Surat Dari Montmartre:
   
   
   
  MEMBELA FASISME 
   
   
  Front National [FN] di Perancis dikenal sebagai partai ekstrim kanan dan 
berkecenderungan neo-nazi dengan program notoriusnya: "lempar para imigran ke 
laut" dan "Le Français   d'abord" [Orang Perancis lebih dahulu], semboyan 
politik yang seakan merupakan varian dari judul lagu penyanyi kiri Perancis, 
George Brassen, "Les Copains d'Abord" [Teman Lebih Dahulu]. Ha, apakah kiri dan 
kanan, memang sering bertemu, terutama dari kalangan ekstrim sebab ekstrim 
adalah ujud beda dari subyektivisme? Akibatnya bukan tidak mungkin, hari ini 
muncul sebagai kiri, esok lusa tampil sebagai sangat kanan? Ekstrimitas tidak 
mengakui kebenaran ada pada siapa pun  yang lain kecuali pada dirinya sendiri. 
Ekstrimitas ini sering muncul pada maskulinisme, paternalisme, feodalisme, 
neo-feodalisme, militerisme dan otoritarianisme yang mempunyai pertalian 
keluarga.
   
   
  Tahun-tahun pertama aku datang  aku datang datang ke Perancis, dalam pemilu, 
FN hanya memperoleh nol persen. Pada tahun-tahun pertama kehadiranku di negeri 
ini , aku juga menyaksikan banyaknya corat-coret di tembok-tembok kota Le Pen, 
orang pertama  FN, diplesetkan menjadi "Le Penis". 
   
   
  Le Pen adalah mantan perwira para troop Perancis semasa Perang Kemerdekaan 
Aljazair. Tivi Perancis pernah mencoba menghadapkan Le Pen dengan 
pejuang-pejuang kemerdekaan Aljazair yang pernah dia turut siksa. Tapi tidak 
berhasil. Perang Kemerdekaan Aljazair telah membelah  Perancis jadi dua secara 
politik.  Charles de Gaulle , presiden pada waktu itu, akhirnya menyetujui 
kemerdekaan bagi Aljazair, juga Kamboja. Karena itu ada usaha pembunuhan 
terhadap Charles de Gaulle sebagaimana yang digambarkan dalam roman "Tulip 
Hitam", salah satu karya sastra yang mencerminkan situasi politik dalam sastra 
Perancis.
   
   
  Untuk menciptakan citra baru di depan publik, Le Pen mengobah cara bersisir 
dan cara tampil sebagaimana juga Jacques Chirac merasa perlu belajar ke Amerika 
Serikat untuk bagaimana tampil. Hanya saja penampilan, alias bungkus luar, 
tidak bisa menyembunyikan hakekat. Dalam hal penampilan ini, aku jadi teringat 
bagaimana di Indonesia, sering orang menilai seseorang dari penampilan. Untuk 
menghadapi keadaan ini,  aku sering tampil sangat keren, atau sangat ngelomprot 
di hadapan siapa pun termasuk para pejabat bahkan orang pertama lokal sebagai 
bentuk sinismeku secara penampilan, serta tak segan berkata tajam dan langsung. 
Bahkan menolak salaman. Akibatnya? Tentu saja aku tidak disukai. 
   
   
  Sejalan dengan perkembangan politik Perancis, program anti imigran FN 
mendapat pasaran, sehingga pada tahun-tahun selanjutnya FN rata-rata mendapat 
suara 15%, angka yang tidak kecil.  Bahkan tahun 2005 dengan kekalahan Lionel 
Jospin sebagai calon presiden Partai Sosialis, Le Pen sempat menjadi  lawan 
Jacques Chirac sebagai  calon presiden. Oleh kebencian rakyat Perancis pada 
fasisme dan neo-nazi, dalam ronde kedua pemilihan Le Pen kalah mutlak dari 
Chirac: 85:15%. Sebelum penyelenggaraan tahap kedua yang menentukan, di seluruh 
Perancis terjadi unjuk rasa besar-besaran menentang FN . Rakyat Perancis tak 
bisa melupakan kekejaman pendudukan fasisme Hitler pada masa Perang Dunia II. 
Kolaborator fasis Hitler, terus diburu dan diadili. Berdasarkan pengalaman 
Perancis ini, dan membaca sejarah dunia, aku tak khawatir bahwa para pelaku 
masakre dan komplotannya dalam Tragedi Nasional September 1965 dan 
Tragedi-Tragedi lainnya di berbagai daerah,  bakal luput dari gugatan sejarah.
 Jika tidak pada generasi sekarang, generasi berikut dan berikutnya serta 
berikutnya lagi akan melakukannya. Aku percaya nilai kemanusiaan dan keadilan 
tidak akan dikorbankan oleh yang merasa diri manusia. Aku pernah membaca sebuah 
buku yang mengangkat soal masakre beberapa abad silam.  Ini menambah 
keyakinanku untuk tidak khawatir bahwa kejahatan anti kemanusiaan akan 
dibiarkan sekali pun pelakunya sudah tiada. Manusia yang manusiawi akan tetap 
ada di negeri ini, yang betapa pun runyamnya masih tetap bisa menjadi tempat 
berharap dan menyuburkan mimpi.  Adanya manusia di negeri nampak dari tuturan 
tertulis banyak saksi yang dibuang ke Pulau Buru, di berbagai penjara saat 
negeri diobah jadi negeri penjara dan kuburan oleh Orba. 
   
   
  Di kalangan masyarakat Perancis memang pernah ada usul agar membubarkan FN 
sebagai partai politik. Terhadap usul ini, mayoritas rakyat, organisasi massa 
dan partai politik menolaknya karena tidak sesuai dengan nilai-nilai 
republiken: "liberté, égalité et fraternité" [kemerdekaan, kesetaraan dan 
persaudaraan]". Dengan konsep ini, maka mayoritas yang menolak pembubaran FN 
berpendapat bahwa untuk melawan FN harus menggunakan cara-cara republiken. 
Pembubaran bukan cara -cara republiken. Pendapat dihadapi dengan pendapat, 
argumen dihadapi dengan argumen, program diadu dengan program. Pembubaran FN 
dipandang sebagai cara a-demokratis.
   
   
  Dengan cara-cara inilah maka dalam pemilu 2007, Sarkozy, presiden Perancis 
yang sekarang, bisa menyudutkan FN. Tapi sekaligus mengambil politik imigrasi 
dari FN dan sekarang ia laksanakan dengan mengusir ribuan dan ribuan para 
imigran, terutama para imigran gelap dari Afrika. Ketika melihat cara 
pengusiran para imigran yang bekerja di Perancis yang ditayangkan oleh tivi, 
ngenes juga rasanya. Bagaimana tidak ? Mereka yang diusir, sebelum diusir 
dimasukkan di penjara bandara, lalu digiring hingga pesawat. Bahkan ada yang 
kaki tangan mereka diikat dan dilakban oleh polisi.  Menyaksikan politik 
imigrasi Sarkozy sebagai presiden dan pengaruh politik dari politik imigrasi 
FN, Frédéric Martel,  peneliti dan pengajar pada Universitas Science-Po Paris, 
penulis buku "De La Culture en Amérique" [edition Gallimard, Paris], setengah 
menyepakatai konstatatasi Majalah Time [November 2007] bahwa "kebudayaan 
Perancis mengalami kemerosotan"  [yang di kalangan sastrawan-seniman dan
 budayawan sekarang ramai didiskusinkan]. Lebih lanjut Frédéric Martel 
mengatakan bahwa Perancis "Seharusnya memberi makna pada imigrasi. Oleh 
dinamisme mereka. Mereka telah memberikan pembaharuan pada kebudayaan kita" 
[Lihat: Le Magazine Littéraire", Paris, No. 472, Februari n2008, hlm. 22-23].  
Apa yang dilakukan oleh Frédéric Martel, kukira bisa dipahami sebagai bentuk 
tanggungjawab cendekiawan kepada masyarakat dan kesadaran akan peran 
cendekiawan yang di Perancis sejak lama memang berperan dan berpengaruh. 
Revolusi Perancis Juli 1789, misalnya bermula dari ide para cendekiawan yang 
mampu membaca zamannya. 
   
   
  Sekarang, posisi FN menjadi semakin tersudut dengan pernyataan-pernyataan Le 
Pen yang membuatnya dijatuhi hukuman kurungan tiga bulan atau tebusan 10.000 
euros. Hukuman yang dijatuhi pengadilan negeri ini bermula dari pernyataan Le 
Pen di majalah Rivarol bahwa "pendudukan Jerman  bukanlah sesuatu yang sangat 
tidak manusiawi". Pengadilan Negeri Perancis menganggap pernyataan ini  sebagai 
usaha komplotan  memalsu sejarah dan memaafkan kejahatan  perang serta 
kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal yang secara undang-undang republiken 
terlarang , sama halnya dengan tindakan dan pikiran-pikiran rasis. Sebenarnya 
apa yang dikatakan Le Pen ini sejajar dengan usaha partai berkuasa yang 
berusaha mengundang-undangkan bahwa "kolonialisme itu berjasa", rencana 
undang-undang yang menimbulkan badai protes di Perancis serta negeri Afrika 
hingga akhirnya Chirac sebagai presiden terpaksa menghapus alinea rencana 
undang-undang ini. 
   
   
  Sebelum pernyataan ini, Le Pen juga pernah mengatakan pada 1987 bahwa  "kamar 
gas adalah  sebuah titik rinci sejarah Perang Dunia II" [Lihat :Harian 
Libération, Paris, 9-10 Februari 2008]. Oleh pernyataan terakhir ini, Le Pen 
dijatuhi hukuman berkali-kali oleh Pengadilan Negeri Perancis dan bahkan juga 
oleh Parlemen Eropa.  Le Pen dijatuhi hukuman berkali-kali oleh Pengadilan 
Perancis karena pembelaannya pada kejahatan fasisme Hitler. Pembelaan dan 
penyangkalan seriusnya kejahatan fasis Hitler ini di Perancis  dikenal dengan 
sebutan pandangan"revisionis". Merevisi kenyataan dan pandangan yang diketahui 
umum.
   
   
  Adakah relevansi kasus Le Pen ini dengan Indonesia?  Barangkali pertanyaan 
ini bisa dijawab dengan pertanyaan: Pernah adakah dan adakah fasisme di 
Indonesia? Kemudian jika pernah ada atau masih ada sisa-sisanya, lalu bagaimana 
sikap kita pada fasisme, undang-undang fasistis dan non republiken yang 
dijubahi dengan merek republik dan Indonesia. Nilai apakah yang masih dominan 
di Republik Indonesia sampai hari ini dan bagaimana sikap kita? 
   
   
  Ketika mengangkat kasus Le Pen ini,  maka yang ada di benakku adalah 
pertanyaan: Apakah ada di negeri kita, orang yang membela fasisme dan 
militerisme yang ternyata di mana pun sangat berdarah? Adakah budayawan, 
sastrawan-seniman fasistis dan militeris atau berkomplot dengan mereka dan 
hilang prinsip oleh fasisme dan militerisme? Dalam sejarah sastra Perancis, ada 
tipe ini, tapi tetap diakui sebagai sastrawan Perancis oleh penulis-penulis 
sejarah sastra karena kesetiaan sejarawan pada kenyataan. ***
   
   
  Paris, Musim Dingin 2008
  -----------------------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia Paris.

       
---------------------------------

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke