Notes Arjo Pilang:

TENTANG SIMPOSIUM  PRAMOEDYA A TOER


2.

Tema umum simposium tentang Pramoedya A. Toer,  kali ini  dirumuskan oleh 
penyelenggara sebagai "Indonesia Dalam Bumi Manusia".  Yang menarik perhatianku 
dari  simposium pertama setelah Pram meninggal diselenggarakan oleh 
lembaga-lembaga yang serius dan bersifat akademis ini adalah mendapatkan 
rincian permasalahan yang akan dibicarakan. Pertanyaan-pertanyaan apa yang akan 
dibicarakan. Kubaca bolak-balik susunan rencana acara  yang dirangkum di bawah 
tema umum: "Indonesia Dalam Bumi Manusia", berikut:


21 Februari 2007: Diskusi "Generasi Muda Bicara Tentang Pramoedya" 
(13.00-14.30) Diskusi dari mahasiswa untuk mahasiswa yang akan mengungkapkan 
bagaimana pemikiran-pemikiran Pramoedya memberi inspirasi dalam kerja dan karya 
para mahasiswa 

21 Februari 2007: Diskusi Publik "Generasi Muda, Bangsa dan Dunia" 
(15.00-17.00) Diskusi santai yang menghadirkan pengamat dan praktisi dalam 
bidang sastra, bahasa, sejarah dan sosial kemasyarakatan ini akan mengungkapkan 
kaitan antara pemikiran-pemikiran Pramoedya dengan perkembangan bidang-bidang 
tersebut di masa kini.

Dengan kemampuanku membaca acara tersebut di atas,  tidak kudapatkan nama-nama 
pengamat dan praktisi yang akan berbicara. Yang menonjol dari acara di atas 
adalah pengangkatan "generasi muda". Bagaimana "generasi muda" mendapatkan 
ilham dari Pram serta bagaimana mereka memahami "pemikiran-pemikiran" Pram di 
"bidang sastra, bahasa, sejarah dan sosial kemasyarakatan" [Apa sih beda 
"sosial" dan "kemasyarakatan" sehingga kata-kata "sosial kemasyarakatan" 
digandengkan?. Pertanyaan ini aku ketengahkan karena  melihat penyelenggara 
simposium ini bukanlah orang awam dalam bahasa dan dunia akademi. Aku khawatir 
saja jika tidak menyertakan kata-kata asing, terasa kurang mentereng sebagai 
cerminan dari tersisanya -- kalau bukan dominasi -- suatu kompleks dan ujud 
dari kesukaan berorientasi ke negeri asing dalam dunia pemikiran dan 
mentalitas].

Memahami pemikiran seseorang kukira merupakan hal penting untuk mengenal 
seseorang. Usaha ini tidak terelakkan dari kegiatan mengenal lika-liku 
perjalanan pemikiran dan hidup seseorang itu sehingga menjadi jelas dalam 
konteks bagaimana pemikiran-pemikiran itu dilahirkan. Dengan demikian, ada 
kemungkinan melihat jelas apa keunggulan dan kelemahan seseorang -- dalam hal 
ini Pram.  Sehingga Pram bisa dilihat sebagaimana adanya Pram. Mendudukkan Pram 
di tempatnya yang layak dan bukan menjadi suatu mitos. Mitos adalah suatu 
penjara pemikiran.  Mempelajari seseorang, kukira, lebih bertolak dari maksud 
mendapatkan penyang pambelum [istilah Dayak Katingan: sangu spiritual dan 
pemikiran bagi menarungi kehidupan selanjutnya]. Mitos mengurung kita pada 
subyektivisme. Melihat masalah secara hitam-putih. Subyektivisme sering 
terjerat absolutisme [mutlakisme]. Tidak melihat hal-ikhwal dengan cara pandang 
"satu pecah jadi dua". Absolutisme cenderung membunuh daya kritis dan 
melahirkan dewa. Apakah negeri, bangsa dan kehidupan memerlukan dewa? Dewa 
adalah jalan pintas dari suatu ketidakberdayaan pikir yang mandeg dan "kosong", 
jika menggunakan istilah Alain Touraine , sosiolog Perancis dari l'Ecole des 
Hautes Etudes en Sciences Sosiales [l'EHESS], Paris.

Berada di tengah-tengah kegalauan sejarah menyusul pemutihan sejarah oleh Orde 
Baru, maka aku melihat penting hadir sertanya sebagai penyelenggara Studi Klub 
Sejarah Universitas Indonesia dan Jaringan Kerja Budaya.  Apalagi Jaringan 
Kerja Budaya dikenal dan memperkenalkan diri dan melalui kegiatan-kegiatannya 
memperlihat warnanya yang kritis dan khusus di dunia sejarah Indonesia 
kekinian. Rasanya, akan tidak mungkin memahami Pram secara relatif padan jika 
dilepaskan dari proses sejarah. Sastra Pram bukan sekedar masalah tekhnis 
menulis. Barangkali gaya penulisan Pram pun, sesungguhnya tidak lepas dari 
konteks sejarah dan keadaan sejarah pada waktu hidupnya. Dengan ini, yang ingin 
kukatakan bahwa mempelajari dan mengenal Pram, tidak terlepas dari mengenal 
sejarah kurun hidupnya.

Menelusuri rincian acara simposium di atas, dengan segala usaha aku mencoba 
mendapatkan di mana masalah "Anak Bangsa" di "Bumi Manusia"  Indonesia sebagai 
suatu bagian geografis ditempatkan. Dengan tema umum "Indonesia Dalam Bumi 
Manusia", terkesan padaku masalah "Anak Bangsa", anak manusia, di geografis 
"Bumi Manusia" bernama Indonesia, tidak ketahuan di mana tempatnya. Apakah ini 
suatu cara taktis menghindari "operasi kekerasan"  dari kalangan yang anti 
komunis yang sering menyerbut dan merintangi kegiatan-kegiatan akademis serta 
pencarian alternatif? Masalah "Anak Bangsa" di "Bumi Manusia" bernama 
Indonesia, kiranya tak bisa dilepaskan saat kita membicarakan masalah Pram, 
pemikiran dan lika-liku perjalanannya kesastrawanannya. Sampai saat simposium 
tentang Pram ini diselenggarakan atau tepatnya direncanakan untuk 
dilangsungkan, secara hukum, karya-karya Pram dan sejumlah karya-karya 
teman-teman  Lekra-n-a  masih dinyatakan terlarang.  Belum dicabut. 
Pertanyaanku: Apakah masalah pelarangan ini masih mau dipertahankan? Mengapa 
masalah pelarangan karya sastra, termasuk karya-karya Pram dan teman-teman 
Lekra-nya tidak diangkat oleh simposium? Benar, bahwa dengan beredarnya dan 
diterbitkannya karya-karya Pram dan orang-orang Lekra, diterbitkan dan beredar 
di masyarakat, tapi masalahnya: Di mana tempat hukum dalam masyarakat kita? 
Menulis dan menulis tidak pernah bisa dilarang oleh hukum. Di penjara dan pulau 
pembuangan pun para penulis tetap menulis, seperti halnya Tetralogi pualu Buru 
Pram -- lambang keperkasaan penulis dan anak manusia --ditulis.  Tapi hukum 
alias legalitas patut memperjelaskan diri dalam konteks memanusiawikan manusia, 
kehidupan dan masyarakat. Belum bisanya aku mendapatkan masalah ini dalam suatu 
simposium diselenggarakan oleh  lembaga-lembaga akademis/ilmiah menimbulkan 
tanda tanya tersendiri bagiku.  Ataukah para akademisi dan ilmuwan Indonesia 
menganggap masalah legalitas  ini bukan masalah penting dan mendesak bagi 
mereka? Jika demikian, maka sikap ini memperlihatkan kualitas serta apa-siapa 
dan bagaimana serta mau ke mana akademisi kita dewasa ini. 

Pertanyaan-pertanyaan ini akan mendapatkan jawaban kongkretnya di akhir 
simposium yang kuharapkan bahwa hasilnya pun oakan disebarluaskan oleh 
penyelenggara sebagaimana kegiatan ini disiarluaskan.***



Paris, Februari 2007

JJ. Kusni

[Selesai]




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke