Surat Kembang Gunung Purei:

"UNTUK APA BELAJAR FILSAFAT?"


3.

Barangkali,  pengalaman Sylvie Tur dalam  menerapkan pengajaran filsafat untuk 
anak-anak berusia 5 tahun, ada gunanya disimak secara singkat sebelum  kemudian 
juga secara sepintas melihat apa bagaimana  isi mata pelajaran filsafat di 
"terminales" sebagai acuan  bagi kita.

Kegiatan  seminggu sekali ini  yang disebut oleh Sylvie sebagai "Sanggar 
Filsafat" [l'atelier de philosophie] untuk anak-anak,  menggunakan ruang kantor 
perpustakaan Sekolah Taman Kanak-kanak Eliet-Santoni. Seluruhnya ada 25 bocah 
yang secara teratur mengikuti kegiatan-kegiatan Sanggar. 

Saban memulai kegiatan, Sylvie, guru yang berusia 47 tahun ini, mengajak 
bocah-bocah asuhannya  menggosok mata, pipi  dan leher dengan tangan 
masing-masing. Menggerakkan lidah ke atas dan ke bawah berkali-kali.  Anak-anak 
duduk di lantai membentuk lingkaran. Mungkin upacara begini, dimaksudkan untuk 
membebaskan diri anak-anak dari kekakuan secara psikhologis melalalui gerakan 
jasmani. 

Ketika Sylvie memulai "kursusnya" suasana tiba-tiba jadi hening. Hening penuh 
perhatian. Tak terdengar suara anak-anak yang riuah ketika Sylvie berkata:

"Anak-anak. Kita berkumpul di sini untuk belajar filsafat. Untuk merenungkan 
soal-soal yang dihadapi manusia  sejak amat lama. Tentu saja, tidak semua orang 
diharuskan berbicara, kalau memang tak ada yang ingin dikatakan.  Dan saya 
tekankan pada anak-anak bahwa ketika kalian berbicara, buang rasa khawatir atau 
takut bahwa apa yang kalian ucapkan itu salah. Dalam mememberi jawaban terhadap 
persoalan, tidak ada jawaban baik dan buruk untuk tingkat kita sekarang"  

"Sekarang yang ingin saya tanyakan kepada anak-anak sekalian, jika kelak kalian 
sudah besar, apakah kalian bisa melakukan apa saja sekehendak kalian sendiri?", 
lanjut Bu Guru. Setelah sang guru selesai berbicara maka segera nampak beberapa 
tangan mungil, polos dan gairah,  mengacung ke atas, menyampaikan beberapa 
jawaban tanpa keraguan sedikit pun, seperti antara lain:

"Kelak, kalau saya besar, saya akan jadi penertba  jet", "Kalau saya besar maka 
saya bisa tidur di rumah teman dan menonton filem sampai larut malam", "Tentu 
saja kita tidak bisa berbuat sekehendak diri kita. Kita tidak boleh mencuri, 
kita tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak menjadi hak kita...".  

Karena banyaknya anak-anak yang mengacungkan tangan minta berbicara, maka 
pengeras suara tangan diedarkan dari tangan ke tangan secara tertib. Anak-anak  
nampak sangat menikmati suara mereka dari pengeras suara itu bergaung mengisi 
ruangan.  Dan bu guru serta teman-teman se"sanggar" mendengar yang 
masing-masing ucapkan dengan tertib serta sungguh-sungguh. Dari mata mereka 
terpancar cahaya kebanggaan bocah merasa dihargai. 

Yang menarik juga bahwa sesudah masing-masing mengutarakan bayangan keinginan 
mereka setelah menjadi besar, mereka saling mendebat dengan tertib. 
Mengetengahkan alasan-alasan masing-masing jika mereka rasakan ada sesuatu yang 
tidak sesuai.

Sudah dua tahun lamanya Sylvie Truc menyelenggarakan "L'atelier de philosophie" 
ini, bekerja sama dengan Carole Calistri, penanggungjawab pertama Departemen 
Bahasa pada Intistut Universiter Pendidikan Guru [L'Institut universitaire de 
formation de Maîtres] Nice.

"L'Atelier ini memungkin anak-anak belajar berpikir dan berbicara mengenai 
masalah-masalah yang paling menyentuhnya. Para ahli mengetahui bahwa sejak usia 
tiga tahun, sudah mulai menanyai hal-hal yang sangat mendasar. Pertama-tama 
tentang kematian mereka sendiri", tutur akademisi dari Nice ini. Ketika 
anak-anak lain mereaksi percakapan teman-temannya maka di sinilah terbuka ruang 
untuk mengembangkan kemampuan mereka berbahasa. Karena itu saban pertemuan, 
maka kesempatan begini merupakan dirasakan oleh anak-anak sebagai ruang besar 
yang bisa memberikan tempat bagi mereka berkembang dan dihargai.

Sejalan dengan pandangan Carole, Sylvie pun menggarisbawahi bahwa "l'atelier de 
philosophie" memang berfungsi  "mendorong perkembangan bahasa, kepercayaan diri 
dan keberanian berbicara serta kemampuan mendengar orang lain". Dengan fungsi 
begini maka sang guru tidak menyela [ la non-intervention] pembicaraan dan 
diskusi anak-anak, sebagai suatu prinsip. Prinsip "la non-intervention" ini 
telah diketengahkan  oleh psychanalis Perancis  Jacques Levine yang memang 
telah membangun dasar ide penyelenggaraan "l'atelier" ini. "Cukup hanya 
menjadikan murid dan anak-anak hanya jadi pendengar pasif", ujar Sylvie. 
Artinya jangan lagi membuat anak-asuh sebagai obyek, tapi perlakukan mereka 
sebagai anak manusia, sekali pun mereka masih kanak-kanak.  Dengan cara ini 
maka sekolah atau l'atelier tidak memberikan penilaian apa pun berbentuk 
"rapor".  "Yang terpenting adalah mengembangkan kekayaan dan kemungkinan 
potensial pikiran pada anak-anak".

Dalam hal ini  peranan dan prakarsa besar tentu saja dimainkan oleh sang guru 
atau pendidik. Berhasil tidaknya l'atelier yang dipimpin oleh Sylvie tidak 
ditentukan oleh apakah l'atelier ini berhasil mengajarkan filsafat, dalam arti 
harafiah, pada anak-anak, tetapi seperti dikatakan di atas, bagaimana mendorong 
perkembangan bahasa, keberanian berpikir dan berbicara pada anak-anak. 
Bagaimana mereka mampu mengutarakan pendapat dan berargumentasi. Belajar  
mendengar orang lain.

Tema yang disodorkan sebagai subyek diskusi anak-anak, memang dipilih secara 
cermat.  Tapi sekali pun demikian, ketika anak-anak sudah berani berpikir dan 
berbicara, merasa bebas di forum "l'atelier" terkandung memang resiko seperti 
kita sedang membuka kotak "Pandora".

Sebagai contoh. Pernah Sylvie mengajak anak-anak mendiskusikan pertanyaan di 
sekitar: "Mengapa kita mesti makan?".  

Bagaimana jawaban anak-anak "sanggar"?

Terhadap pertanyaan ini ada anak yang menjawab: "Karena Tuhan lah yang 
menghendaki kita makan!"

Mendengar pendapat ini bu guru secara terpaksa melakukan intervensi dengan 
mengatakan: "Baik, jika ada   yang berpendapat demikian, tapi pihak ini pun 
hendaknya mau mendengar pendapat teman-teman lainnya yang sama sekali berbeda 
atau tidak sepakat".  

Waktu itu Sylvie terpaksa melakukan intervensi karena Carole Calistri 
sebelumnya sudah menetapkan agar dalam diskusi anak-anak, hendaknya dihindari 
soal-soal yang menyentuh soal keluarga atau agama.

Tapi ketetapan umum adalah ketetapan umum. Petunjuk adalah petunjuk sementara 
keadaan kongkret lebih bervariasi. L'atelier suka tidak suka menghadapi masalah 
agama dan keluarga yang dimunculkan oleh anak-anak ketika mereka sudah berani 
berpikir, berbicara dan bahasa mereka makin berkembang.  

Yang juga dihadapi oleh Sylvie adalah dampak perbedaan strata sosial pada diri 
anak-anak. 

Karena itu, pengalaman praktek Sylvie Truc dengan "l'atelier de philosophie" 
nya sekarang menjadi bahan kajian dan diskusi di kalangan para pendidik 
Perancis, barangkali untuk ditingkatkan ke taraf teori sekaligus penyimpulan. 
Teori dilahirkan oleh kenyataan praktek. Sebab di samping ada metode Jacques 
Levine, yang dijadikan dasar melakukan kegiatan l'atelier, masih ada metode 
alternatif lain seperti yang ditawarkan oleh Matthew Lipman dari Amerika atau 
pakar-pakar dunia pendidikan  Perancis lainnya, seperti Anne Lallane dan Michel 
Tozzi. 

Lepas dari pandangan teori dan filosofis mana yang dijadikan dasar kegiatan, 
yang jelas padaku, bahwa Perancis sejak dini sekali, menyiapkan generasi 
manusia dan warganegara  Perancis yang setia serta mengkhayati motto Revolusi 
Perancis 1789: "liberté, égalité et fraternité", rincian dari nilai-nilai 
republiken.  Sadar akan apa yang disebut menjadi warga negara Republik dan 
Perancis.

Dengan lahirnya suatu angkatan sadar akan hak dan wajibnya, sadar akan arti 
diri sebagai warganegara sebuah Republik dan orang Perancis, kukira, boleh 
jadi, kesadaran begini akan menjadi benteng tangguh bagi kemanusiaan dan 
nilai-nilai republiken serta keperancisan itu sendiri. Kesewenangan diktatorial 
akan terpojok, apalagi militerisme akan tak dapat tempat. 

Aku jadi sangat ingin mendengar dan tahu, jika keadaan begini dirobah menjadi 
kalimat tanya, dan diajukan  kepada warga negara Republik  dan orang Indonesia, 
 terutama angkatan sekarang. 

Terakhir, aku mencoba  memperlihatkan apa yang dipelajari siswa-siswa 
"terminales" tentang filsafat.

Paris, Juli 2006.
---------------------
JJ. Kusni


[Bersambung....]

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Check out the new improvements in Yahoo! Groups email.
http://us.click.yahoo.com/6pRQfA/fOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke