Pendidikan menunggu Dehidrasi tingkat tinggi ...
Air mata, takkan ada yang tersisa untuk dikeluarkan ...

Jadi ingat sebuah IKLAN TV !!!
Untuk mendapatkan Pendidikan yang baik harus mengisi koin sekarung ....

-----Original Message-----
From: Ambon [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
 
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/04/opini/1865169.htm

 
Kapan Kita Berhenti Menangis? 

Oleh: Riswandha Imawan



Kabar banyak siswa tak lulus ujian akhir nasional 2005 memprihatinkan
kita. Siapa pun, selama masih memiliki nurani, akan menangis mengetahui
sejumlah sekolah tidak mampu meluluskan satu pun siswanya. Apa yang
salah? Begitu bodohkah calon pemimpin bangsa?


Kisah pendidikan di Indonesia penuh air mata, mulai dari desakralisasi
guru, bangunan sekolah runtuh, eksperimen kurikulum yang tak jelas
arahnya, hingga degradasi mutu. Semua bermuara ke realita rendahnya
apresiasi pemerintah terhadap pendidikan dibandingkan dengan bidang
lain, semisal ekonomi.

Nilai strategis

Tak diragukan nilai strategis pendidikan terhadap peningkatan kualitas
individu maupun bangsa. Melalui Restorasi Meiji, Jepang mengirim tenaga
muda berbakat belajar ke Eropa dan Amerika. Para lulusan menjadi aktor
peningkatan kualitas pendidikan di negaranya. Metode ini juga dilakukan
oleh Malaysia, Thailand, dan Singapura. Bahkan hingga pertengahan tahun
1970- an, Malaysia masih mengimpor guru dari Indonesia dan mengirim
pelajarnya belajar di beberapa universitas di Indonesia.

Terlihat ada grand design masa depan bangsa, dan pendidikan digunakan
sebagai wacana pencapaian. Bila dibalik cara membacanya, kesemrawutan
pendidikan terjadi akibat tidak jelasnya (bahkan tidak adanya) grand
design yang hendak dicapai.

Ketidakjelasan ini bisa kita lacak. Dipahami, pendidikan yang merupakan
tanggung jawab bersama mulai direduksi hanya menjadi tanggung jawab
guru. Bila diyakini, anak adalah titipan Tuhan, tanggung jawab
pendidikan terutama ada di pundak orangtua. Dan guru merupakan
representasi orangtua. Penghormatan murid kepada guru harus sama dengan
penghormatan mereka terhadap orangtuanya.

Di sini repotnya. Dari sisi ekonomi, kondisi para guru tidak bisa
disamakan dengan keluarga mayoritas murid. Bila dikaitkan dengan
merebaknya budaya konsumerisme di masyarakat, dengan mudah mengerdilkan
sosok guru di depan muridnya.

Ada ketentuan di negara maju, bila ke sekolah, murid wajib menggunakan
bis sekolah. Suasana gembira dan kebersamaan dimulai sejak berangkat
dari rumah. Situasi ini pernah kita rasakan tahun 1950-1960-an saat
seragam belum diwajibkan.

Orang berkomentar, "Saat itu pembangunan belum ada, konsumerisme juga
belum ada." Benarkah? Negara maju juga dikepung konsumerisme, tetapi
mereka bisa menjaga kualitas pendidikan. Kuncinya, pemerintah berhasil
merancang sistem yang membuat aktivitas bersekolah menjadi kegiatan
menyenangkan, tidak menegangkan.

Coba simak. Berapa sekolah yang steril dari konsumerisme? Sekolah yang
semula ideal untuk belajar, kini dikepung pusat perbelanjaan. Suara guru
bersaing dengan bunyi knalpot. Murid duduk menanti jam usai sekolah agar
bisa tenggelam dalam keceriaan pusat perbelanjaan.

Teror kurikulum

Keceriaan tidak tercipta di sekolah. Ini terkait kurikulum yang "sangat
meneror" murid. Pelajaran bertambah banyak tanpa kejelasan untuk apa
dipelajari. Tak heran banyak siswa sekolah dasar terpaksa membawa koper
kecil seberat 5-6 kilogram berisi buku pelajaran. Logiskah kita berharap
para tunas bangsa ini kelak tumbuh tegap?

Kalau saja teror kurikulum diikuti perubahan nasib, tentu bisa dipandang
sepadan antara usaha dan hasil. Realitanya terbalik. Teror kurikulum
menenggelamkan masa depan murid seraya membuka peluang "bisnis
kebodohan". Jika guru bingung dengan materi pelajaran yang diajarkan,
bagaimana muridnya?

Panggilan jiwa

Ada murid yang selamat dari teror kurikulum. Mereka umumnya mampu
membayar "pajak atas kebodohan" melalui lembaga-lembaga pendidikan
tambahan. Hal ini, selain menambah beban orangtua, juga merampas
kegembiraan masa kanak-kanak. Padahal, masalahnya terletak pada metode
mengajar yang rata- rata tidak dikuasai guru.

Menjadi guru (juga dosen) adalah panggilan jiwa. Namun, kini menjadi
guru kebanyakan karena panggilan ekonomi. Teror kurikulum melahirkan
inspirasi untuk "menyulitkan yang mudah". Apalagi ada pandangan, ilmu
merupakan bagian kekuasaan. Maka, degradasi kualitas pendidikan tidak
terhindari.

Ditambah lagi dengan adanya kategori sekolah favorit, murid dijejal
melebihi kapasitas. Impian ditebar, kelak anaknya akan masuk universitas
terpandang. Semua tanpa didasari fakta. Tidak semua lulusan sekolah
menjadi mahasiswa.

Kini tangisan merebak di mana-mana. Sebodoh itukah anak- anak mereka
sehingga tidak mampu lulus dengan standar yang rendah?

Seandainya dari 30 siswa ada dua anak tidak lulus, itu salah muridnya.
Jika satu kelas tidak lulus semua, itu salah gurunya. Namun, jika siswa
dari satu atau beberapa sekolah di seluruh Tanah Air tidak lulus, itu
salah sistemnya.

Kalau seluruh tangisan murid di seantero Tanah Air ini akibat kesalahan
sistem, maka menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menghentikan
tangisan tersebut. Bukan membuat tangisan itu bertambah nyaring, yang
mencoreng citra pemerintah dan bangsa Indonesia.

Riswandha Imawan Guru Besar Ilmu Politik UGM






***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke