Surat Kembang Kemuning: 
   
  "LA RENTREE LITTERAIRE" BULAN JANUARI 2007
   
   
  Adalah suatu kebiasaan di Perancis, untuk menyertai orang-orang yang 
berangkat berlibur panjang, harian-harian nasional menyediakan ruangan sastra 
berbentuk puisi, reportase, cerpen dan roman atau novel. Sedangkan 
penerbit-penerbit, menerbitkan buku-buku saku [pocket books size], dengan harga 
sangat murah, sebagai sangu berlibur mereka. Sastra, di negeri ini, bisa 
dikatakan,  sudah merupakan keperluan hidup. "Makanan" keseharian jiwa dan 
pikiran warganegara. Maka bukanlah kebetulan,  apabila kita melihat 
"gelandangan" yang tidur di emper-emper gedung kota, di sampingnya ada tumpukan 
buku dan se gelandangan mengantar tidurnya dengan membaca roman atau novel. 
Tidak mengherankan pula, apabila di place [halaman taman] para gelandangan 
menjual buku-buku roman atau novel terpilih yang disumbangkan kepada mereka 
oleh orang-orang tak dikenal [les inconnu/es] sebagai ujud solidaritas sosial.
   
  Sehubungan dengan ini, kukira, adalah hal menarik cerita seorang insinyur 
Perancis yang pernah turut bekerja membangun Jatiluhur. Insinyur ini nikah 
dengan seorang perempuan desa Pasundan. Pada suatu hari, ia datang ke 
Indonesia, dan menanyakan apakah ia kenal dengan Pramoedya A. Toer. 
Keponakannya yang baru belajar di SMU menggelengkan kepala. Sang insinyur 
menanyakan soal-soal sastra Indonesia kepada keponakannya, yang membuat si 
keponakan terbingung-bingung. "Bagaimana mungkin kau memahami sejarah dan 
keadaan masyarakat Indonesia, jika kau tidak membaca karya-karya sastra?" tanya 
sang insinyur.  "Sejarah dan keadaan masyarakat kan soal politik, Oom", jawab 
si keponakan. Sang insinyur menjelaskan kepada keponakan Indonesianya bagaimana 
sastra dipelajari sejak usia dini di  Perancis. Untuk mengenal sejarah dan 
perkembangan  masyarakat Perancis  di Perancis adalah suatu keniscayaan bagi 
para siswa membaca Honoré de Balzac, Victor Hugo, Emile Zola, Flaubert, Sartre, 
dan
 lain-lain....  Akhirnya tanpa banyak cingcong lagi, si paman Perancis, 
mengajak keponakannya ke tokobuku dan memborong buku-buku sastra, terutama 
karya-karya Pramoedya. "Kau harus baca ini semua", ujar sang paman. 
   
  Dari cerita insinyur dan keponakannya ini, yang kutangkap adalah adanya 
masalah dalam pengajaran sastra serta pemahaman dominan tentang sastra itu 
sendiri.  Sastra dipandang sebagai sesuatu yang tak ada tautannya dengan 
soal-soal kemasyarakatan -- apalagi yang disebut politik. Apakah pengertian 
dominan begini, berkaitan dengan politik depolitisasi selama ini, ataukah   
berhubungan dengan konsep yang dinamakan sastra.  Atau kedua-duanya. Sedangkan 
di negeri ini, di Perancis, dibentuk oleh sejarahnya, sastra nampak benar 
menjadi suatu keperluan yang tak bisa tidak ada.  Hampir tak ada terusan tivi 
yang tidak mempunyai ruangan apresiasi sastra dan buku. Acara-acara kuiz pun, 
tidak sedikit yang dihubungkan dengan soal pemeliharaan bahasa dan sastra.  Di 
dalam siaran-siaran inilah buku-buku dibahas bersama para pengarangnya. 
Diperdebatkan. Dituturkan proses penulisannya. Sehingga dengan mengikuti 
siaran-siaran tersebut, pemirsa ditingkatkan apresiasi sastra mereka.  Dampak
 ekonomi dari siaran-siaran ini adalah menjadi lakunya karya-karya tersebut 
sehingga pengarang dapat hidup dari royalties dan bisa menjadi pengarang 
profesional: hidup dari karya-karyanya.  Adanya apresiasi sastra-seni yang 
tidak rendah begini, ditunjang oleh cara pengajaran sastra di sekolah-sekolah 
dan daya beli yang padan, telah membentuk basis sosial yang menunjang kehidupan 
sastra. Dengan basis sosial sastra yang begini, maka di negeri ini, penulis  
[l'écrivain] mempunyai  kedudukan terhormat. Dihargai. Pada zamannya: Jean-Paul 
Sartre dipandang sebagai jiwa Perancis. Aimé Cesaire, disebut sebagai jiwa 
rakyat Guadaloupe dan Martinique. Sebagai "jiwa rakyat" tentu saja 
penulis-penulis itu mempunyai pengaruh dalam masyarakat dan dihitung oleh siapa 
pun. Termasuk pemerintah. Aimé Cesaire, misalnya mampu menghalang kedatangan 
menteri dalam negeri Sarkozy ke Gualoupe dan Martinique, ketika pemerintah 
Paris mencoba membuat undang-undang yang mengatakan "kolonialisme berjasa".
  
   
  Guna memacu kegiatan tulis-menulis, berbagai hadiah diberikan, seperti Hadiah 
L'Académie Goncourt [Prix Gouncourt], l'Académie Française, Prix Femina, Prix 
de Medici, dan lain-lain... Hadiah-hadiah ini selain memacu kreativitas dan 
punya arti ekonomi, ia pun langsung tidak langsung berperan dalam menciptakan 
ukuran nilai karya. Karena masing-masing membuat patokan yang tidak sama dan 
ditetapkan secara sadar. Prix Goncourt, misalnya, mempunyai patokan bahwa 
melalui hadiah simbolik, ia bermaksud mengorbitkan   penulis-penulis baru ke  
dunia sastra Perancis. Untuk tahun 2006, l'Académie Goncourt mengorbit Paule 
Constant dengan karyanya  "La Bête à chagrin". 
   
  Basis sosial kehidupan sastra begini pula, telah memungkinkan produksi karya 
dan penerbitan-penerbitannya berkembang.  Produksi karya-karya nampak menonjol 
setelah liburan panjang musim panas atau musim dingin atau akhir tahun seperti 
sekarang. Saat begini disebut "la rentrée" [mulainya kegiatan].  La rentrée 
littéraire , Januari 2007 akan menyuguhkan dunia sastra Perancis dengan 353 
roman asli,  189 roman terjemahan dan 49 buku esai sastra dari Amerika Serikat, 
 Jepang, Jerman, Spanyol dan Inggris. Kecuali itu, la rentrée littéraire 
Januari 2007 nanti juga akan disemaraki oleh tulisan kenangan [Les Mémoires], 
yang disamping sastra perjalanan, di sini dipandang sebagai genre sastra 
tersendiri.  Menggarisbawahi arti Mémoire ini, sejarawan Perancis Alain Decaux, 
berkomentar: "Apa jadinya sejarah jika tanpa Mémoire?". Sedangkan esai-sastra 
yang terbit pada "rentrée Januari 2007" berkisar di sekitar tema peranan sastra 
dan esai-esai filofosofis, di antaranya karya-karya
 François Julien, Salvoj Zizeki, Tzvetan Todorov, François Bégaudeau [yang 
membela sastra engagé], dan lain-lain...
  Dari segi kuantitas, rentrée littéraire tahun depan menurut Harian Le  
Figaro, Paris, [28 Desember 2006] merupakan  "rentrée littéraire" terkuat 
sesudah "rentrée littéraire" bulan September 2006, seusai musim panas. 
   
  Kemudian sebuah tim juri ahli alias pakar,  akan memilih dari  jumlah itu,  
karya-karya tahunan terbaik untuk diberikan hadiah. Barangkali keadaan ini yang 
disebut, kuantitas akan melahirkan  kualitas. Kuantitas dan kualitas ini tumbuh 
berbarengan dan dimungkinkan oleh adanya keleluasan mencipta. Tanpa ancaman 
dalam  bentuk apa pun dan dari mana pun. Ada kulihat di sini: keadaan "biar 
bunga mekar bersama, seribu aliran bersaing suara" yang membuat dunia sastra 
berkembang semarak.*** 
   
  Paris, Desember 2006
  -----------------------------
  JJ. Kusni

 Send instant messages to your online friends http://asia.messenger.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke