal, dikhawatirkan si anak akan berkurang
rasa percaya dirinya, karena sedikit-sedikit
di "koreksi". Jadi menurut ajaran yang paling
"liberal", biarkan si anak melakukan kesalahan-
kesalahan, lalu arahkan agar si anak menyadari
kesalahan tersebut dan termotivasi untuk
mengkoreksinya.

Singkat kata, terlepas dari siapa dan golongan
usia apa yang di latih, terdapat pedoman yang
berlaku umum, yaitu bahwa keseimbangan antara
*-pujian-* dan *-kritikan-* itu perlu, ya
seperti halnya reward dan punishment.

Kutipan artikel dari Livescience di bawah ini 
lebih menekankan peranan *-pujian-* yang diberikan 
pada anak-anak, untuk membentuk rasa percaya diri 
dan rasa menghargai diri bagi mereka nantinya.

***

Catatan dari saya:
-----------------
yang ini berbeda arahnya dari inti artikel di bawah
ini. Di dunia ini ada juga pekerjaan/tugas/job
yang dikenal sebagai "pekerjaan cuci piring",
paling gampangnya bayangkan jika ini dilakukan
oleh pembantu:

=> jika pembantu kita salah / kurang cermat
dalam mencuci piring/gelas, sehingga kurang
bersih, secara serta merta mereka akan kena
teguran

=> tapi jika mereka melakukan tugas itu dengan
baik, umumnya mereka tidak mendapat reward/
pujian, apalagi bonus gaji :)

Ini di alami oleh orang/pihak yang melakukan jenis
pekerjaan-pekerjaan yang dianggap "rutin", seperti:

=> pekerjaan polisi menjaga ke amanan & ketertiban
=> pekerjaan pak-pos mengantar surat
=> pekerjaan pemerintah :-),

Seringkali masyarakat menilai toh itu sudah merupakan
"tugas mereka", jadi kalau mereka mengerjakannya dengan
baik, tidak perlu diberi reward, bahkan sekedar pujian
atau ucapan terimakasih pun, tetapi kalau salah sedikit,
maka segala macam kritik, caci maki akan serta merta
di hujankan kepada mereka, ... :-)

Yach siapa tahu, pemerintah kita di rekiblik induunisiyyah
itu mungkin masih perlu di "nurture" juga supaya punya
Self-Esteem, jadi sebaiknya ya di samping di kritik, juga
dikasih pujian if they're doing a good job, ...

***

Kritik terhadap masyarakat yang hobbynya hanya mengritik,
dan tidak mampu memberi pujian, mungkin seperti dicerminkan
dalam salah satu kisah "Nasarudin Hoja" ( ini, kata seorang
rekan, "Punakawan" versi Timur Tengah, di samping Abu
Nawas ):

Suatu Hari Nasarudin Hoja pergi dengan anaknya yang masih
kecil ke kota untuk berbelanja barang kebutuhan. Dia
menuntun keledainya yang kurus.

Di tengah jalan, seseorang menegurnya, "Ah bodoh amat kalian,
wong punya keledai kok tidak di naikin, lalu apa gunanya
punya keledai? "

Maka Nasarudin pun menaik-kan anaknya ke punggung keledai,
lalu meneruskan perjalanan. Kemudian mereka bertemu dengan
orang ke-2, yang menatap tajam kepada anak Nasarudin sambil
menegur "Aah, dasar anak tidak tahu budi, masak Bapaknya yang
sudah tua renta di biarkan berjalan kaki, apa kamu tidak
kasihan dengan bapakmu?" ...

Maka gantian Nasarudin yang naik keledai, anaknya jalan kaki,
ketemu orang ke-3, ditegur lagi, "Aah dasar bapak tidak tahu
diri, mosok anak nya yang masih kecil dibiarkan berjalan,
bapaknya enak-enak di punggung keledai, " ..

Maka kemudian Nasarudin dan anaknya dua-duanya naik di
punggung keledai. Tidak lama kemudian mereka ketemu
aktivis "Green Party" dari Jerman yang menegur, "Hey,
kalian ini apa tidak mengenal apa yang disebut sebagai
"Animal-Right"? mikir dongm masak keledai sekurus ini
dipaksa memanggul beban 2 orang ditambah barang?"

Nasarudin: ???!!!

wassalam,

----( IM )-----------------------------


<http://www.livescience.com/health/070614_esteem_all.html>

-----------------------------------------
Self-Esteem Myth Busted: Everyone Has It
-----------------------------------------

By Jeanna Bryner, LiveScience Staff Writer

posted: 14 June 2007 08:59 am ET


Email No matter how meek they might appear, most
people are endowed with the same self-confidence,
new research reveals. For some, however, that
confidence is buried deep inside.

Within the United States as well as across cultures
—and stereotypes—all individuals hold a positive
inner confidence.

"A given person with high implicit [or inner]
self-esteem may be outwardly self-promoting or
may be outwardly very modest," said study team
member Anthony Greenwald, a psychologist at the
University of Washington.

The results are detailed in the June issue of
the journal Psychological Science.

Unreasonable?

The finding that a self-effacing woman (for instance
one who is quick to negate any compliment sent her
way) could hold a deep assuredness seems at odds with
reason.

But the scientists suggest that cross-culturally similar
practices of child-rearing, which include adoration and
nurturing of youth, create the foundation for well-poised
adults. Whether the grown-ups express their inner attitudes
outwardly is partly based on cultural norms.

Previously, psychologists have used these outward
expressions to gauge a person's self-esteem.

To dig beneath arrogant or self-loathing veneers,
Greenwald and Susumu Yamaguchi of Tokyo University,
along with other colleagues, measured so-called implicit
self-esteem with the Implicit Association Test (IAT) in
more than 500 university students from the United States,
Japan and China.

The students were asked to respond to various pleasant
words paired with words that referred to themselves
(I, my, me, mine), while being timed. The idea is that
the longer it takes, the more difficult it must be to
associate certain words with oneself, resulting in a
measure of a person's implicit self-esteem and attitudes
about himself or herself.

Students from all three countries showed highly positive
implicit self-esteem, with the Japanese students scoring
the highest among the cultures.

"It does not make much sense to argue that Japanese have
lower or negative self-esteem," Yamaguchi told LiveScience,
"because at the implicit level Japanese hold comparable
or higher self-esteem than Americans."

Everyone's on a pedestal

Similar child-rearing practices across cultures could
explain the similarly positive self-esteem, suggest the
researchers.

"It may be that parents in all societies, especially
mothers, adore their children and put them on a pedestal,
so that children worldwide absorb a highly positive
self-concept," said Greenwald, a co-developer of the IAT.

As for the grandiose boasting of Americans relative to
East Asians, the authors suggest social norms, particularly
modesty norms, are the culprit.

"Ordinary East Asians are aware that they hold strongly
positive self-views," Yamaguchi said. "But the prevalent
modesty norm prevents them from expressing it publicly."

Psychologists actively debate how self-esteem affects
a person's behavior. However, the debate surrounds
explicit self-esteem, and Greenwald suggests the implicit
variety could have a more significant impact in everyday
living.






Reply via email to