http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/18/opini/1899642.htm
"Good Governance" Cuma Utopia? Oleh: TRIYONO LUKMANTORO Ungkapan good governance sering terdengar dan menjadi kelatahan perbincangan dalam politik. Ironisnya, good governance dipahami secara reduksionistik, seperti pemerintahan yang baik. Padahal, governance berarti 'proses pengambilan keputusan dan proses keputusan-keputusan diimplementasikan' (atau tidak diimplementasikan). Good governance tidak hanya melibatkan pemerintah, melainkan juga menuntut keterlibatan banyak pelaku lain, seperti asosiasi buruh, petani, pemimpin keagamaan, dan media massa. Apabila struktur kehidupan politik dipetakan dalam tiga bidang utama, yakni negara, pasar, serta masyarakat, maka good governance melibatkan kalangan aktor dalam tiga bidang itu. Ini bermakna good governance menuntut diskusi intensif antara pejabat negara, pelaku pasar, serta berbagai organisasi yang terdapat dalam masyarakat. Jika perdebatan serta penentuan keputusan didominasi satu pihak, maka good governance mengalami kegagalan. Bahkan, yang selanjutnya bermunculan bukan sekadar bad governance (pengambilan keputusan yang buruk) melainkan evil governance (pengambilan keputusan serta berbagai implementasinya yang mengarah pada kejahatan). Apabila negara mendominasi governance, maka yang terjadi adalah sentralisme-politik yang dilakukan birokrat yang semata-mata memperhitungkan aspek administratif. Inilah hegemoni negara yang mengekang pertumbuhan pasar serta menindas masyarakat. Jika yang mendominasi governance adalah pelaku pasar, yang bermunculan adalah liberalisme dalam perekonomian. Dampak paling tragis dari keadaan ini adalah semua bidang kehidupan hanya dinilai dari segi ekonomis. Fenomena ini lazim disebut sebagai komodifikasi terhadap wilayah kehidupan sosial yang pada akhirnya melahirkan slogan: Semuanya untuk dijual! Primordialisme Good governance juga tidak sepenuhnya mengandaikan masyarakat dapat mendominasi pengambilan keputusan. Jika ini berlangsung, maka penonjolan sentimen primordialisme yang mengarah pada peperangan horizontal akan mengemuka, seperti konflik etnis dan keagamaan. Sebab, setiap komponen etnisitas dan religi dengan mudah melakukan klaim kebenaran atas dasar politik identitas. Apa yang disebut politik identitas merupakan identifikasi kultural yang melakukan tindakan eksklusi dan inklusi dengan melandaskan pada kalkulasi "kita" versus "mereka". Kemungkinan terakhir dari governance yang terburuk dan brutal adalah integrasi pelaku pasar dengan pemegang otoritas negara. Kenyataan ini sudah terjadi dalam level lokal maupun nasional ketika kalangan pengusaha sebagai aktor yang bermain dalam wilayah pasar memasuki fungsi birokrasi dalam wilayah negara. Kebijakan-kebijakan negara yang seharusnya menguntungkan publik, pada akhirnya dilenyapkan. Sebab, kepentingan pasar yang berhitung pada komodifikasi memiliki legalitas layaknya regulasi-administratif dalam kebijakan yang diproduksi negara. Bagaimana good governance dapat direalisasikan sehingga dapat dihindarkan terjadinya etatisme negara, liberalisme pasar, klaim kebenaran primordialistik, serta kolusi aktor pasar dengan birokrat negara? Problem pokok yang harus dikemukakan sebelum menjawab pertanyaan itu adalah good governance memiliki delapan karakteristik utama. Pertama, partisipasi yang berarti seluruh bagian dalam masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan melalui organisasi yang terbuka dengan jaminan hak untuk berasosiasi serta mengekspresikan pendapat. Kedua, aturan hukum yang bermakna ditegakkannya hukum secara adil dan tidak memihak, aparat hukum independen, aparat kepolisian tidak korup, serta perlindungan hak-hak asasi manusia terutama bagi kelompok minoritas. Ketiga, transparansi yang berarti keputusan dan pelaksanaannya dilakukan dengan mengikuti aturan serta ketersediaan informasi yang dapat diakses semua pihak. Keempat, keresponsifan yang berarti semua institusi dan proses yang melayani kepentingan semua pihak dijalankan dalam kerangka waktu yang jelas. Kelima, berorientasi pada konsensus yang bermakna ada mediasi bagi kepentingan-kepentingan yang beragam dalam masyarakat sehingga tercapai kesepakatan. Keenam, kesederajatan dan keinklusifan yang mengandaikan seluruh elemen masyarakat terlibat serta memiliki peluang setara untuk mengambil keputusan. Ketujuh, keefektifan dan keefisienan yang berarti proses dan berbagai lembaga mampu memproduksi hasil yang dapat memenuhi kebutuhan semua pihak dengan memerhatikan perlindungan lingkungan alam. Kedelapan, pertanggungjawaban yang berarti lembaga-lembaga pemerintahan, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil harus memberikan pertanggungjawaban kepada publik. Apabila delapan karakteristik good governance itu dilakukan optimal, maka dapat dicegah berlangsungnya kekuasaan sentralistis yang dilakukan para birokrat negara, aktor pasar, kolusi antara pejabat administratif dan penumpuk modal, serta elemen-elemen komunitas. Mungkinkah seluruh unsur dilangsungkannya good governance itu mampu diwujudkan? Jawabannya adalah hal itu sangat tidak mungkin dijalankan, apalagi kita berada dalam situasi transisi menuju demokrasi. Good governance tidak lebih sebagai proyek ideal yang bermukim di wilayah fatamorgana politik yang mustahil dicapai. Contohnya, ketika kita menerapkan transparansi yang dapat menjadi titik masuk bagi direalisasikannya tujuh unsur lain dalam good governance. Transparansi mengandaikan otonomi media massa yang mampu menyediakan informasi yang tidak distortif. Dalam perumusan Jurgen Habermas, good governance seharusnya mendorong media massa berperan sebagai ruang publik. Namun, apakah gagasan itu dapat dicapai? Sangat sulit dijalankan kalau kita menyimak fenomena yang menunjukkan media semakin bergantung pada iklan komersial. Ini belum lagi diperparah ketika kalangan pemilik modal media berintegrasi dengan aparat negara. Utopia Dapat disimpulkan good governance adalah utopia. Dalam kaitan ini, utopia secara harfiah dimengerti sebagai eu (good, indah) dan topos (place, tempat). Jadi, good governance sebagai utopia dapat diterjemahkan sebagai 'tempat yang indah dan sempurna'. Hanya saja karena sedemikian idealnya wilayah ini, good governance pun menjadi impian yang gampang diidealisasikan, namun sulit direalisasikan. Pada kondisi ini, good governance terpelanting menjadi utopia yang lain: au (tidak) dan topos (tempat) yang berarti wilayah yang tidak mungkin ada (a land of no place). Triyono Lukmantoro Pengajar Filsafat dan Etika pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro, Semarang [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/