Lukisan Wen Peor ditahun 1954, menggambarkan penderitaan dan kemarahan seorang nenek diberanda rumah yang hancur akibat "Agresi ke-2 Belanda" tahun 1947. Lukisan Wen Peor ditahun 1991, dengan tema "Obar Harapan". Sebagai satu harapan terbaik atas Kemerdekaan RI dengan penuh warna-warni keindahan.[Sumber: HKSIS, Tuesday, March 27, 2007 5:37 AM]. Surat Sutera Putih: MENYERTAI KEPERGIAN PELUKIS WEN PEOR [3] Apabila aku mengatakan hal ini, kuharapkan aku tidak ditafsirkan sebagai mengutarakan pendapat bahwa aku menyangkal pengaruh budaya etnik, bangsa dan negeri di mana kita dilahirkan, mungkin juga dibesarkan dan didewasakan, terhadap seorang seniman. Dengan ini, Anggi, kita sampai ke masalah pengaruh dan peran budaya lokal dalam kaitannya dengan suatu karya sastra-seni nasional serta internasional, jika mau mengambil lingkup lebih besar lagi. Zaman remaja Yogya, aku sering sekali bermain di sanggar-sanggar Pelukis Rakyat [PR] yang terletak di Sentul menghadapi sebuah sungai kecil dan bentang sawah di mana burung-burung bermain leluasa. Sanggar PR ini kami gunakan sekaligus sebagai tempat latihan drama. Di dinding-dinding sanggar, tergantung lukisan para pelukis penghuninya, antara lain Batara Lubis. Kekhususan Batara yang sangat melekat di ingatanku bahwa lukisannya yang banyak bersifat ornamen sangat kuat ciri Tapanuli, daerah asalnya. Ingatan pada Batara serta-merta mengapung di mata kenangku begitu melihat foto-foto lukisan Wen Peor yang disiarkan oleh [EMAIL PROTECTED] dalam rangka mengenang Wen. Sebab dari lukisan-lukisan Wen ini aku melihat pengaruh budaya Tionghoa, etnik asal pelukis, baik dalam pemilihan warna mau pun dalam bentuk anatomi tokohtokohnya seperti nampak pada lukisan bertemakan "Agresi Ke-2 Belanda" tahun 1947 [1954] dan lukisannya "Obar [Obor?!] Harapan" [1991]. Pengaruh budaya Tionghoa dalam lukisannya "Obor Harapan" antara lain nampak dari taburan kembang api dan warna-warna cerah. Dan kalau pemahamanku benar, dalam budaya Tionghoa, harapan biasa diungkapkan dengan warna-warna cerah. Tradisi kembang api pun, kukira tidak luput dari latarbelakang ini juga. Pengaruh budaya lokal dan etnik asal ini juga terdapat pada lagu-lagu karya Udin, pemimpin Ansambel Tari-Nyanyi "Maju Tak Gentar", ansambel paling terkemuka pada masa pemerintahan Soekarno, dan menjadi ansambel kesayangan Bung Karno. Apabila kita mendengar karya-karya Udin, serentak kita akan mendengar irama lagu-lagu Tiongkok, walau pun tidak menjadi melodi dominan. Dalam puisi, pengaruh lokal dan budaya etnik asal, dengan mudah kita dapatkan pada puisi-puisi Rendra, terutama puisi-puisinya yang terkumpul dalam antologi "Balada Orang-orang Tercinta". HB Jassin, melalui majalah-majalah sastra yang beliau pimpin, misalnya Kisah, Sastra dan Cerita, sangat memperhatikan warna daerah ini. Dengan kebijakan begini, HB Jassin menampilkan nama-nama seperti A.D. Donggo, Indonesia O Galelano, Gerson Poyk, Hijaz Yamani, Yusach Ananda, Poppy Hutagalong, Bokor, dan lain-lain... Dengan kebijakan begini, keanekaragaman Indonesia, tercermin di sastranya. Apakah dengan kebijakan begini, HB Jassin sadar menggali kebudayaan lokal dan etnik, serta menolak dominasi serta sentralisme nilai oleh mayoritas, sesadar penganjur "sastra-seni kepulauan" yang didorong kuat, antara lain oleh Halim HD dan kawan-kawannya sekarang. Kalau pun apa yang sudah dilaksanakan oleh HB Jassin dilakukan secara instingtif, tapi ia merupakan janin usaha dan ide yang kukira layak dipertimbangkan ulang sesuai dengan konsep keindonesiaan dan republiken. Apalagi dengan tersebarnya lembaga-lembaga pendidikan tinggi di seluruh wilayah Republik Indonesia, adanya kemudahan-kemudahan tekhnologoi yang jauh berkembang dibandingkan masa silam, desentralisasi nilai dan kegiatan makin mempunyai syarat perujudannya. Budaya lokal dan etnik, kukira merupakan salah satu sumber dasar kreativitas yang seniscayanya diperhatikan dan dihitung. Karena dari situlah putera-puteri negeri ini mula-mula lahir dan mendewasa. Budaya lokal dan etnik, menurut Paul Ricoeur, merupakan bahasa suatu bangsa dan atau etnik untuk berdialog dengan budaya lain guna mengembangkan diri. "Budaya itu majemuk, kemanusiaan itu tunggal", lanjut Paul Ricoeur alm. Dominasi dan sentralisasi, kiranya sesuai dengan keragaman yang merupakan watak kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan yang merupakan jawaban angkatan demi angkatan terhadap tantangan zamannya. Dominasi dan sentralisasi menghilangkan ciri kebudayaan seperti yang dikatakan oleh Paul Ricoeur dan menjauhi tujuan republiken dan berkeindonesiaan. Jika hal begini terjadi maka yang terjadi dan berkembang bukanlah kebudayaan tapi suasana dan iklim anti kebudayaan yang tak terelakkan akan menjadi anti kemanusiaan. Wen Peor meninggalkan Indonesia, negeri kelahirannya menyusul Tragedi Nasional September 1965, kukira disebabkan oleh adanya iklim anti kemanusiaan dan anti kebudayaan juga adanya. Dampak dari iklim anti kebudayaan dan kemanusiaan inilah yang kita rasakan sampai sekarang dan mengancam negeri ini. Negeri yang dikelola oleh penyelenggara kekuasaan anti kebudayaan dan kemanusiaan tidak pernah mampu menghargai potensi putera-puterinya yang mencintai negeri dan kemanusiaan, hanya mampu menghalau dan membunuh para pahlawannya berkali-kali. Jika kebudayaan suatu angkatan merupakan jawaban tanggap dan aspiratif terhadap tantangan zaman, maka aku khawatir, Indonesia sekarang masih berada di tingkat yang belum berbudaya dan berkemanusiaan petunjuk bahwa negeri ini sedang berproses menjadikan dirinya sebagai republik dan berkindonesiaan, sebuah mimpi mulia dari para pendiri Republik Indonesia. Wen Peor meninggal di Hong Kong dan bukan di negeri kelahirannya, aku kira, bukan pilihan nuraninya tapi hasil perhitungan nalar dipaksakan oleh suasana negeri kelahirannya yang masih belajar berbudaya dan memanusiawikan diri. Jika menggunakan istilah Carlos Liscano, pengarang Uruguay, kematian merupakan salah satu diskursus [le discours] diktaturialisme. Dan meninggalnya Wen Peor di luar negeri kelahirannya, barangkali bisa dilihat sebagai contoh pembuktian dari kata-kata Carlos dan betapa kata-kata George Steiner bahwa "Sampai pada kematian pun, bahasa masih saja terus berbohong". Wen Peor adalah kisah perjalanan seorang seniman sebagai warga republik berdaulat sastra-seni, kisah perjalanan menyetiai mimpi atau cinta. Bahwa cinta bertaruhkan kepala. Wen Peor sudah pergi, tapi karya-karya yang menyimpan mimpi dan cintanya masih bersama kita, juga jejak cinta manusiawinya tak akan pupus. Jika memberi varian pada komentar Ida Khouw, "E'en death's colod wave I will not flee" , maka kematian sekali pun tidak bisa menghapuskan jejak setia cinta Wen Peor. *** Paris, April 2007 ---------------------- JJ. Kusni [Selesai] Surat [Non-text portions of this message have been removed]